Seperti masyarakat Bali mula pada umumnya, Nusa Penida (NP) tidak mengenal stratifikasi sosial (baca: kasta). NP hanya mengenal Dewa (Ngakan), turunan dari ksatria, yang jero-nya berada di satu desa yaitu Desa Batununggul. Selebihnya, masyarakat NP adalah orang sudra. Fakta ini tentu kontroversial dengan babad NP yang pernah ditulis oleh Jero Mangku Made Buda (2007). Buda pernah mengungkapkan bahwa leluhur orang NP berasal dari seorang pandita (brahmana) yang bernama Dukuh Jumpungan. Lalu, mengapa tidak semua masyarakat NP menyandang predikat brahmana secara otomatis?
Jangan terlalu serius, ya! Saya tidak bermaksud menajamkan kembali isu kasta. Karena isu kasta dipandang kurang relevan lagi oleh masyarakat Bali modern. Walaupun nyatanya, isu kasta tak pernah sepi dari perdebatan terutama antara pihak sudra dan triwangsa (menak). Pihak sudra menginginkan kesetaraan. Sedangkan, pihak menak tidak rela turun—sejajar dengan sudra.
Jangankan masyarakat biasa, lembaga tertinggi agama Hindu (PHDI) di Bali pun tidak berdaya dalam menyelesaikan problematika kasta di Bali. Buktinya, lahir dualisme di tubuh PHDI Bali yaitu PHDI Besakih (mewakili masyarakat biasa/sudra) dan PHDI Campuhan (dianggap mewakili menak). Dualisme ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan cara pandang dan kepentingan antara kedua kubu (jaba dan triwangsa)—yang mungkin sulit disatukan.
Jika mundur jauh ke belakang, perselisihan cara pandang antara pihak sudra dan triwangsasudah berlangsung sejak lama. Sejarah Bali (tahun 1920-an) mencatat bahwa pernah terjadi perselisihan terbuka dan elegan antara majalah Surya Kanta (milik kaum jaba) dengan Bali Adnyana (dikelola oleh triwangsa) soal sistem kasta. Kaum intelektual jaba menilai bahwa sistem kasta tidak perlu dipertahankan karena menciptakan ketidakadilan. Sebaliknya, Bali Adnyana tetap mendukung sistem kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.
Perselisihan bak sinetron inilah (mungkin) yang mendorong Made Kembar Kerepun menyusun buku tentang Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali (2007). Dalam ulasannya, Kerepun memandang bahwa pemberlakuan sistem kasta di Bali merupakan sebuah kekeliruan (kesalahpahaman). Menurut Kerepun, anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan merupakan kesalahpahaman besar. Untuk menguatkan statemennya tersebut, ia menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda. Kerepun tidak menemukan sistem kasta, karena dulu Bali tak mengenal kasta.
Bali mulai mengenal sistem kasta setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Data ini diperoleh dari Rudolf Goris, seorang antropolog yang banyak meneliti tentang Bali. Munculnya gelar-gelar baru khusus di Bali akibat tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta merupakan produk “Majapahitisasi”.
Menurut Kerepun, raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta itu. Kemudian, ide ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh agama asal Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga (orang Bali asli), dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.
Lebih lanjut Kerepun memaparkan bahwa Bali hanya mengenal catur warna, klasifikasi berdasarkan pekerjaan (stratifikasi terbuka, dinamis)—bukan berdasarkan keturunan (stratifikasi tertutup). Namun, baik catur warna dan sistem kasta dianggap kurang relevan di Bali. Cocoknya, menurut Kerepun adalah soroh, warga, gotra, atau klan (misalnya, Pande, Pasek, dan lain-lain).
Pasca Majapahit, eksistensi sistem kasta diperkuat lagi oleh penjajah Belanda. Pemerintah Belanda membagi Bali menjadi 8 wilayah pemerintahan tahun 1929. Belanda mewajibkan para raja Bali menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan oleh kolonial Belanda (misalnya, I Dewa Gde Oka Geg diangkat menjadi raja Klungkung dengan gelar “Ida I Dewa Agung”).
Pemberian nama dan gelar ini merupakan bagian dari kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali seperti sekarang. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama brahmana dan ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.
Masyarakat Nusa Penida Tak Mengenal Kasta
Kesimpulan Kerepun bahwa Bali dulu tidak mengenal sistem kasta mungkin ada benarnya. Fakta ini dapat dibuktikan pada masyarakat Trunyan dan Tenganan misalnya. Sebagai Bali Mula, keduanya memang tidak mengenal sistem kasta. Baik Trunyan maupun Tenganan menganut sistem egaliter (sederajat).
Begitu juga dengan masyarakat NP. Masyarakat NP juga tidak mengenal sistem kasta. NP baru mengenal kasta ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung. Kesimpulan ini dapat dilihat dalam paparan penelitian Sidemen (1984) yang berjudul Penjara di Tengah Samudra, Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan. Ia memaparkan bahwa akibat dijadikan pembuangan, NP mengalami perubahan struktur pelapisan masyarakat. Orang buangan dari lapisan brahmana yang dipandang rendah di daerah asalnya, tetapi tetap dihormati di NP dan menempati puncak pelapisan.
Sidemen juga memaparkan bahwa akibat pembuangan, masyarakat NP mulai mengenal pengelompokan masyarakat berdasarkan soroh (misalnya pasek, pande, dan lain-lain). Kemudian, mereka mencari soroh dan menghubungkannya dengan yang ada di Bali. Yang tidak berhasil menemukan cikal bakal keluarga, dianggap soroh Bali Aga (Nusa asli, soroh Pamesan). Kelompok ini umumnya berada di desa-desa pedalaman, seperti desa Tohkan, Dungkap, Bingin, Buluh, Belalu, Bungkil dan Dalundungan.
Paparan Sidemen di atas menunjukkan bahwa sebelum dikuasai Klungkung dan dijadikan tempat pembuangan, NP termasuk masyarakat egaliter (tidak mengenal stratifikasi sosial/ kasta). Misi pembuangan inilah yang menyebabkan masyarakat NP berubah menjadi standar Bali daratan. Karena misi pembuangan memang bertujuan untuk mempercepat proses akulturasi yaitu menjadikan NP menjadi Bali daratan, termasuk dalam model sistem kemasyarakatan.
Dugaan bahwa masyarakat NP egaliter mungkin dapat ditelusuri dari berbagai aspek. Salah satunya ialah dari basa Nosa (bahasa Bali dialek NP) yang digunakan hingga sekarang. Setahu saya, basa Nosa tidak mengenal tingkatan (misalnya sor, mider, singgih). Orang NP berkomunikasi menggunakan basa Nosa baik dengan orang lebih kecil, sebaya maupun dengan orang yang lebih tua.
Kontak langsung dengan orang Bali daratan dan kuatnya misi akulturasi, menyebabkan NP berubah. Mereka memiliki pandangan baru tentang sistem bermasyarakat (bertingkat). Karena itu, keberadaan wangsa ksatria (dewa/ ngakan) sedikit mendapat perlakuan berbeda dengan orang jaba di NP—kurang lebih sama dengan perlakuan di Bali daratan. Hal ini bisa dilihat dari kontak komunikasi misalnya. Orang NP (jaba) menghargai dan menghormati wangsa ini dengan menggunakan bahasa alus (bukan basa Nosa, kecuali sudah menjadi teman akrab, di luar lingkungan jero).
Begitu juga soal aturan pernikahan. Jika pihak dewa memperistri orang jaba, maka si istri mendapat gelar jero. Sebaliknya, jika pihak desak diperistri oleh pihak jaba dikatakan “nyerod” (turun kasta)—meskipun tak jarang (kebanyakan) mereka tetap dipanggil desak dan dihormati di lingkungan masyarakat.
Mengapa hanya wangsa ksatria (dewa/ngakan) yang eksis di NP? Padahal, hampir semua triwangsa pernah dibuang di NP? Sidemen (1984) pernah menuliskan bahwa pemberontakan Cokorda Negara (kerajaan Gianyar) pada tahun 1806 Saka (tahun 1884 M) mengakibatkan sejumlah pesakitan politik kerajaan Gianyar dibuang ke NP. Ada yang diampuni setelah dibuang 2 tahun, ada pula yang dibuang seumur hidup.
Pada tahun yang hampir bersamaan dibuang seorang bangsawan kemancaan Pejeng (Gianyar) bernama Cokorda Rai Banggul bersama istri dan anak-anaknya, dengan tuduhan pengkhianatan (di Desa Batununggul). Menyusul Anak Agung Made Sangging, bangsawan kemancaan Sukawati (Gianyar) dengan 20 orang anak buahnya, dengan tuduhan yang sama (di Pulau Nusa Lembongan). Sayangnya, tidak diceritakan apakah mereka diampuni atau dibuang seumur hidup.
Artinya, dari sekian banyaknya narapidana (berbagai wangsa) yang dibuang ke NP, beberapa dikatakan menikahi penduduk setempat, sebagai misi akulturasi. Logikanya, kemungkinan ada triwangsa lain di NP—walaupun Sedimen mengatakan bahwa narapidana yang berasal dari kalangan triwangsa (pada umumnya) ditempatkan dalam rumah pejabat/ golongan elit desa. Mereka dipelihara dan mendapat pasangan dari sesama pejabat NP. Artinya, ada kemungkinan dari sekian banyak napi triwangsa menikahi penduduk setempat.
Lalu, mengapa hanya tersisa wangsa ksatria (dewa/ ngakan)? Saya menduga bahwa napi dari kalangan triwangsa, ketika dibuang dianggap sudah turun kastanya. Sehingga, ketika menikahi orang lokal dan menetap di NP, mereka tidak lagi mengawetkan kastanya. Ini tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Karena, Sidemen pernah menulis bahwa para buangan dari golongan triwangsa dianggap “cuntaka wangsa” (cacat kebangsawannya). Diterima kembali oleh keluarganya dengan syarat melakukan “prayescita” yang dilakukan oleh pendeta dan disaksikan oleh masyarakat.
Soal eksistensi wangsa ksatria (dewa) mungkin persoalan lain. Kemungkinan besar bukan sebagai pendatang dari jalur kasus pembuangan (walaupun pernah disebutkan oleh Sidemen bahwa wangsa ksatria-dewa pernah dibuang ke NP). Saya kesulitan mencari referensi tentang hal ini. Saya hanya mendapat referensi dari Sidemen (1984) bahwa sejak Klungkung berdiri sebagai kerajaan, dengan raja Dewa Agung Jambe, NP langsung menjadi wilayah kekuasaan Klungkung. Untuk memperkuat kedudukan politiknya di NP, dikirim para pejabat kerajaan yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang manca. Disebutkan pula pada masa pemerintahan Dewa Agung Putra Kusamba, raja Klungkung ke-V (sekitar tahun 1841-1849 M), dikirim seorang pejabat kerajaan bernama I Dewa Anom Gelgel sebagai wakil kerajaan Klungkung di NP, dengan pangkat “manca”. (Lihat Prasasti Keluarga I Dewa Anom Gelgel (manuskrip; p.7a-7b).
Apakah eksistensi dewa sekarang berhubungan dengan utusan yang dikirim oleh raja Klungkung zaman tersebut? Mungkin saja (misalnya) keluarga dari “manca-manca” itu berkembang menjadi turunan dewa (ngakan) yang ada di NP sekarang. Mungkin sama sekali tidak berkaitan.
Senada dengan hal ini, salah seorang teman (dewa dari NP), pernah mengungkapkan bahwa konon eksistensi dewa sekarang berhubungan dengan utusan dari kerajaan Gelgel untuk menyelamatkan NP dari teror pan dranyam/ granyam (orang sakti) di NP. Sayang, tidak disebutkan kapan persisnya kejadian tersebut (masa pemerintahan siapa).
Mungkin karena tidak berangkat dari kasus pembuangan sehingga mereka (dewa/ ngakan) tetap dihormati di NP. Hanya keluarga dewa atau ngakan. Karena itulah, ketika saya SMP (90-an), ada seorang teman sekolah menggunakan gelar gusti. Karena keterbatasan literasi saya dan kawan-kawan waktu itu, kami menganggapnya aneh. Sejak kecil kami hanya tahu triwangsa dewa/ ngakan di NP. Padahal, itu hak pribadi seseorang. Apakah benar gelar itu dari garis keturunan? Saya tidak tahu. Mungkin betul. Bisa saja mereka berasal dari napi triwangsa zaman pembuangan dulu misalnya. Atau mungkin berasal dari gusti pones (hasil pengadilan Lembaga Peradilan Hindu).
Mengapa wangsa ksatria (dewa/ ngakan) dihormati dan dianggap tinggi oleh orang NP? Padahal, (konon) leluhur NP berasal dari pandita. Artinya, orang NP adalah wangsa brahmana—kalau mengikuti sistem kasta di Bali. Mengapa tidak diakui waktu zaman pembuangan dulu?
Pertama, mungkin keterbatasan bukti empiris-historisnya. Ya, karena babad tak luput dari unsur subjektif dan fiksi dari penulisnya. Di samping mengandung fakta, babad mungkin diolah dengan bumbu-bumbu fiksi untukmenyanjung (memenuhi selera) personal/ kelompok tertentu. Namun, sebetulnya diakui dalam dunia dunia per-sorohan (wangsa) di Bali.
Atau bisa jadi, dunia per-wangsan dilegitimasi terhitung sejak majapahit dan masa kolonial Belanda (kelahiran kasta). Sebelumnya, berarti tidak sah, karena mungkin mencuri start terlalu jauh sehingga dianggap diskualifikasi (kayak lomba aja). Karena per-wangsan atau per-sorohan rujukannya adalah Bali daratan. Orang NP diarahkan mencari ke Bali. Jika tidak ketemu, maka dianggap soroh pemesan (Bali mula)—keturunan asli dari Ki Dukuh Jumpungan.
Kedua, mungkin saja orang NP memang tidak mau mempersoalkan garis keturunan. Apalagi mengaitkannya dengan kedudukan sosial. Mungkin mereka berpandangan bahwa kehormatan dikaitkan dengan karma baik personal masing-masing, sehingga mereka enggan menempel nama (silsilah) leluhur sebelumnya. Jika benar demikian, jangan-jangan orang NP memang sudah memiliki sikap egaliter sejak dahulu kala. [T]