Dulu, sewaktu saya masih MI (setingkat SD), saya masih ingat betul, setiap pukul satu dini hari di bulan Puasa, pintu rumah saya selalu ada yang mengetuk. Bukan pocong atau sebangsanya, tapi teman-teman saya yang mengajak saya untuk berangkat tongklek keliling desa.
Tongklek: sebuah seni memukul kentongan, gambangan, perabotan; dan apa saja–untuk membangunkan sahur—dengan memainkan lagu-lagu gending laras langen tayup. Kami akan keliling desa sambil memainkan alat musik buatan kami sendiri itu: gambangan dari kayu atau bambu, kentongan, jerigen sebagai bass, icik-icik dari tutup botol beer, kemplongan tenun itu, gentong yang kami tutupi ban dalam mobil sebagai bass kedua (alat-alat berat seperti ini, membutuhkan dua orang untuk memikulnya. Jadi, kami keliling desa sambil memikul gentong air yang terbuat dari tanah liat itu).
Tongklek itu semacam drumband. Yang membedakan hanya alat-alatnya. Kalau drumband memakai alat-alat modern, tongklek sebaliknya. Apa yang dipukul mengeluarkan nada, itu berpotensi untuk kami jadikan alat musik tongklek.
Nah, di kampung kami, ada satu grup tongklek yang legendaris. Ya tongklek teman-teman saya ini. Grup tongklek kami ini warisan secara turun temurun. Saat itu, saya, dkk, sudah menjadi generasi ketiga. Generasi pertama—para pendiri—sudah berkeluarga semua. Generasi kedua juga sama, waktu itu sudah banyak yang berkeluarga (walaupun saat itu, beberapa masih ikut kami keliling).
Di kampung kami ada satu orang yang totalitas sekali dalam urusan tongklek. Pokoknya, tongklek itu seperti istri keduanya. Dia ini, bapak muda anak satu yang dari dulu selalu konsisten ngurus anak-anak tongklek. Namanya Ngatim, Pakde saya sendiri. Beliau ini menganggap tongklek sebagai harga dirinya. Orangnya nyentrik, senim: rambut panjang, tapi perawakannya tak lebih tinggi dari saya. Kalau berbicara masalah tongklek, matanya berbinar-binar. Antusias sekali.
Dalam grup tongklek generasi ketiga itu, saya tergabung di dalamnya. Sebenarnya saya hanya ikut-ikutan saja. Karena hampir semua teman sepermainan saya ikut dalam grup tongklek itu. Makanya, selain karena tidak berbakat di bidang musik, praktis, saya hanya kebagian memainkan kecrekan (atau icik-icik) yang terbuat dari tutup botol beer yang dipukul hingga pipih. Sungguh, siapa pun bisa memainkan benda nirestetika itu.
Namun, mau memainkan alat apapun, kami tidak pernah malu berkeliling desa. Sebab, bisa bergabung dengan grup tongklek ini saja, itu sudah dipandang hebat bagi orang kampung kami. Jadi, eksistensi kami lumayan diperhitungkan.
Selain keliling sebelum sahur sampai menjelang sahur, biasanya kami juga keliling saat malam hari raya Idulfitri; dan setelah shalat dzuhur di hari raya Idulfitri. Setiap kali grup kami lewat, orang-orang akan berjajar di pinggir jalan: anak-anak, tua, muda, laki-laki, perempuan. Semua menonton kami. Dan tak jarang, beberapa memberikan kami uang, rokok, atau makanan. Momen-momen seperti itulah, yang kami tunggu.
*
Saat ini, grup tongklek itu sudah kami wariskan lagi. Tapi Pakde Ngatim juga yang masih mendukung—moral maupun material—anak-anak. Kali ini generasi keempat yang memainkannya.
Lain generasi lain pula modelnya. Jika dulu kami hanya mampu memainkan gambangan kayu atau bambu, jerigen, gentong, kentongan, dan barang-barang nggak jelas lainnya, generasi keempat ini sudah memiliki beberapa alat musik modern. Mereka tak lagi memainkan gambangan kayu kami yang legendaris itu. Sekarang suka beralih memakai gambangan besi kuningan—yang didesain seperti layaknya piano. Antara slendro dan pelok tidak tampak jelas. Bahkan mungkin mereka tak tahu apa itu slendro dan apa itu pelok.
Selain memang gambangan besi, grup tongklek kami saat ini sudah memiliki gong, bonang, drum betulan, seperti yang digunakan pemain drumband. Jika dulu kami memakai dua galon sebagai snare drum, saat ini grup tongklek kami sudah punya snare betulan. Dulu kami memanfaatkan kanopi lampu petromak sebagai cymbal, sekarang anak-anak sudah punya cymbal betulan. Dulu cukup hanya satu jerigen 20 liter sebagai bass, sekarang gentong air besar yang terbuat dari plastik itu yang dipakai bass. Jika dulu kami rela mikul barang-barang berat, sekarang mereka membuat semacam gerobak dorong yang didesain sedemikian rupa. Tentu saja ini memudahkan pemain tongklek dalam memainkan alat-alatnya.
Bukan hanya alat yang kami gunakan saya yang berbeda, tapi juga lagu-lagu yang kami mainkan. Dulu kami hanya memainkan lagu-lagu langen tayub, seperti: Pahlawan Ranggalawe, Sriwuni nang Kuto Tuban, Lingsir Wengi, Caping Gunung, dll. Sekarang beda, karena gambangan mereka memungkinkan untuk memainkan lagu ala dangdut, maka lagu yang dimainkan anak-anak sekarang tak jauh dari itu. Lagu-lagu Didi Kempot, lagu-lagu yang dipopulerkan Nella Karisma, sesekali juga memainkan lagu-lagu shalawat. Ini perkembangan yang sangat pesat, menurut saya. Dan siapa yang tahu, bahwa grup tongklek legendaris itu, kini menjelma menjadi sebuah warisan yang masih diminati oleh generasi penerus kami.
Dan tongklek, mungkin di seluruh Kota Tuban, menjadi permainan musik yang ditunggu-tunggu saat bulan Puasa. Bahkan permainan musik ini sering dilombakan dan difestivalkan. Tongklek bukan lagi menjadi permainan suka-suka, tapi sudah menjelma menjadi kompetisi dan ladang profesi. Di beberapa desa di Kota Tuban, tongklek bahkan bertransformasi sebagai hiburan semacam dangdut atau pertunjukan musik lainnya. Banyak orang hajatan yang lebih memilih tongklek sebagai pengisi acara daripada dangdut, misalnya. Selain karena ongkosnya lebih murah, tongklek sekarang memang tak jauh beda dengan dangdut. Hanya saja tongklek tidak memakai alat musik yang menggunakan listrik.
Jika saya pemerintah serius menggarap tongklek ini, tidak menutup kemungkinan, kesenian ini akan tetap bertahan sampai kapan pun—dan tentu saja bisa dijadikan sebuah destinasi pertunjukan rakyat Kota Tuban. [T]