Oleh Ni Putu Watiasih — SMA PGRI 1 Amlapura
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah” _(Ki Hajar Dewantara)
Kutipan bapak Pendidikan Indonesia di atas saya rasa masih relevan, lebih-lebih pada masa krisi Civid-19 kini. Memang benar bahwa setiap orang mampu menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah. Sekolah yang saya maksud bukanlah ruang kelas dan ada kepala sekolahnya. Tapi di sini yang saya maksud adalah rumah tempat tinggal yang bisa menjadi tempat belajar anak-anak. Lebih-lebih bagi mereka yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan dan buta aksara.
Sekarang adalah zaman yang penuh dengan kemudahan, apalagi untuk mengenyam pendidikan, sangat mudah sebab pemerintah sudah mewajibkan Wajib Belajar 12 Tahun dengan beragam beasiswa dan pembebasan iuran. Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total belanja negara yang direncanakan. Adapun Dana BOS dalam RAPBN tahun 2020 direncanakan sebesar Rp 54,31 triliun meningkat 9% dibandingkan dengan outlook APBN 2019 (CNBC Indonesia).
Walaupun demikian, tidak semua orang mampu mengenyam pendidikan yang normal seperti orang lainya. Mungkin saja mereka memiliki kebutuhan khusus yang menghambat cara kerja otak mereka untuk membaca, berhitung, dan mengingat, serta cenderung reaktif (nakal) sehingga mereka dikucilkan dari lingkungan sosial dan di cap bodoh di sekolah. Beberapa bahkan putus sekolah. Ada alternatif Kejar Paket (A, B, C) dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Namun, orang tua mereka tidak cukup memahami prosedur ke arah sana atau memang tidak punya cukup waktu untuk mengurus itu karena sibuk sebagai buruh serabutan. Anak-anak seperti itulah yang ada di sekitar lingkungan saya. Anak-anak seperti itu, meski hanya 4 orang, meraka punya masa depan, kehidupan mereka harus berlanjut. Membaca dan menulis adalahy fondasi. Hanya saja, ternyata taksatupun dari mereka yang saya tanya mereka sama sekali tidak hafal alfabet, ‘buta aksara’ lebih tepatnya. Buta aksara itu adalah kondisi dimana kemampuan membaca dan menulis belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Bagaimana cara saya membantu mereka? Di mana saya akan mengajari mereka? Pertanyaan itu memberi jawaban kerinduan saya tentang guru dan sekolah akibat masa darurat Covid-19. Rumah menjadi sekolah dan saya adalah gurunya. Rumah adalah tempat yang ramah bagi mereka. Kawan adalah guru terbaik baginya.
Rumahku tepatnya dikamarku bisa kugunakan tempat untuk mengajar mereka membaca. Tembok kamar kusam berwarna merah marun adalah papan tulisnya. Kami memiliki kertas buram yang saya ambil di ruang perpustakaan sekolah. Namun, imajinasi liar mereka, mereka sering mencoreti tembok kamar saya.
Seperti yang dikatakan Bapak Ki Hajar Dewantara bahwa semua orang bisa menjadi guru. Maka, saya pun menjadi guru. Meski saya hanya seorang siswi SMA di sekolah swasta tapi itu tidak menghalangi tekad saya untuk membantu mereka. Saya tidak mau mengatakan bahwa mereka nantinya akan berperan bagi bangsa. Namun, paling tidak anak-anak itu adalah harapan orang tuanya. Contoh terbaik baik putra-putrinya. Sudah saya putuskan tugas mulia ini saya lakukan di rumah dengan tempat seadaanya.
Di rumah saya, saya memgajari mereka belajar membaca sambil bermain. Menanti mereka untuk paham satu huruf membutuhkan kesabaran dan tidak mudah. Apalagi dengan kamar yang berukuran 3×3 terasa sempit dan panas. Alat perlengkapan menulis dan membaca pun terbatas, tidak ada papan, serta buku yang terbatas jumlahnya. Dulu, saat masa-masa sibuk sekolah dan membantu ibuku yang kerja serabutan, sempat saya ingin menyerah sebab untuk apa? Mereka siapa? Untungnya untuk siapa?
Namun, saya sadar bahwa jika bukan di rumah ini di mana mereka bisa belajar. Di sekolah mereka kadang mendapat perundungan apakah saya tega begitu saja. Tidak, saya mulai ingat kata guru saya “Belajarlah menjadi lentera di desa kecil jika tak mampu menjadi lampu di dunia, karna kamu sama bermanfaatnya dengan secercah cahaya di kegelapan” dari kata-kata itu saya mulai bersemangat kembali.
Lebih dari itu, sesungguhnya saya sedang belajar. Menjadi guru bagi mereka adalah membelajarkan diri dalam kesabaran, membelajarakan diri dalam kepedulian, membelajarkan diri dalam keikhlasan. Menjadikan kamar saya sebagai sekolah adalah memberi nuansa pada setiap sudut. Memang di sudut kamar saya tidak ada laptop, tidak ada rak mewah, tidak ada lemari dengan baju bermerek, tidak ada rak sepatu mahal, tetapi di setiap sudutnya ada keriangan, ada kebahagiaan. Bukankah harga kebahagiaan itu tidak sebanding dengan harga komputer, baju, tas, dan sepeatu bermerek itu? Kebahagiaan tidak ada harganya. Ia tidak bisa dibeli.
Aku ingat satu momen pada hari itu, 10 April 2019. Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke-15. Ketika aku hendak masuk dan melakukan kegiatan mengajari mereka membaca ada yang aneh kurasa. Karena anak-anak itu menghalangi ku masuk ke dalam. Rama salah satu anak yang saya ajari sambil berlari menghampiriku mengatakan “ka-kaak selamat ma-suk” bicaranya masih terbata-bata karna mungkin kerja otaknya yang lemah meski umurnya sudah 8 tahun.’ I love you’ kata itu tertulis di tembok yang biasa ku gunakan sebagai papan.
Aku merasa terharu dengan kejutan ulang tahunku dari mereka. Satu doaku untuk mereka “Tuhan semoga mereka bisa membaca.” Begitu berharganya kalian dan juga ruang belajar ini yang saya tebar dengan rasa sayang dan pengabdian yang tulus. [T]
***
Biografi Penulis
Ni Luh Putu Watiasih, siswa kelas X IPS SMA PGRI 1 Amlapura. Beralamat di Jln Ahmad Yani, Gang Surya Cupung, Banjar Adat Galiran Kelod. Pernah meraih Juara I Lomba Kording Jumbara PMR PMI Kabupaten Karangasem 2019. Pengelola Waskita, Majalah sekolah SMA PGRI 1 Amlapura. Terlibat dalam Ekstrakurikuler Sastra dan Jurnalistik SMA PGRI 1 Amlapura. WA: 0895623448317