Oleh: NI Putu Purmayanti – SMAN Bali Mandara
Dimensi waktu yang terus berputar kian membentuk jam, hari, minggu, dan mungkin sampai bulan. Namun, dimensi ruangku masih di sini di ruang bernada biru. Di sini adalah tempatku mengukir kisah di dimensiku sendiri.
Aku telah diam di suatu ruang yang menjadi saksi aku telah menemukan jati diriku setelah pencarian selama 3 tahun. Sepasang bola di wajahku menatap nanar helaian kertas yang dijilid dan ternodai oleh tinta. Aku telah berjuang dalam medan perang untuk mengakhiri kisahku dan mengakhiri sistem sebelum sistem yang baru diterapkan.
Kini aku mengukir kisah manis dan berkesan untuk yang terakhir kali di masa putih abuku. Berpakaian seperti gadis Bali yang dibalut kembali dengan kain bernada hitam dan sebuah toga aku dan teman seperjuangnku berjejer di atas panggung. Ritual kelulusan yang membuatku senang karena perjuanganku dimasa ini telah aku lewati. Namun, aku sedih karena harus bertemu dengan awal perjuangan baru. Kupeluk orang tuaku yang selalu senan tiasa memberikan harapan. Aku berterimakasi kepada orang tua keduaku yang telah memberikan ilmu kepadaku.
***
Tapi, Itu semua hanya sebuah halusinasiku di dimensi ruang biru. Kepalaku melayang memikirkan hal yang seharusnya terjadi. Kejamnya semesta membuat semua yang direncanakan itu hancur. Pada kenyataannya aku hanya bisa diam meratapi nasibku. Usai sebelum waktunya, beristirahat saat bukan jamnya itu yang aku rasakan. Seharusnya aku tengah berjuang untuk menorehkan prestasi terakhir sepanjang jaman di Ujian Nasional.
Kelulusanku kini tak berkesan bahkan banyak orang berucap bahwa kami angkatan virus yang mebuat kami hancur. Perjuangan kami bisa dibilang sia-sia. Kata selamat tinggal dan sampai jumpa pun belum sempan telontar dan bertukar padu dengan lontaran kata serupa. Aku ingin menyalahkan waktu yang telah merenggut semua halusinasiku. Aku juga ingin membunuh keadaan yang membatasi semuanya. Namun, aku hanya bisa diam dan melanjutkan halusinasiku.
Kini aku tidak lagi terlarut dalam dimensi halusinasiku aku membuka mataku dan menatap seisi ruang. Aku menghembuskan dengan pelas gas CO2 dari hidung, aku beryukur masih bisa menghirup dan menghembuskan nafas dengan normal. Dunia sedang beristirahat,
Semesta sedang tak bersahabat. Ibu pertiwi mungkin sedang bersedih dan bersusah hati saat semestanya diporak porandakan sebuah makhluk tak kasat mata dan obligat yang menyebar tiada ampun, dan menelan beribu jiwa di bumi. Atau mungkin pertiwi sedang tenang karna ia sedang beristirahat dari kekejaman ciptaannya sendiri. Mungkin juga ia sedang bahagia melihat para perusak semestanya hanya bisa diam dan takut.
Aku tersentak dan menelan salivaku ketika aku tersadarkan kembali akan sebuah perjuangan yang dilakukan sekelompok manusia. Ia mereka disana sedang berjuang melawan semua ini. Bukan melawan manusia berkulit putih yang menjajah negeri, dan bukan kawanan aliran hitam seperti teroris. Tapi ini adalah makkhluk parasit obligat.
Iya, itu adalah virus covid19 yang telah menyakitkan dunia. Aku seharusnya tidak egois menyalahkan keadaan karna telah merenggut hal yang paling aku dambakan di hidupku. Seharusnya aku bersyukur telah membantu para pejuang dengan cara diam. Karena para pekerja medis sekarang masih berperang di garda terdepan menghadapi virus ini.
Covid19 adalah virus yang menyerang sistem pernafasan dan dapat menyebabkan kematian. Tapi aku rasa virus ini tidak membunuh kesadaran orang yang belum terkontaminasi. Namun, mengapa semua masih acuh dengan anjuran pemerintah. Kenapa semua berlagak tuli dengan peraturan yang telah digoarkan dan mengapa semua buta terhadap keadaan. Aku miris melihat kondisi diluar dimensi biruku ini. Kulihat benda pipih dan kulihat dunia, mataku serasa perih dan dadaku terasa sesak melihat semua kondisi di sana. Rupanya masih banyak manusia yang memanfaatkan keadaan ini untuk mempersenang diri. Liburan, Jalan-jalan, atau bahkan berkumpul dan berpesta.
Aku rasa Indonesia perlu kesadaran masyarakatnya, perlu aksi nyata untuk diam. Aku pernah bermimpi untuk menjadi pahlawan dan mungkin kalian yang membaca ini juga pernah bermimpi sama denganku. Sembuhkan dunia dengan diam di dalam dimensi ruangmu. [T]