Tatkala sektor pariwisata dan perekonomian diberhentikan sejenak, sektor pendidikan dengan gagahnya masih terus melaju hingga detik ini. Kadang disisi hati tergelap ingin rasanya lebih memilih menjadi pengangguran daripada masih bekerja namun dengan sistem yang berbeda seperti saat ini.
Ya, bagi saya pribadi menjadi seorang pengangguran setidaknya lebih jelas dari segi sistem, “gak kerja, gak ada uang” sewajar itu. Hal ini tentunya bukan tanpa musabab yang jelas. Pasca sebulan kebijakan WFH (Work From Home) mulai diberlakukan, banyak sektor mata pencaharian yang seperti mulai atau bahkan sudah kehilangan inangnya (baca: penghasilan). Pariwisata, perekonomian bahkan pendidikan.
Tak tanggung-tanggung, banyak hotel yang sudah memberlakukan PHK masal kepada karyawannya dengan dalil sudah “matinya” pariwisata di daerahnya. Adapula yang mengambil keputusan besar untuk menutup hotel. Memang, beberapa hotel ada yang tetap buka akan tetapi itu bisa dihitung dengan jari dan karyawan yang dipekerjakan pun merupakan kalangan staff ke atas. Sisanya? Ya, dirumahkan.
Di sektor perekonomian pun demikian adanya. Toko-toko diberikan kebijakan agar sudah menutup usahanya pukul 16.00 WITA. Hal ini guna meminimalisir jumlah masyarakat yang berkeliaran hingga malam hari agar penyebaran wabah corona bisa berkurang. Lantas, bagaimana dengan dunia pendidikan di Indonesia khususnya di Bali?
Saya adalah seorang guru di salah satu sekolah dasar swasta. Terhitung sejak 16 Maret 2020, kebijakan BDR (Belajar Dari Rumah) telah diberlakukan keseluruh jenjang pendidikan. Sedari hari itu, banyak pelaku-pelaku pendidikan mulai menyusun strategi atau kebijakan tentang bagaimana pembelajaran dapat berlangsung kedepan selama masa covid-19 ini berlangsung. Mulai dari orang-orang di Kementerian Pendidikan hingga orang-orang di lingkungan sekolah, semua mendiskusikan hal ini.
Singkat cerita, pembelajaran berbasis daring (online) pun terpilih sebagai alternative yang sangat bijak untuk diterapkan selama pandemi ini. Tentu, ada pro dan kontra terkait hal tersebut mengingat teknologi tidak merambah secara menyeluruh ke semua pelosok di seluruh negeri, namun ini satu-satunya pilihan yang sangat mungkin untuk dilakukan.
Jikalau ada kekurangan seperti halnya masalah tadi, hal itu diserahkan kembali ke masing-masing sekolah agar bisa diadaptasikan sesuai kemampuan masing-masing sekolah. Menteri Pendidikan pun berpesan agar pembelajaran via daring ini benar-benar menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Lalu jikalau memungkinkan, pembelajaran haruslah diselipkan dengan materi-materi yang memberikan edukasi tentang Covid-19 ini. Seperti halnya, cara menjaga kesehatan tubuh, membersihkan lingkungan, dan lain-lain.
Hari demi hari, minggu demi minggu pun berlalu. Pembelajaran berbasis daring berlangsung secara lancar dan aman jika dilihat dari kacamata umum. Bagaimana tidak? Nyatanya, beberapa permasalahan pun mulai muncul di beberapa sekolah. Mulai dari kurangnya kreatifitas guru dalam memberikan materi ajar via daring hingga SDM dari siswa, orang tua ataupun guru yang masih jauh dari kata “mampu” menghadapi teknologi.
Tidak hanya itu, keluhan tentang jadwal pembelajaran yang diberikan pihak sekolah kepada siswa pun mulai dikeluhkan oleh beberapa pihak orang tua. Ada pihak orang tua yang menyarankan pihak sekolah agar tak terlalu banyak memberikan tugas yang ujung-ujungnya merepotkan orang tua juga. Ada pula pihak orang tua yang menyesalkan mengapa anak mereka hanya mendapatkan sedikit mata pelajaran per harinya sedangkan mereka tetap membayar SPP secara normal?
Benar, pihak-pihak pengadu ini merasa tidak adil rasanya jika demikian. Saya tak menyalahkan juga keadaan ini mengingat banyak dari orang tua siswa pun terutama yang bekerja diswasta tlah kehilangan pekerjaan nya akibat wabah ini. tak heran, jika hal ini juga yang membuat beberapa sekolah swasta dengan sangat berat hati harus memangkas gaji guru menimbang kondisi ekonomi orang tua siswa yang juga sedang kacau. Memikirkan bagaimana menghidupi keluarga selama beberapa bulan kedepan saja rasanya sudah berat, ditambah lagi harus memikirkan tugas anak-anak mereka.
Nasib baik bagi anak-anak yang ditemani orang tuanya dirumah mengerjakan tugas. Namun, kadang tak semua tugas mampu dibantu oleh orang tua. Semisal, ketika sang anak memiliki tugas bahasa inggris, maka orang tua yang tak mahir dalam pelajaran tersebut akan kesulitan membantu si anak. Beruntung jika anaknya penurut mau disuruh mengerjakan tugas, jika tidak? Beberapa faktor inilah yang membuat beberapa pihak orang tua merasa jenuh dan stress selama proses BDR ini berlangsung.
Tak hanya orang tua, anak-anak pun sama demikian. Aktifitas yang monoton, tak berjumpa dengan teman-teman mereka ditambah tugas yang banyaknya entah berapa menyebabkan mereka juga mengalami fase jenuh di masa-masa BDR ini. Lantas, apakah itu berarti para guru adalah pihak yang paling santai dalam kasus ini? Pastinya TIDAK JUGA! Justru guru adalah orang yang jauh-jauh hari harus memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Guru memikirkan bagaimana harus menyelesaikan materi yang tersisa melalui cara menyenangkan dengan sisa waktu yang ada dan tetap memprioritaskan kesehatan siswa maupun orang tua selama masa BDR ini berlangsung. Tak hanya menyiapkan pembelajaran, administrasi pun turut dipersiapkan mengingat adanya arahan untuk menyimpan arsip dan segala dokumentasi pembelajaran selama masa BDR ini dilaksanakan.
Lumayan berat sesungguhnya tugas seorang pendidik di masa-masa sulit ini. Tanpa ada maksud untuk mengeluh terhadap kewajiban yang ada, namun inilah kenyataan yang ada. Bahwa benar adanya kejenuhan ini tleah kami; guru, siswa dan orang tua rasakan selama masa pandemi ini berlangsung yang sudah sebulan dan entah sampai kapan.
Bahwa benar adanya kondisi rumit ini menyebabkan kami, tenaga pendidik terkadang berpikir “apa yang selama ini kami kejar? Validasi kah atau apa?”. Tanpa bermaksud menyepelekan pekerjaan lain, beberapa dari kami tenaga kependidikan pun kini merasa bahwa tekanan yang kami dapat, baik dari aturan Kementerian maupun kritikan orang tua tak selaras dengan pendapatan yang kami dapatkan selama masa pandemi ini.
Kembali pada apa yang saya sampaikan diawal tulisan ini, hal inilah yang menjadi dasar pemikiran saya agar bagaimana jika sebaiknya pendidikan atau BDR kita saat ini “ditidurkan sejenak”. Toh, hal ini juga demi kesehatan pihak para tenaga pendidik, siswa ataupun orang tua yang juga tlah mengalami beban pikiran terkait pekerjaan mereka.
Tak harus berlama-lama, setidaknya cukup untuk kembali memulihkan kondisi psikis kami dalam menjalankan BDR. Disamping itu, agar “istirahat” kami tenang maka berikan pula kami arahan yang jelas, kemana fokus anak-anak kami akan dibawa. Jikalau dari awal fokusnya adalah kenyamanan dalam belajar, maka jangan tuntut kami agar harus memiliki segudang data nilai dari anak tersebut yang kelak kami jadikan pondasi untuk kelulusan ataupun kenaikan kelas sang anak.
Namun, jika memang angka (nilai) masih penting untuk dimiliki ditengah kondisi belajar seperti ini, maka berikanlah guru dan siswa keringanan dalam memperolehnya. Prihal pesangon (pendapatan) para guru yang harus dipotong atau tidak diberikan jikalau benar dunia pendidikan “ditidurkan sejenak”, maka biarlah itu menjadi resiko dari keputusan tersebut. Itu rasanya lebih baik, daripada banyak memiliki tanggung jawab kerja namun pendapatan tak seberapa bahkan menurun.
Bagi saya, apalah artinya kita tak sakit karena corona jika pada akhirnya kita sakit karena pikiran merana? Itu sama saja. Sekali lagi, kami hanya ingin beristirahat sejenak sama halnya seperti Hotel-hotel yang menutup usaha mereka sejenak selama wabah ini berlangsung. Akhir tulisan saya ucapkan maaf dan terimakasih. Tetaplah sehat, tetaplah waras! [T]