Oleh: AA Ngurah A Windara – Denpasar
Setelah senja kemarin diguyur hujan, suasana pagi ini benar-benar cerah. Halaman menghijau, mata jadi seger, bulir-bulir sisa air hujan menggantung pada pucuk-pucuk daun, bening dan berpendar cahaya, lalu menetes pelan. Semilir angin menyapa, sejuk. Ada hembusan ringan bersama keharuman lembut menggoda, keharuman khas bunga sandat & cempaka, terkadang bersamaan, terkadang bergantian.
Ini kampung saya, Serongga, kampung dengan ratusan pohon sandat dan cempaka menjulang tinggi tersebar di pakarangan dan teba rumah-rumah penduduk, sebagian menjadikannya tumpuan hidup. Seluruh warga kampung dan orang-orang yang ‘bertamu’ atau melintas di jalan yang membelah desa, gratis menghirup wangi alaminya.
Di halaman, di atas rerumputan hijau, saya berdiri, membiarkan tubuh tetap terpaku tenang, menghirup udara segar dalam-dalam. Memanjakan tubuh dicumbu sinar matahari. Ini nikmat pagi tiada taranya. Di tengah kecemasan global tentang wabah Covid-19, muncul gagasan tentang upaya mendisinfeksi kulit, pakaian, atau benda lain dengan sinar matahari pagi. Banyak orang tiba-tiba rajin berjemur, walau belum teruji keampuhannya. Saya berjemur hanya dengan satu alasan, merasakan jiwa yang lebih tentram dan hati yang senang saja. Dan, ketika matahari meninggi, saatnya berpisah dengan kenikmatan pagi. Oh tidak ! Saya ingin memperpanjangnya beberapa saat lagi.
Jam 10 pagi, sinar matahari mulai menyengat. Saya segera beringsut, melangkahkan kaki menuju kebun di teba, di belakang rumah. “Mudah-mudahan dapat rezeki durian runtuh, atau buah alpukat tua yang berserakan”, hati saya membatin. Ritual ke-dua di pagi ini juga sebuah bentuk kenikmatan lain, atau paling tidak, inilah sebuah ‘bonus ‘ hidup di kampung, di alam Bali, di alam Nusantara yang memiliki sinar matahari berlimpah, juga alam flora, yang asal mau berusaha sedikit saja pasti ada hasilnya. Buah dan sayuran yang segar, tinggal petik dan lep, seperti iklan sosis di tivi itu, atau pesona warna warni serta harumnya bunga-bunga.
Belum sampai langkah kaki di teba, refleks, langkah terhenti seketika, seperti ada kekuatan menahan. Kekuatan apa ? Harum bunga ! Ini jelas bukan harum sandat atau cempaka yang juga tumbuh di sekitar rumah. Ini keharuman bunga melati yang tumbuh di halaman bagian selatan, di sebelah Bale Gede menuju teba, hmm…..
Tanpa sadar, keharumannya mampu melambungkan ingatan pada mendiang Ibu. Dulu, tanaman melati ini ditanam beliau, di depan Gedong Rata. Ibu akan marah-marah jika ada orang lain, termasuk saya ketika salah memangkas ranting atau daunnya. Ibu sangat menyukai keharuman bunga melati. Disamping Melati juga favorit aroma bunga cempaka dan gardenia. Begitu juga saya, jadi ikut ketularan. Hal yang paling tidak bisa terhapus dari memori di kepala, ketika keharuman melati mampu merasuk ke semua ruangan di rumah, di halaman luar Loji, di dalam kamar Ibu. Oh…tentu juga di kamar saya. Dan, bila sedang musim, Ibu biasa memetiknya, menampungnya dalam bakul kecil, lalu ditaruh di meja, atau sengaja diserakkan di tempat tidur.
Bila punya kuasa, ingin rasanya kembali ke masa itu, masa dimana Ibu masih ada, Ibu telah mengambil posisi ayah sebagai penglingsir di Puri Loji, membesarkan ke-5 orang putra putrinya. Ibu yang sekaligus juga menjadi ayah, karena ketika usia saya 4 tahun, ayah sudah duluan meninggalkan kami. Saya sadar, bahwa hidup ini mengalir ke depan, tidak bisa surut ke belakang lagi.
Biarlah, pagi ini saya urungkan diri ke kebun belakang, Saya langkahkan kaki ke dapur. Ambil cangkir, ambil teh tubruk, menyeduhnya dengan sedikit gula. Memetik beberapa kuntum melati, lalu mencelupkannya ke dalam cangkir. Hmmmmm… minum teh dengan aroma kesegaran melati, asli, ala saya.
Entah sampai kapan, menjalani semua aktifitas ‘di rumah saja’ tentu bikin bosan juga. Paling tidak, setelah tandas satu cangkir ‘teh melati’ ini, saya telah menyiapkan sekop kecil, tanah, sekam bakar dan pupuk organik. Beberapa anakan tanaman melati akan saya pisahkan, di tanam padaspot-spot lain di area taman ini. Saya ingin Loji ini akan tetap harum alami oleh bunga-bunga alam, termasuk bunga favorit Ibunda, melati.
Kesederhanaan tampilan bunga melati nan putih bersih, serta keharumannya telah menginspirasi banyak orang dalam kehidupan, termasuk salah satu lagu yang saat ini saya suka banget, lagu lama yang telah ‘dicuci ulang’ dan dinyanyikan Sammy Simorangkir …..
“kau bunga di
tamanku
di lubuk hati ini
mekar dan kian mewangi
melati pujaan hati
bersemilah sepanjang hari
mewarnai hidupku
agar dapat kusadari
artimu bagiku
kau melati putih dan bersih
kau tumbuh diantara belukar berduri
seakan tak peduli lagi
meski dalam hidupmu kau hanya memberi
kau tebar harum sebagai tanda
cinta yang telah kau hayati
di sepanjang waktu”