Mulih nandur bulih, sebuah ungkapan yang klise, artinya pulang menanam benih/bibit, biasanya benih padi. Tapi dalam konteks tulisan ini saya membacanya bibit lebih sebagai bibit tanaman dalam makna lebih luas.
Melihat fenomena pandemi global Covid19 di Indonesia yang dinyatakan pemerintah sebagai bencana nasional non alam membuat saya mulai belajar memperhatikan. Ya, memperhatikan berbagai informasi dampak dari pandemi yang diawali dari Kota Wuhan, China akhir Desember 2019.
Awalnya saya menganggap ini hal biasa saja, karena pasti akan berakhir atau berlalu dengan berbagai cerita seru bahkan sampai ke anak cucu nantinya. Karena covid19 mampu membuat dunia hampir “off” di segala bidang kehidupan tidak terkecuali ekonomi dan keuangan.
Akibat penyebarannya yang begitu masif lebih di 200 negara, wabah ini mengharuskan Pemerintah Indonesia memulangkan seluruh Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk kembali ke tanah air selama masa pandemi ini berlangsung. Mereka yang mengadu keberuntungan hidup di negeri seberang harus rela dirumahkan bahkan pulang kampung ke negara asal agar dapat memutus rantai penyebaran Covid19.
Praktis, ratusan ribu PMI yang dikenal pahlawan devisa ini harus angkat koper dari tempatnya bekerja di luar negeri menuju kampung halaman tercinta. Mereka pulang ke kampung, berkloter-kloter dengan fasilitasi pemerintah. Namun perjalanan pulang balik mereka di tanah air kali ini tidak seperti perjalanan saat mereka akan menikmati masa liburan lepas kontrak.
Ada beberapa protokol kesehatan yang harus mereka ikuti, mulai dari tes kesehatan cepat, Rapid Test, Swab dan karantina minimal selama 14 hari di tempat yang telah ditentukan pemerintah. Ini dilakukan, karena potensi PMI yang rentan akan membawa virus dari negara terdampak covid19. Akhirnya kebiajakan ini dilaksanakan mulai dari pusat hingga ke daerah.
Bali merupakan salah satu daerah yang ternyata mencatat 20 ribuan warganya menjadi PMI. Mereka sebagian besar bekerja di sektor wisata seperti kapal pesiar, hotel dan restoran. Ada juga viral di medsos yang bekerja di ladang, perkebunan dan peternakan. Mereka pulang harus turut aturan pemerintah.
Ada yang sementara dirumahkan, ada pula yang harus rela mencari pekerjaan baru di kampung halaman tercinta, dengan kata lain rela kehilangan pekerjaan.
Hal serupa juga dialami rekan-rekan, Saudara kita yang perusahaannya tutup akibat wabah yang belum diketemukan vaksinnya ini. Nyaris, angka pengangguran di Bali sudah di ujung tangga dasar menuju tangga atas. Kekuatan pemerintah dari pusat sampai daerah dalam menyediakan ketahanan pangan pun mulai memainkan kalkulator ketahanan pangannya.
Keberadaan masyarakat yang bertambah kuantitas berbanding lurus dengn kebutuhan konsumsi masyarakat akibat pandemi. Pertanyaanya apakah pemerintah akan mampu menanggung selamanya?
Jawabannya sudah pasti tidak. Pemerintah kemungkinan hanya mampu membiayai selama 3 bulan saja, itupun bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan seperti dalam bentuk bantuan langsung tunai, sembako, alat-alat kebersihan dan lain-lain.
Guna mengatasi pengangguran pasca daruat covid19 ini pemerintah mulai menerbitkan program pra kerja dan pelatihan yang dilaksanakan secara online bagi masyarakat angkatan kerja. Efektifkah?? Kita lihat saja nanti. Karena itu semua tergantung pada si pembuat program dan kesadaran si pelaksana program.
Akan menjadi lebih penting penanganan ketika kita dihadapkan pada para PMI yang sebagian besar usia produktif belum memiliki pekerjaan pasti di tanah kelahirannya nantinya. Mereka adalah masyarakat produktif yang dapat berproduktivitas tinggi manakala ada yang memfasilitasi prosesnya.
Ambilah contoh Bali. PMI asal Bali yang saat ini dirumahkan, kemungkinan sebagian akan tetap tinggal di Bali. Dalam artian mereka tidak berangkat lagi, dan akan cari kerja di Bali. Untuk itu pemerintah provinsi Bali mau tidak mau akan menyiapkan lapangan kerja baru bagi mereka. Pemerintah dalam hal ini tentunya tidak bisa sendiri. Peran masyarakat di sektor swasta pastinya dibangkitkan dan ambil bagian. Namun, apa yang mesti dikembangkan untuk digarap?
Di tengah upaya pemulihan sektor pariwisata yang menjadi andalan Bali hingga awal tahun 2020, nampak akan mengalami normal baru sebagai dampak pandemi ini. Normal baru sektor pariwisata memerlukan waktu pemulihan yang cukup panjang, mengingat kasus penyebaran covid19 melalui transmisi cukup tinggi baik di internal negara maupun di mancanegara.
Sementara peran sektor swasta pendukung pariwisata secara masif akan beralih haluan melakukan penyesuaian melalui normal baru juga. Penyesuaian yang sangat memungkinkan dikembangkan di Bali adalah sektor hulu yaitu pertanian. Sektor ini sebenarnya masih sangat potensial dikelola sebagai basis ketahanan pangan Bali di masa yang akan datang.
Kebijakan pemerintah provinsi Bali melalui Nangun Sat Kertih Loka Bali mengamanatkan terpenuhinya keutuhan pangan, sandang dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi krama Bali, tentunya saat inilah mulai menatanya. Bagaimana Bali menjadi daerah swasembada pangan, sehingga krama Bali tidak sulit mencari kebutuhan pokok.
Selain upaya pengembangan pertanian organik dan pertanian hydrophonic, pertanian perkotaan (urban farming) sudah bisa mulai digencarkan saat kondisi normal baru ini.
Ini merupakan salah satu upaya membukakan lapangan kerja bagi Saudara PMI yang berkeiningan bekerja di rumah (Bali). Mereka dari sebelumnya Pekerja Migran Indonesia menjadi Petani Muda Inovaif, ya sama-sama PMI juga, tapi ini adalah PMI New Normal.
Maka dari itu, diperlukan regulator yang menjembatani antara supply and demand mengatasi lonjakan pegangguran pasca pandemi. Jika dalam hal pertanian pendukung ketahanan pangan, maka diperlukan lahan untuk bertani, tenaga kerja sebagai penggarap dan sarana kerja untuk bekerja, termasuk bibit, pupuk, irigasi, edukasi bahkan insentif. Hal ini bisa disediakan oleh pemerintah melalui kerjasama dengan masyarakat pemilik lahan dengan sistem bagi hasil.
Penyediaan bibit, pupuk, edukasi dan insentif sampai kurun waktu tertentu dapat disiapkan pemerintah melalui anggaran kegiatan padat karya, yang tidak hanya berupa pelatihan, akan tetapi sudah merupakan aksi.
Petani Muda Inovatif yang ingin mengabdikan diri membangun daerahnya akan bekerja keras, ikut membangun ketahanan pangan daerah. Mereka dalam satu kelompok dapat memilih sebagai petani yang akan mengerjakan lahan pertanian secara khusus, atau sebagai petani yang akan mengerjakan lahan-lahan di perkotaan, seperti layanan pegembangan pertanian hidrophonic maupun urban farming.
Khusus yang urban farming sangat menarik sekali dikembangkan saat ini. Dimana masyarakat yang memiliki sedikit halaman rumah dapat produktif menghasilkan kebutuhan pangan keluarga seperti, tanaman buah dalam pot (tabulampot) dengan bantuan fasilitasi PMI New Normal.
Si pemilik rumah hanya menyediakan lahan dan media tanam. Sementara bibit dan pemeliharaan berkala akan dilakukan oleh kelompok Petani New Normal ini. Mereka diberi edukasi dan insentif oleh pemerintah untuk berproduksi melalui kerja bareng pemilik lahan/halaman. Hasilnya dapat dibagi dua atau dengan sistem bagi hasil. Tentunya sesuai “SKB” alias syarat ketentuan berlaku.
Dengan demikian, edukasi, program padat karya ataupun sejenisnya yang saat ini digagas pemerintah dalam solusi mengatasi lonjakan angka penagangguran dapat diefektifkan dengan pola ini. Para PMI bekerja di kampung halamannya, kembali sebagai warga desa, krama desa pekraman, kembali dekat dengan keluarga membangun desa. Pasca pandemi ini PMI bukanlah pengangguran, tetapi mereka adalah Petani Muda Inovatif alias PMI New Normal yang dititah alam untuk Mulih Nandur Bulih. [T]