Memasuki umur 20 tahunan adalah masa-masa paling rentan. Rentan akan permasalahan kehidupan, target menyelesaikan sekolah serta mulai tahu betapa susahnya mencari pekerjaan. Intinya ialah bagaimana membangun suatu rasa tanggung jawab pada diri sendiri. Menjadi sedikit menyebalkan, ketika ke-kepo-an orang-orang sekitar dan sanak saudara mulai memberi pertanyaan-pertanyaan berkelanjutan tiada akhir.
Pertanyaan iseng sih, tapi tidak semua bisa dengan santai tanpa beban menjawabnya.
Tak sedikit yang merasa tidak nyaman dan bahkan malah marah sampai buat status di social media, dan ternyata dilihat oleh orang yang memberi pertanyaan tersebut, lalu orang itu marah dan balik ‘ngegas’ dan terjadilah suatu perdebatan. Karena sejatinya tidak afdol kalau emosi tidak buat staus dimana-mana, bukankah begitu, sobat baper?
Pertanyaan level 1 biasanya dimulai dari “Kapan skripsi-an?” dan menjalar menjadi “wah Kapan nih wisuda?”. Ketahuilah, para mahasiswa, memiliki bebannya sendiri dalam menyelesaikan study mereka. Beberapa mungkin mulus-mulus saja, tapi untuk yang mengalami kesulitan dalam mengambil mata kuliah atau yang harus mengulang beberapa mata kuliah karena nilai yang dicapai kurang memuaskan, tentu akan memakan waktu lebih lama untuk mencapai tugas akhir. Dan apabila diantara mereka sedang membuat tugas akhir, apakah mereka mudah membuat suatu topic bahasan yang mereka pilih sebagao tugas akhir?
Tidak semudah itu. Mereka harus bulak-balik ke perpustakaan, mencari bahan kesana-kemari, bertemu dosen untuk review saja tidak mudah. Dari pengalaman saya dan teman-teman seperjuangan membuat tugas akhir, bertemu dosen seperti bertemu artis. Apabila dosennya memang mengayomi dan pengasih, pasti akan membimbing mahasiswanya dengan mempermudah pertemuan dan memberikan revisi dengan cara yang mudah ditangkap oleh mahasiswa.
Nah, seandainya mendapat dosen yang kiranya “mengospek” mahasiswanya. Menjadi PHP (Pemberi Harapan Palsu) ketika janji untuk bertemu, marah-marah dulu karena moody, atau memberi revisi yang gamang, susah di mengerti dan memberi bahan bacaan yang sangat susah dicari. Mencari bahannya sudah sepeti mencari kitab suci, Ya Gusti, tugas akhir bebannya sangatlah berat, belum lagi didera pertanyaan “kapan lulus”.
Rasanya batin menjerit dan meronta-ronta ingin menjelaskan tapi dirasa sia-sia saja, malah akan membuang-buang tenaga. Kebanyakan mahasiswa berubah perasaannya dan menjadi bad mood ketika ditanya, merasa ke-trigger berubah menjadi rasa cemas karena tugas akhir yang tak kunjung selesai karena berbagai kendala seperti yang dijelaskan di atas.
Naik satu level, ke level selanjutnya ialah pertanyaan “Sudah punya pacar belum?” baik, ini bisa diatasi dengan jawaban singkat padat jelas, dan kebawa perasaan seperti “belum, hehe” tambahkan ‘hehe’ untuk terlihat lebih tegar. Selesai sampai disitu, karena orang-orang biasanya akan melanjutkan pertanyaan mereka ke level 2A, yaitu “Kapan Menikah?” apabila jawabanmu adalah “Ya, saya sudah punya pacar” atau mereka tau kalian sudah punya pacar dan sudah berhubungan sejak lama. Tipe pertanyaan ini seperti ombak, akan terus ada dan mungkin saja semakin intens dan dalam skala besar apabila sedang berkumpul dengan keluarga besar.
Untuk yang sudah memiliki pacar mungkin akan gampang saja menjawab, karena memang sudah ada planning atau yah santai lah tinggal jawab yang ada, tapi tetap mereka akan merasa sedikit terganggu bagaimana pun ketika orang-orang sudah mulai memaksa dan memberi pertanyaan macam it uterus menerus kita akan merasa risih. Apalagi untuk yang belum memiliki pacar, yang sebenarnya mereka belum focus ke arah memiliki hubungan dengan seseorang, bisa jadi masih focus meniti karir atau memiliki kesibukan lain yang penting dibandingkan dengan mencari pacar, bahkan ada yang enjoy dengan kesendiriannya.
Kembali lagi pada pengalaman pribadi, di umur saya sekarang yang memasuki angka 28 tahun, pertanyaan seperti itu pasti ada setiap saya pulang kampung. Apalagi di saat saudara-saudara seumuran sudah habis karena sudah lebih dahulu menikah. Bagi mereka, umur saya sudah layak untuk menikah, tetapi bagi saya, tidak usah dijawab cukup senyum atau tertawa lebay dan pergi dari kerumunan. Menurut saya pribadi, saya tidak akan pernah buru-buru dan terpaksa menikah hanya karena umur.
Tapi teman-teman saya kebanyakan merasa sangat terganggu dan tersinggung dengan pertanyaan tersebut. Bahkan ada yang menargetkan dirinya, harus memiliki pacar, siapa pun itu dan segera menikah, akhirnya apa? Setelah sebulan menikah, merasa kurang cocok. Salah pilih pasangan katanya.
Sampailah kita pada pertanyaan level atas disaat seorang sudah meraih semuanya, lulus sekolah, mendapatkan pacar, dan sudah menikah. Ya, “Kapan punya momongan?”. Ini menjadi beban tersendiri bagi sepasang suami istri, bahkan bisa menjadi pemicu mereka untuk memulai perdebatan. Saya mengutip dari halaman web hellosehat.com ada beberapa faktor pasangan belum memutuskan untuk memiliki anak, diantaranya setiap pasangan memiliki rencana sendiri dan pilihan setiap orang berbeda, dalam hal ini beberapa pasangan memilih untuk tidak memiliki anak
Selain itu menurut saya ada faktor lain lagi seperti salah satu pasangan mungkin sulit untuk memiliki anak. Masih saya kutip dari website yang samapertanyaan macam ini akan menambah beban mereka dan bisa memicu stress dan trauma. Stres di sebabkan karena pertanyaan yang bertubi-tubi. Bahkan stress itu sendiri memiliki pengaruh cukup besar bagi seorang istri yang memang ingin memiliki anak. Sedangkan trauma, bisa disebabkan dari seorang istri yang baru saja mengalami keguguran dan mendapatkan pertanyaan serupa bahkan lebih kejam seperti “kok belum hamil lagi?”, memberikan pertanyaan tersebut seperti menorehkan luka pada pasangan tersebut. Mereka pastinya membutuhkan waktu yang cukup untuk memulihkan duka dan trauma dan sehingga belum siap memiliki anak dulu.
Ketahuilah tidak bijak rasanya menanyakan sesuatu yang sifatnya sangat privasi kepada orang-orang yang kita temui. Bahkan untuk seorang saudara sekalipun. Namun bagaikan sebuah ironi, pertanyaan tiada akhir seperti diatas susah untuk tidak menjadi kebiasaan di masyarakat. Bijaklah dalam perkataan, berpikir dan pertimbangkan sebelum bertanya demikian. Tidak akan ada yang tahu bagaimana situasi dan kondisi mood dan mental seseorang dan bagaimana mereka meresponnya. [T]