30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sejarah Kesehatan dan Kebangkitan Nasional(isme) Indonesia

Putu Hendra Mas MartayanabyPutu Hendra Mas Martayana
May 26, 2020
inEsai
Sejarah Kesehatan dan Kebangkitan Nasional(isme) Indonesia

STOVIA, Sekolah Kedokteran di Batavia. {Sumber Foto Wikipedia]

11
SHARES

“Para dokter STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tak hanya menjadi pahlawan di tengah wabah, tapi juga bergelut dengan politik praktis. Sebagian dari mereka aktif di organisasi dan lantang menyuarakan nasionalisme lewat tulisan di surat kabar. Daya kritis mereka salah satunya disulut sikap pemerintah Kolonial terhadap kaum pribumi yang diskriminatif kala wabah terjadi” (Hans Pols, Profesor Sejarah Kesehatan dari Australia, Penulis buku Merawat Bangsa : Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyejarah, artinya menggunakan tilikan masa lalu untuk bertindak bijaksana di masa kini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, kita tidak perlu alergi berkiblat ke masa lalu dengan tujuan mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang kita alami di masa kini dan atau mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di masa depan. Faktanya, bangsa kita belum bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang menghargai sejarahnya. Sebab masa lalu hanya menjadi cerita usang yang tidak diminati di masa kini. Sebuah dongeng sebelum tidur yang dipenuhi cerita-cerita mistis dibanding usaha untuk menemukan hikmahnya.

Gagasan Hans Pols melalui bukunya di atas yang menjelaskan genealogi nasionalisme Indonesia yang bermula dari kegigihan priyayi Jawa lulusan STOVIA dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya memerangi wabah Pes di Malang pada tahun 1911 sangat menarik untuk dikaji. Apalagi momentum pada bulan Mei ini, kita dihadapkan pada dua hal penting yang seanalog dengan masa itu yakni masih eksisnya virus Corona dan peringatan kenegaraan tentang Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada hari Rabu, 20 Mei 2020.

Soetomo, Tjipto, Suwardi dan Abdul Rivai adalah segelintir anak-anak tamatan STOVIA yang memiliki empati besar terhadap diskriminasi Negara Kolonial terhadap pribumi kala wabah menggejala di beberapa tempat di Hindia Belanda. Meski mereka tercatat sebagai priyayi lokal yang mendapatkan akses sosial berupa keistimewaan mengecap pendidikan Barat melalui sekolah dokter di STOVIA, tidak mengurangi kadar empati sosial terhadap saudara sebangsanya yang tengah kesusahan.

Di sisi lain, mereka juga melakoni aktivitas politik praktis melalui kegiatan-kegiatan agitasi di beberapa organisasi. Awalnya, mereka ikut memelopori lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 bersama dengan DR. Wahidin Sudirohusodo. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, gerakan organisasi yang terlalu Jawa sentris dan hanya berpusat pada aristokrasi Jawa membuat beberapa anggota tidak puas. Mereka keluar dari keanggotaan, lalu membentuk organisasi baru yang dirasa bisa mewadahi pikiran-pikiran radikal dan progresif demi mewujudkan nasionalisme pribumi yang dicitakan.

Saat itu, nama Indonesia belum populer, sehingga nasionalisme kolektif yang dibayangkan bersama adalah nasionalisme Hindia. Baru ketika Tjipto dan Suwardi bersama dengan Douwes Dekker membentuk Indische Partij pada tahun 1912, nama Insulinde diketengahkan untuk menggantikan Hindia Belanda (Nederland Indie) yang dianggap lambang supremasi Belanda.

Meski IP hadir sebagai organisasi politik modern pertama di Hindia Belanda yang mampu meradikalisasi konsep nasionalisme sebelumnya, namun populisme yang ingin dibangun dengan menghadirkan konsep insulinde kurang mendapatkan sambutan meriah. Insulinde, seperti juga konsep Nusantara atau Dipantara dianggap eksklusif oleh sebagian besar kalangan dan tidak mencerminkan pluralitas masyarakat Hindia Belanda.

Ucapan terimakasih terhadap radikalisasi konsepsi Indonesia yang sebelumnya bertendensi antropologis ke arah gerakan politis harus diberikan kepada PKI atau Partai Komunis Indonesia yang sebelumnya bernama PKH (Partai Komunis Hindia) yang dibentuk pada 23 Mei 1920. Sejak saat itu, beberapa organisasi yang muncul belakangan selalu menggunakan nama Indonesia seperti Perhimpunan Indonesia (PI) yang digagas penerima beasiswa Leiden seperti Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir pada tahun 1922, serta PNI (Partai Nasional Indonesia) yang lahir dari pemikiran Soekarno pada tahu 1927.

Dengan melihat bagaimana nasionalisme Indonesia bertumbuh di atas yang diawali dari kegundahan anak-anak STOVIA itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ideologi yang kini kita sebut sebagai nasionalisme, meski dibungkus dengan pendidikan Barat dan didiseminasikan melalui bahasa Belanda, justru terkatalisasi melalui kehadiran wabah. Alasannya, wabah semacam Pes dan Kolera telah memperlihatkan konflik diametral yang jelas antara siapa yang disebut penjajah dan siapa yang disebut terjajah. Di sisi lain, kehadiran wabah mampu menjelaskan wajah mendua dari negara Kolonial, di satu sisi mengeruk kekayaan tanah pribumi, di sisi lain enggan bertanggung jawab manakala warganya sakit parah akibat penyakit menular tersebut.

Tjipto, kala mewabah penyakit Pes di Malang langsung turun tangan bahkan tanpa menggunakan alat pelindung semacam masker yang saat itu keberadaannya cukup baru baik di dunia medis Eropa apalagi Hindia. Pekerjaaannya sangat berisiko, sebab saat itu penularan Pes tidak hanya melalui gigitan tikus yang membawa virus, melainkan juga dari gigitan nyamuk yang sebelumnya telah mengigit tikus yang telah terkontaminsi oleh gigitan kutu pembawa bakteri Yersinia Pestis. Sejak saat itu, penggunaan kelambu menjadi popular terutama untuk melindungi seseorang dari ancaman gigitan nyamuk yang dianggap ikut menyebarkan penyakit Pes.

Dampak Pes di Eropa bahkan lebih buruk dibanding Hindia Belanda. Sebelum dunia medis mencapai perkembangan yang pesat pada awal abad XX, pada abad XIV, di Eropa mewabah penyakit Pes. Ciri-ciri fisik yang ditimbulkan seperti kematian jaringan pada ujung jari tangan, kaki atau hidung hingga warnanya yang menghitam menyebabkan penyakit ini mendapat julukan Black Death. Membunuh hampir 2/3 populasi Eropa. Penanganan terhadap penyakit ini semakin sulit dilakukan sebab predator alami tikus yakni kucing mengalami depopulasi besar-besaran karena dianggap lambang penyihir perempuan paganis Eropa. Hal ini bisa dimaklumi sebab Eropa tengah mengalami transisi dari era The Dark Age ke era Renaisans. Akibatnya populasi tikus tidak terkendali dan ikut menyebarluaskan penyakit Pes ke seantoro Eropa.

Kesediaan Tjipto untuk terjun langsung ke Malang memperlihatkan segregasi sosial yang parah. Struktur masyarakatnya terkotak-kotak antara golongan pribumi yang paling bawah, Timur Asing di bagian tengah dan orang-orang Eropa di bagian atas. Mereka, orang-orang Eropa dan Timur Asing mendapatkan keistimewaan dan keleluasaan dalam berbagai hal. Mereka juga tergolong orang-orang mampu yang hidup dengan sanitasi lingkungan yang baik. Pribumi di sisi lain, hidup di lingkungan kumuh dan dengan sanitasi yang buruk sehingga memiliki potensi yang tinggi untuk terkena atau tertular penyakit.

Status sosial pada struktur masyarakat Kolonial itulah yang menyebabkan mengapa tenaga kesehatan yang bersedia diterjunkan saat wabah merajalela itu minim. Dokter-dokter Eropa enggan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pribumi yang paling banyak menjadi korban, sebab uang yang dibayarkan terlalu sedikit. Jikapun terpaksa melayani pribumi, mereka akan memberikan pelayanan seadanya dan bahkan sengaja menyampaikan diagnosis yang salah. Dokter-dokter Eropa itu lebih suka melayani orang-orang Timur Asing dan dari kalangan Eropa sendiri karena iming-iming bayaran yang tinggi.

Perilaku dokter-dokter Eropa ini akan berlanjut saat Hindia Belanda dihantam wabah Flu Spanyol pada tahun 1918. Parahnya lagi, mereka bahkan menaikkan tarif layanan kesehatan yang berdampak serius pada kenaikan harga beras. Akibatnya kelaparan di mana-mana. Penduduk pribumi Hindia kala itu tidak hanya mati karena terjangkit Flu Spanyol yang mematikan saja melainkan juga wabah kelaparan yang tidak kalah hebat.

Kesadaran nasionalisme seorang Tjipto muncul dari upayanya untuk ikut berjuang menyelamatkan nyawa saudara sebangsanya dari wabah. Penyakit Pes di Malang menyadarkan nasionalisme seorang Tjpto dalam wujud politik, stigma dan organisasi sosial. Realitas-realitas kesehatan berbalut diskriminasi tersebut telah membentuk mental politik praktis pada diri anak-anak tamatan STOVIA itu. Beberapa di antaranya rajin menulis dan menyalurkan kegelisahan dan kritik terhadap diskriminasi negara Kolonial terhadap penduduk pribumi. Selain Tjipto yang nanti eksis di IP, ada Soetomo, DR. Radjiman Widyodiingrat serta Abdul Rivai. Mereka bahkan menjadi anggota parlemen yang aktif menyampaikan suara pribumi yang tertindas. Bahkan, nama terakhir aktif menulis di surat kabar, salah satunya Bintang Hindia.

Dalam historiografi Indonesia versi marxis kiri, konflik sentrifugal kaum borjuis dan proletar mungkin dianggap sebagai pemantik awal kebangkitan nasionalisme Indonesia. Pun demikian dengan marxis kanan ala Ben Anderson atau Rudolf Mrazek yang berhasil memotret perkembangan sistem transportasi di Hindia Belanda bahwa nasionalisme Indonesia berawal dari kemajuan print capitalism. R.E Elson, Werttheim dan Anthony Reid se-iya sekata menyatakan bahwa proto nasionalisme Indonesia berangkat dari gagasan – gagasan besar tentang pan austronesianisme sehingga menjadi konsep yang sakral. Bebeda dari gagasan yang ditawarkan historiografi arus besar di atas, saya melihat dimensi kesehatan, dalam hal ini kehadiran wabah Pes, Kolera dan bahkan Flu Spanyol sebagai alternatif historiografi Indonesia dalam melihat bagaimana kesadaran kebangsaan itu bertumbuh dan disemaikan ke dalam pemikiran-pemikiran besar.

Kehadiran wabah Pes dan Kolera di Hindia Belanda pada medio pertama awal abad XX yang muncul berkelindan telah membantu membuka wajah sosial dari seseorang atau sekelompok orang. Darinya kita juga belajar arti ketulusan, siapa yang benar-benar peduli dengan sesamanya. Struktur sosial masyarakat Kolonial yang diskriminatif telah menimbulkan segregasi sosial yang parah, dan melalui wabah lah gambaran itu telah menghasilkan kesadaran nasional (isme) pada anak-anak muda STOVIA seperti Tjipto, Soetomo dan Abdul Rivai yang menjadi embrio bagi radikalisasi keindonesiaan di masa berikutnya. [T]

Tags: dokterkesehatannasionalismesejarah
Previous Post

Duta Bahasa Provinsi Bali 2020, Hery dan Trisna Bukan Kaleng-Kaleng

Next Post

Tubuh Tanpa Makan

Putu Hendra Mas Martayana

Putu Hendra Mas Martayana

Lahir di Gilimanuk, 14 Agustus 1989, tinggal di Gerokgak, Buleleng. Bisa ditemui di akun Facebook dan IG dengan nama Marx Tjes

Next Post
Atat Yang Bijaksana #1

Tubuh Tanpa Makan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co