Pandemi covid-19 tidak hanya menguji ketahanan kesehatan dan pangan masyarakat Bali namun juga menguji gaya komunikasi Gubernur Bali Wayan Koster. Hasilnya, publik mempersepsikan komunikasi ketidakpastian yang lebih menonjol daripada kepastian.
Dalam ilmu komunikasi, terdapat konsep kepastian (redundancy) dan ketidakpastian (entropy). Redundancy adalah sebuah pesan dari informasi yang mudah ditebak atau pasti, dan entropy sebaliknya, yaitu sebuah informasi yang sulit diprediksi atau ketidakpastian.
Selama masa pandemi ini, banyak fakta gaya komunikasi gubernur yang maknanya menimbulkan ketidakpastian (entropy) daripada kepastian (redundancy) dalam persepsi publik.
Ketidakpastian
Pertama, anggaran realokasi covid-19 sebesar Rp 756 Miliar yang sampai saat ini dalam persepsi publik tidak pasti sampai di mana dan bagaimana implementasinya di lapangan. Berapa jumlah, kategori, sebaran wilayah dari dana yang tersalurkan hingga sisa anggaran yang belum/tidak tersalurkan. Salah satu contoh saja, anggaran niskala Rp 75 Miliar dengan kegiatan nyejer daksina yang menimbulkan ketidakpastian dalam persepsi publik perihal bagaimana cara penggunaan anggaran tersebut.
Kedua, gaya komunikasi gubernur yang sejak dini menyampaikan ke publik bahwa mendapatkan pujian dari Presiden Jokowi karena telah melakukan penanganan covid-19 terbaik di Indonesia, padahal masa pandemi ini belum jelas kapan berakhirnya. Selanjutnya, penilaian dari masyarakat Bali tentu akan berbeda dengan penilaian dari pemerintah pusat.
Persepsi publik menilai bahwa sebuah pujian layak diberikan atau disampaikan setelah ujian pandemi usai (laiknya anak sekolah, pujian diberikan setelah ia melewati masa sekolah dan ujian dengan nilai sangat baik/baik/cukup).
Ketiga, penanganan PMI yang tidak terukur dan konsisten sejak awal. Hasilnya, terjadi transmisi covid-19 dari PMI ke masyarakat lokal. Dalam persepsi publik, bahwa penanganan PMI pada masa awal, pertengahan, hingga saat ini pun masih berbeda-beda secara teknis.
Keempat, kebijakan dan statemen gubernur dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat dalam menghadapi masa pandemi covid-19. Publik secara gamblang bisa menilai, gaya komunikasi gubernur terhadap kasus hukum ngaben Sudaji dengan aksi kerumunan di Kampung Jawa, Denpasar. Publik menilai sikap gubernur melalui statemen yang tidak memiliki kepastian terhadap dua kasus yang menjadi sorotan publik itu. Ia tidak fokus pada proses penegakan hukum namun justru menariknya ke arah “dramatisir” dan “politisir”.
Kelima, penanganan arus balik penduduk pendatang di pelabuhan Gilimanuk dan Bandara Ngurah Rai. Di satu sisi, ia memperketat pintu masuk melalui bandara dengan mewajibkan penumpang melengkapi diri dengan surat keterangan bebas covid-19 melalui uji swab berbasis PCR. Namun, di sisi lain, kebijakannya terhadap penduduk pendatang melalui Pelabuhan Gilimanuk, yang tak mempersoalkan jika ada penduduk pendatang yang lolos pemeriksaan penjagaan asalkan yang lolos tak banyak. Kebijakan yang disampaikan ini juga menampilkan gaya komunikasi yang lagi-lagi menimbulkan pesan ketidakpastian dalam persepsi publik.
Keenam, kebijakan Gubernur Koster yang mengklaim sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggelontorkan dana pendidikan pada pandemi covid-19.
Gubernur mengatakan, pemberian bantuan sosial difokuskan untuk siswa sekolah swasta mulai tingkat SD, SMP, SMA, SMK dan SLB, hingga PT. Sebab untuk SPP siswa sekolah swasta mandiri ditanggung oleh orang tua. Berbeda dengan sekolah negeri yang sudah mendapat dana BOS, baik dari pusat maupun daerah. Maka menurutnya siswa sekolah swasta yang orang tuanya terdampak Covid-19 perlu dibantu.
Gaya komunikas ini menimbulkan ketidakpastian dalam persepsi publik karena, hal yang disampaikan ke publik berbeda dengan implementasi di lapangan. Masih banyak orang tua siswa yang mengeluhkan belum atau tidak mendapatkan beasiswa dimaksud. Tak jelas dalam implementasinya siapa saja dan bagaimana cara mendapatkan beasiswa yang konon satu-satunya di Indonesia.
Ketujuh, publik dicengangkan dengan adanya sebuah tim komunikasi, yang dipersepsikan oleh publik, sebagai tim komunikasi gubernur di media sosial. Publik mempersepsikan tim komunikasi tersebut sebagai tim komunikasi gubernur, dengan cara mengenalinya dari simbol-simbol berupa tanda pengenal dan foto-foto keakraban para personilnya dengan gubernur.
Awalnya, publik membayangkan tim komunikasi tersebut menampilkan gaya komunikasi yang elegan. Sebuah tim komunikasi yang membantu menghubungkan dan menerjemahkan kebijakan gubernur kepada masyarakat dengan menampilkan data, fakta beserta kajian yang matang. Namun, publik justru mendapatkan suguhan yang berbeda dari persepsi awal tersebut.
Gaya komunikasi yang ditampilkan sangat jauh dari tugas, fungsinya. Pilihan diksi pun jauh dari yang dibayangkan oleh publik. Tim komunikasi ini lebih banyak melakukan serangan balik dengan pilihan diksinya yang tidak elegan daripada menangkis kritik publik dengan cara menyodorkan data dan fakta dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh gubernur.
Kepastian
Satu kebijakan gubernur yang menimbulkan pesan kepastian dalam persepsi publik adalah kebijakannya terhadap dunia pariwisata Bali. Ia dengan tegas meminta agar pemerintah pusat tidak tergesa-gesa membuka pintu pariwisata di Bali.
Dengan pesan itu, publik bisa dengan mudah dan pasti memahami pesan yang disampaikan gubernur. Hasilnya, stake holder di bidang pariwisata memiliki sikap yang sama dalam mengimplementasikan kebijakan gubernur tersebut.
Saran-saran
Jika, gubernur masih terobsesi mewujudkan target sebagai daerah yang pertama bebas covid-19 di Indonesia, maka mesti mulai mengubah gaya komunikasi ke publik. Kebijakan yang diambil mesti disampaikan dengan baik dan tepat sehingga pesan yang disampaikan tidak menimbulkan ketidakpastian (entropy) namun sebuah kepastian (redundancy) dalam persepsi publik.
Tim komunikasi gubernur mesti menampilkan performa yang mumpuni baik dari segi keilmuan dan praktik sehingga bisa memberikan saran yang tepat kepada gubernur untuk memilih gaya komunikasi tepat setiap menyampaikan kebijakan kepada publik. Jangan sampai terjadi sebaliknya, gaya tim komunikasinya justru mendegradasi kebijakan yang telah diambil oleh gubernur. [T]