Pagi itu selepas main tenis saya terlibat percakapan “panas ” dengan seorang pensiunan polisi, lawan bermain hari itu. “Pak dokter, bagaimana itu teman-teman anda kok cengeng semua, minta macam-macam sama Pak Jokowi, tak mau merawat pasien Corona tanpa perlindungan lengkap katanya!”
Lalu dia melanjutkan, “Kami dulu menangkap maling juga dengan melalung, kalau nasib lagi apes bisa duluan kena tembak!”
Mungkin dia menyimak kegelisahan para sejawat saya di seluruh negeri yang menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah akan APD (Alat Pelindung Diri ) yang memadai untuk rekan-rekan kami yang bertugas di garda depan penanganan Covid 19. Buktinya sampai hari ini kurang lebih 30 dokter yang sudah meninggal karena tertular virus itu. Terlepas dari apapun alasan kematiannya. Dari yang memang punya penyakit kronis, maupun yang melayani pasien tanpa melengkapi diri dengan perlindungan yang maksimal.
Polisi tewas ditembak perampok, dokter mati kena coronaapalah bedanya? Itu kan resiko dari pilihan kita memilih profesi tersebut. Mungkin begitu pemikiran teman main tenis saya itu. Barangkali itu juga ada di benak sebagian masyarakat kita saat ini. Tapi kalau ini diperdebatkan, waktu sehari tak akan menemukan titik temu.
Saya ingin memandangnya dari sudut lain, kesetiaan pada panggilan tugas, mengikuti kata hati, perintah pimpinan atau apaupun itu. Yang paling abstrak mungkin adalah kecintaan kita pada negeri, pada Indonesia.
Saat media memberitakan kepulangan para perawat China dari luar negeri untuk membantu rakyatnya yang tertimpa wabah, kemudian diapresiasi oleh seluruh rakyat saat pandemi mereda di tempat asalnya kota Wuhan, di manakah posisi tenaga kesehatan kita, dalam hal ini dokter maupun perawat dalam menghadapi situasi yang sama di tanah air?
Saya ingin menjawabnya dengan sedikit kata saja, “Rasa cinta tanah air”. Mungkin itu saja yang membedakan. Saya tak ingin berpolemik, misalnya dengan menyebut pemerintah di sana lebih bagus, lebih menjamin tenaga kesehatannya, dan ujungnya bisa diterka-terka karena sistem pemerintahan sosialis di sana memungkinkan hal itu terjadi.
Saat menuliskan ini, entah kenapa saya teringat Leo kristi, penyanyi rakyat dari kota Surabaya. Mungkin kebetulan saja beberapa bulan ini saya sangat menggilai lagu-lagunya, dan saya lihat di status seorang sahabat juga menyebutkan namanya. Artinya saya tak sendiri menggemari sosok ini. Barangkali satu penyesalan terbesar saya adalah tak sempat menonton konser Leo kristi yang katanya sangat merakyat itu sampai beliau meninggalkan kita.
Mencintai Indonesia itu siapa? Indonesia yang mana?, mungkin itu pertanyaan tersulitnya. Tapi bagi Leo Kristi, Indonesia itu sudah pasti adalah rakyatnya, masyarakat pinggiran, petani dan nelayan yang sering dilukiskan dengan sedih di lagu lagunya. Pada merekalah dia berpihak. Konon saat konsernya yang selalu diistilahkan dengan konser rakyat dia tak pernah mematok harga yang standar untuk penyelenggaranya. Bahkan sampai meninggal pun dia tak punya satu album rekaman pun. Mungkin itu sebagai tanda perlawanannya kepada pihak pemodal yang dianggap tak banyak berpihak pada rakyat kecil.
Indonesia bagi Leo kristi hari ini (andai dia masih hidup) adalah para buruh kasar, petani dan nelayan yang harga buah dan ikannya menurun tajam, karyawan rendah yang di PHK karena situasi pandemi yang melanda negeri. Dan bukan hanya Pengendara OJOL dan pelaku UMKM yang terlihat dapat perhatian lebih pemerintah. Begitu status seorang sahabat yang menyesalkan keberpihakan pemerintah yang dianggap tak cukup adil.
Memang benarlah adanya ungkapan bijak, bahwa situasi yang sulitlah yang akan menunjukkan kompetensi seorang pemimpin, dan integritas dari sosok individu. Apakah dia bisa menjadi seorang yang bisa menyeslesaikan sebuah persoalan atau tidak. Dan yang terburuk jangan jangan dia atau mereka itu justru bagian dari masalah yang sedang terjadi. Dan pada konteks tulisan ini, saat inilah kecintaan kita pada tanah air kita tunjukkan, Indonesia yang mungkin tak kita pilih, tapi justru memilih kita sebagai penghuninya.
Mari kita berperan secara proporsional dalam usaha mengentaskan pandemi ini. Jangan terlalu berlebihan dan jangan juga diam saja atau justru merecoki. Situasi ini mungkin akan kita lewati dalam waktu yang panjang, jadi diperlukan kebersamaan dan nafas yang panjang dari segenap anak negeri. Tenaga kesehatan pasti tak bisa menolak saat harus menerima atau merawat pasien terduga korona, jadi tolong pemerintah mengusahakan kelengkapan perlindungan dirinya. Kepolisian bisa berperan aktif menjaga agar masyarakat mematuhi anjuran dan larangan dari pemerintah. Dan kita masyarakat lainnya juga tinggal memilih peran kita masing masing.
Mari memikirkan ulang apa itu Indonesia, siapa dia? Agar kita bisa mencintainya dengan semangat yang sama. Kalau bisa saya lukiskan dalam sebait puisi:
terasa sembap kelopak mata
dan rasa penuh di dada
oleh cinta tak terperi
pada negeri