“Jawaban yang mereka berikan kepada kami terus berubah-ubah; kadang mengulur-ulur, kadang membatasi; tapi pada dasarnya secara sistematis mereka menolak kami…” (hal. 1)
Membaca novel ini adalah melihat rasa takut pada diri saya. Bagaimana tidak, di situasi yang tak tentu seperti saat ini; pandemi, ekonomi kacau, APD sekarat, kegamangan pemerintah pusat maupun daerah serta hal-hal lain yang berkelindan menampakkan dunia yang semakin tidak baik-baik saja—membuat saya ketika membaca Monster Kepala Seribu karya Laura Santullo seakan melihat karakternya hadir di dekat saya.
Novel ini mengisahkan tentang keluarga Bonet yang berjuang untuk mengajukan klaim asuransi di Alta Salud atas sakit yang diderita suami Sonia. Bermula dari Sonia dan putranya, Dario, mendatangi kantor perusahaan asuransi Alta Salud pada suatu pagi dan lagi-lagi ia kesulitan menemui dokter koordinator yang menangani kasus suaminya. Ia tampak sangat marah, apalagi ketika tahu bahwa dokter ada di sana tapi petugas resepsionis mengatakan sebelumnya bahwa dokter tidak ada.
Sebagai seorang istri, ia terus berjuang dan memohon kepada perusahaan asuransi agar mengabulkan prosedur medis yang dibutuhkan oleh suaminya yang sakit keras. Ketika semua jalan yang sah secara hukum tertutup, ia tidak punya pilihan kecuali melakukan satu hal nekat.
“Pengalaman selama beberapa bulan kemarin menyadarkan saya kalau saya tidak mungkin bisa menggugah orang lain dengan kata-kata”(hal. 31)
“Mereka mendepak saya dari dunia yang rasional, dari kepercayaan kepada masyarakat yang beradab. Dan seekor binatang buas yang disudutkan tidak akan merintih, dia menggigit.” (hal. 31)
Kemarahan, kekesalan, kesedihan dan kekecewaan tampak apik Laura Santullo ramu dalam novel menggunakan lebih dari satu sudut pandang ini. Kekecewaan berkali-kali hadir meskipun hanya untuk mengajukan klaim—entah sebab dokumen yang dibawanya kurang atau salah, entah yang hendak ditemuinya tak ada di tempat, ia bahkan dituduh mengada-ngada tentang penyakit suaminya. Keluarga ini bak dijerumuskan dalam rimba birokrasi yang menyesatkan.
Membaca novel ini, saya (atau bahkan kita) disadarkan bahwa Alta Salud adalah cerminan sebuah institusi secara umum dan birokrasi rumit di baliknya—khas negara kita. Setiap apapun usaha untuk menghadapi dan menyelesaikannya, selalu diperumit, di mana setiap orang yang hendak menaklukannya justru dijadikan bola bekel dalam permainan untuk dilempar ke sana-kemari bahkan hingga nyaris kehilangan rasionalitas; sebuah institusi yang hanya dihuni segerombolan tamak yang hanya mendahulukan kepentingan ekonomis dibanding etis.
Laura telah mencontohkan pada kita bahwa perihal jaminan kesehatan meskipun kau telah membayarnya bahkan selama lima belas tahun pun, tak menjadikanmu mudah untuk mendapatkan apapun yang kamu minta. Laura Santollo melalui karakter Sonia mengatakan pada kita bahwa, tak ada jaminan kesehatan hari ini dan birokrasi adalah rimba belukar yang tak mudah kita tembus—apalagi hanya berbekal kata-kata.[T]