Kawan-kawan, hari ini saya akan menceritakan salah satu konsep dalam kitab Jñana Siddhanta. Konsep ini tentang empat pencapaian, yang tanpa hasil atau phala. Sekilas, konsep ini memang bertolak belakang dengan salah satu bagian dari Panca Sradha yakni karma phala. Tetapi sesungguhnya tidak demikian adanya. Empat pencapaian itu sendiri sesungguhnya adalah phala, atau hasil dari pelaksanaan yoga. Maka untuk memahami konsep ini, kita mesti membaca dan merenung-renungkan secara pelan-pelan.
Keempat pencapaian ini, sesungguhnya berkaitan dengan kematian yang pada akhirnya akan dialami oleh seluruh makhluk hidup. Kematian konon pasti, yang tidak pasti adalah waktunya. Selain waktu, tempat dan situasi kematian pun tidak bisa dipastikan. Entah kapan, dimana dan bagaimana.
Namun demikian, kematian yang saya maksudkan dalam tulisan ini khusus pada kematian yang dialami oleh manusia. Karena pustaka Jñāna Siddhanta, membicarakan tentang kematian manusia dengan empat pencapaian berbeda.
Catur Wiphala yang akan saya ceritakan hari ini, terdiri dari empat yakni Nihspreha, Nirbana, Niskala dan Nirasraya. Baiklah, mari kita bicarakan satu persatu dengan hati-hati. Nihspreha, berarti tidak ada [nih] yang diinginkan. Terjemahan Nihspreha dalam bahasa Jawa Kuna adalah tan hana kasadyan [tidak ada yang dicapai].
Karena tidak ada lagi yang diinginkan, dengan sendirinya pencapaian pun tidak ada. Tidak adanya pencapaian, karena tidak ada usaha untuk menempuh apa-apa. Tetapi sejatinya, tidak adanya pencapaian adalah sebuah pencapaian. Seperti diam tidak melakukan apa-apa, tapi sebenarnya diam digerakkan oleh keinginan sehingga diam merupakan pencapaian. Disini letak paradoks ajarannya. Penjelasannya dengan singkat tidak akan ditemukan dalam buku-buku bacaan. Penjelasan untuk peristiwa semacam itu, mesti dicari dengan menempuhnya sendiri.
Selanjutnya adalah Nirbana. Pustaka yang sama, menyebut Nirbana berarti tanpa tubuh [sarira]. Artinya, tiga tubuh yang membungkus atma sudah tidak ada. Badan kasar yang dibentuk oleh makanan dan minuman sudah tidak ada. Badan kasar ini diikat oleh badan yang lebih halus, yakni nafas. Badan kasar dikendalikan oleh pikiran yang lebih halus lagi dari nafas, dan pikiran pun sudah tidak ada saat Nirbana.
Satu lagi lapisan tubuh yang tidak ada adalah ‘penyebab’. Apakah yang dimaksud dengan lapisan penyebab? Menurut perhitungan Panca Maya Kosa, lapisan terakhir yang membungkus Atma adalah Anandam. Ialah lapisan kebahagiaan yang tidak berbalik menjadi kedukaan. Dengan begitu, kita sedang diberitahu oleh ajaran bahwa tubuh atau badan ini tercipta karena kebahagiaan atau lila. Terjemahan lain dari Nirbana dalam Jnana Siddhanta adalah tan hana sadhya, artinya tanpa tujuan.
Bagian ketiga adalah Niskala. Nis berarti tanpa, tidak, atau bukan. Kala berarti waktu. Niskala berarti tanpa waktu. Artinya, Atma berada di luar waktu. Maksudnya, Atma tidak terikat, tidak disusupi, tidak dipengaruhi oleh waktu. Karenanya, Atma selalu dalam keadaan langgeng tidak berubah-ubah.
Singkatnya, Atma abadi. Dalam pustaka, Niskala dijelaskan sebagai pasamuhaning sarwa taya yakni perkumpulan segala yang tidak ada. Pertanyaannya, bagaimana mungkin segala yang ‘tidak ada’ bisa berkumpul? Konsep ini, dijelaskan dengan tan katuduhan [tidak terlihat]. Bisa juga diterjemahkan menjadi tidak diketahui. Niskala adalah konsep yang sangat abstrak. Seolah-olah mengawang di langit nun jauh, tapi sesungguhnya juga menyusup pada segala yang ada. Ia menyusup tapi tidak bisa disusupi.
Niskala merupakan sebutan bagi Atma yang hakikatnya telah sama dengan Bhatara [ekatwa Bhatara mwang Atma]. Tetapi menurut Jnana Siddhanta, kesaman hakikat itu baru sampai pada kaki Paramasiwa. Sedangkan, jika Atma sudah melebur dengan Bhatara, barulah disebut dengan Nirasraya. Nirasraya berarti tanpa dukungan atau tanpa kawan. Dengan demikian, Atma yang telah mencapai Nirasraya berarti tanpa dukungan atau sendirian. Coba bayangkan, ternyata pencapaian paling halus dari ajaran ini adalah kesendirian. Kesendirian apakah sama dengan kekosongan? Atau justru, Nirasryaya adalah kekosongan yang penuh.
Sampai disini, mari kita akhiri dulu pembicaraan yang terkesan mengawang-awang ini. Nanti kita lanjutkan lagi. Saya juga berpikir, bahwa pembicaraan semacam ini belum pantas saya lakukan karena saya belum pernah mati. Tapi, saya yakin kita semua memaklumi pembicaraan yang begini-begini sudah ramai dibicarakan dengan pengeras suara. Tidak lagi menjadi pembicaraan rahasia yang bisik-bisik. Pembicaraan sejenis ini sudah mengalir jauh-jauh hari, bahkan sebelum kerannya saya buka. [T]