Siapa yang tidak mengenal Superman is Dead alias SID. Band punk rock asal Bali yang sudah mendunia. Karya-karyanya banyak yang hits dan selalu didengarkan di seluruh tanah air. Fans base merekapun tersebar dimana-mana. Mereka adalah salah satu icon musik di Bali, mungkin juga di Indonesia.
Saya teringat album mereka yang terbaru. Tiga perompak senja. Di album ini yang saya rasakan mereka seakan kembali bernostalgia dengan “kenakalan-kenakalan” mereka di masa remaja. Saat mereka masih indie band. Saya mengikuti band ini sejak mengenal lagu yang berjudul Mengintip. Hingga akhirnya semakin suka ketika keluar lagu Punk Hari Ini di album Kuta Rock City yang merupakan album pertama mereka di mayor label Sony Musik Indonesia.
Kembali ke lagu Tiga Perompak Senja. Semua pasti tahu bahwa tiga perompak itu adalah ketiga orang personil dari SID tersebut yang telah berumur (senja). Bobby Cool pada gitar dan lead vokal, Eka Rock pada bass dan backing vokal, terakhir Jerinx sebagai drummer. Ketiga personil SID ini memiliki karakter yang berbeda. Bobby lebih cool, kalem. Eka lebih lucu. Jerinx lebih ke yang urak-urakan, emosi, sering pula cuitan-cuitannya bikin geger di media sosial. Namun itulah SID. Selama hampir 25 tahun mereka tetap seperti itu. Konsisten. Dan karya-karya mereka masih diterima oleh masyarakat. Saat ini karya mereka terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan yang terdahulu.
Lalu, apa hubungan SID dengan Bangli Sastra Komala? Mungkin terlihat terlalu memaksakan ya bila saya menghubung-hubungkan antara mereka yang tahun ini hampir 25 tahun berkarir dengan komunitas yang baru seumur jagung. Tapi kalau dipikir-pikir lebih jauh lagi, memang nampak sedikit kesamaan. Apa itu?
Bangli Sastra Komala dibangun murni bertujuan untuk mengajak masyarakat terutama pemuda Bangli untuk menulis sastra Bali modern sebagi fokus kami. Karena setelah saya bertanya kepada beberapa penglingsir Sastra Bali modern (SBM) seperti IDK Raka Kusuma, I Nyoman Manda, IGG Djelantik Santha, Ngakan Kasub Sidan, di Bangli belum ada penulis sastra Bali modern yang intens menelurkan karya apalagi menjadi sebuah buku. Tetapi setiap event PKB selalu Bangli ada yang mewakili lomba menulis cerpen berbahasa Bali. Apa mungkin mereka menulis hanya bertujuan untuk lomba saja?
Ada perasaan miris dalam hati, meskipun saya baru belajar menulis SBM pada waktu itu, melihat hanya Bangli yang penulis-penulismya tidak muncul di Bali. Apa karena Bangli kota sepi? Atau karena suasananya yang dingin? Bukankan itu seharusnya menjadi sebuah keunggulan dan keuntungan karena bagi penulis suasana sepi dan sejuk sangat tepat untuk mendapatkan ilham dan menuliskannya ke dalam sebuah karya sastra. Sutan Takdir Alisjahbana saja membuat sebuah pedepokan sastra di tepi Danau Batur. Begitupula cerita IGG Djelantik Santha yang melegenda “Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang” dimana setting tempatnya juga ada di Bangli. Kisah-kisah purba lainnya pula turut menjadikan Bangli sebagai tempat ideal untuk menulis.
Lalu kemana para sastrawan Bangli? Saya tidak tahu. Banyak kepingan cerita yang harus dikumpulkan dan dijadikan satu kembali. Itulah mengapa saya mengajak Darma Putra dan Pande Jati waktu itu untuk membentuk Bangli Sastra Komala. Kami sepakat untuk membentuk komunitas ini. Akhirnya kami datang ke rumah Pak Wayan Supertama seorang penekun lontar sebagai orang yang kami tuakan, beliau memberikan sebuah nama cantik plus singkatannya, Bangli Sastra Komala (Baskom).
Kami bertiga seakan-akan seperti Superman is Dead. Tiga perompak tapi masih muda. Setelah sekian tahun berjalan dengan beberapa kegiatan diiringi semakin banyaknya memiliki sahabat di Bangli yang masuk menjadi bagian dari komunitas sebut saja Eka Guna Yasa, Renes Muliani, Agus Mahardika, Lilis Prismayanti, Angga Paradarma, Dewa Adnyana, Intan, dan yang lainnya. Begitu juga penulis-penulis luar Bangli yang selalu mensupport kami yang baru belajar menulis. Seiring perjalanan waktu , saya merasa betapa berbedanya karakter kami bertiga. Ya. Seperti ketiga personil SID tersebut.
Darma Putra adalah sosok yang cool, kalem dan menawan seperti Bobby Cool. Dia selalu menjadi idola dalam komunitas. Diapun memiliki kemampuan lebih di aksara dan filosofi Bali. Makannya tak heran, tulisan-tulisannya sangatlah dalam. Penuh filosofi. Kalau saya membaca harus dalam suasana yang tenang dan sunyi untuk mencari intisari dari tulisan tersebut. Tapi keseringan tidak dapat karena saking dalamnya.
Pande Jati merupakan sosok yang legowo, selalu menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya. Dia lucu. Selalu ada untuk kawan-kawannya. Saya merasa Pande Jati seperti Eka Rock yang selalu ceria dengan kelucuannya. Pande Jatipun memiliki kemampuan yang berbeda dengan Darma Putra. Dia lebih cenderung larinya ke sastra Bali tradisional, Geguritan. Sering dia ngayah di pura. Berkat kemampunnya tersebut dia bisa mendapatkan kosakata-kosakata yang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Baca saja kumpulan puisi perdananya yang berjudul Silunglung. Apa arti dari silunglung? Pernahkah mendengar kata silunglung?
Nah, yang terakhir adalah Alit Joule alias saya sendiri. Terlalu naif sepertinya ya jika ngomongin diri sendiri. Tapi karna tuntunan tulisan, saya harus menuliskan tentang diri saya sendiri. Saya tidak mau membicarakan yang baik-baiknya saja. Saya ingin netral. Dan berdasarkan dari kacamata sahabat-sahabat yang lain juga. Agar seimbang.
Seperti karakter Jerinx yang idealis,emosional, ngomongnya juga kadang kasar, tapi aslinya dia supel, dan di interview terakhir yang saya tonton Jerinx adalah orang yang sopan dan attitudnya bagus, meskipun terlihat urak-urakan. Ya, saya merasa seperti itu. Yang paling sering emosi dan buat masalah adalah saya. Yang paling egois adalah saya. Yang paling banyak bicara adalag saya. Yang terlalu kaku terhadap pendiriannya adalah saya. kedua sahabat saya itu memiliki pendirian, tapi yang saya lihat mereka tidak kaku. Mereka lebih bisa diajak berdamai. Lebih kompromis. Teman-teman yang lainpun berkata begitu.
Mereka juga mengatakan bahwa salah satu kelebihan saya dari yang lain adalah pada penulisan cerita-cerita. Puluhan cerpen lahir. Novel Satyaning Atipun tercipta ketika usia saya 24 tahun. Dan Bayu Purnama waktu peluncuran buku Ngantiang Ujan dan Satyaning Ati di STKIP di Karangasem menyatakan bahwa saya penulis novel berbahasa Bali termuda di Bali.
Sempat beberapa kejadian membuat suasana yang dulu hangat menjadi dingin. Ya, seperti perang dingin antara US dan Uni Sovyet. Entah apa yang menyebabkan, saya tidak tahu. Apa mungkin karna ego saya yang terlalu tinggi? Idealisme saya yang menyebabkan saya terlalu kaku? Atau ocehan-ocehan saya yang terkadang bikin orang sakit hati? Yang pasti saya merasa ada yang berbeda. Saya lihat semuanya berjalan sendiri-sendiri di jalurnya sendiri. Tapi itulah organisasi. Ada saatnya jaya ada saatnya vacum dan berjalan sendiri-sendiri.
Dan kini, ketika saya sudah jauh dari rumah, bekerja jadi buruh di kapal pesiar, tidak bisa dipungkiri saya sangat merindukan mereka berdua. Apakah mereka merindukan saya? Saya tidak tahu. Tapi feeling saya, ada satu waktu mereka mengingat diri saya. Mengingat Bangli Sastra Komala yang kita bangun dengan ketulusan hati bersama dengan sahabat lainnya.
Seperti layaknya Superman is Dead yang masih bertahan dengan perbedaan karakter mereka dan masih menghasilkan karya adalah sesuatu yang tidak mudah. Mereka pasti merasakan kepedihan, perselisihan, pertengkaran dan perjuangan yang amat berat untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Saya berharap kami bertiga bersama sahabat-sahabat yang lain bisa menjadi palang pintu terakhir untuk Bangli Sastra Komala. Semakin dewasa baik dalam sikap maupun karya. Bisa memberi pengaruh kepada kaum muda Bangli untuk menulis. Dan bisa terus melahirkan tulisan-tulisan berbahasa Bali maupun berbahasa Indonesia.
Sekali lagi, saya sangat merindukan sahabat baik saya Darma Putra dan Pande Jati. Meskipun saya dan Pande Jati sudah berkeluarga dan semoga Darma Putra lekas menyusul, begitu juga jarak yang memisahkan serta kesibukan-kesibukan lainnya, asa untuk berkumpul selalu membara dalam kalbu. Melupakan segala perselisihan dan ego dalam diri. Bercerita tentang nostalgia penuh canda tawa ditemani secangkir kopi hitam dan buah lisah yang dipetik langsung dari halaman rumah. Sungguh membahagiakan. Dan benar, ternyata bahagia itu sederhana.
Salam dari samudra. [T]