Dalam situasi normal: Mudik adalah tanda sayang dan ingat orang tua. Sungkem pada orang tua = tanda bakti cinta.
Sekarang?
Tidak mudikmenjadi tanda sayang dan peduli keselamatan orang tua. Tidak mudik adalah bukti kesadaran (eling) dan solusi untuk menyelamatkan diri dan orang yang lain. Sungkem, dilarang. Berbalik: Berjauhanlah, social distancing.
Tidak terbayang sebelumnya kalau berjauhan adalah bukti cinta pada sesama. Sungkemdiganti social distancing.
Donyo wis kewolak walik. Begitu ungkap Jawa-nya. Artinya, dunia sedang terbolak-balik. Terjadi kekacauan tatanan. Gumi nungkalik. Ini ungkapan Bali-nya. Artinya, dunia sedang terbalik.
Kenapa dunia terbalik?
Dalam cara pikir Jawa Kuno atau Kejawen, dan cara pikir Bali, jika Bhuta-Kala menguasai dunia maka dunia akan terbalik. Bhatara Kala menguasai dunia.
Begini kutipan naskah Jawa Kuno Roga Sangara Gumi:
— ritatkalaning ganti kali bhumi. Dewata matilar ring madhyapada, mantuk maring swargan mahameru, ginantianing Bhuta, sabhumi sami wwang kasusupan Bhuta…. gering sasab marana tan pegat, ngendah laraning wwang, gumigil panas uyang, akweh pejah, desa tepi ning tasik tembening agering…
— tatkala pergantian bumi kaliyuga. Dewata meninggalkan dunia-tengah, pulang ke Surga Mahameru, diganti oleh Bhuta, manusia di bumi semua kesusupan (dirasuki) Bhuta…. penyakit menular mewabah (gering-sasab-marana) tidak bisa dihentikan, tidak terperi derita manusia, menggigil panas uyang (kehilangan kesabaran dilanda cemas), banyak korban meninggal, desa-desa pesisir (perbatasan) ketiban penyakit…
Naskah Jawa Kuno tersebut berisi panjang lebar bagaimana dunia terbalik-balik oleh bhuta-kala. Catatan ini diwarisi dari era Kerajaan Majapahit. Secara Kejawen dan Bali perlu diadakan ruwatan (upacara pemurnian) dan tawur (upacara penyucian dunia).
Pageblug(wabah yang memakan korban sakit dan meninggal tiba-tiba) adalah wujud Bhatara Kala sedang menguasai bumi. Di Bali disebut gering agung (sakit menular yang mewabah).
Masyarakat Jawa akan menyajikan sayur lodeh ketika muncul pageblug. Ada tujuh jenis bahan sayur lodeh: Kluwih ((jenis nangka, di Bali disebut timbul), cang gleyor (kacang panjang), terung, waluh (labu), godong so (daun melinjo), melinjo, dan tempe.
Pertama-tama tentu pesan makan sayur lodeh adalah agar masyarakat menjaga kesehatan, makan sehat dengan berbagai bumbu, menjadi asupan vitamin, gizi dan menjaga imunitas.
Tujuh bahan sayur lodeh punya pesan filosofis mendalam ketika terjadi wabah. Pesan ini diketahui umum oleh masyarakat Jawa:
— Kluwih ((jenis nangka, di Bali disebut timbul) artinya: Kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne (Keluarga harus lebih diurusi dan diperhatikan).
— Cang gleyor (Kacang panjang) artinya: Cancangen awakmu ojo lungo-lungo (Ikatlah dirimu jangan pergi-pergi). Sekarang ini kita sebut karantina diri.
— Terong artinya: Terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng (Tetap sujud menyembah Yang Maha Kuasa jangan hanya ketika butuh saja).
— Kulit melinjo penangkal radikal bebas ini punya makna: Ojo mung ngerti njobone, ning kudu ngerti njerone babakan pagebluk (Jangan hanya berpatokan pada yang tampak dari luar [karena virus atau wabah tidak tampak], tapi harus paham apa yang di dalam [yang tak tampak] penyebab bencana wabah).
— Waluh yang banyak vitamin ini filosofinya: Uwalono ilangono ngeluh gersulo(Hilangkan sifat berkeluh kesah [tetap tenang dan nalar]).
— Godong so (daun melinjo) yang masih muda: Golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh (Berkumpulah dan dengarkan nasihat orang-orang saleh dan orang pintar [jangan termakan hoax]).
— Tempe yang jadi handalan pertahanan gizi secara tradisional ini bermakna: Temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Hyang Widhi. (Penuh keyakinan memohon pertolongan Sang Pencipta).
Sama dengan pemikiran masyarakat Kejawen, di Bali ketika melakukan terjadi penyakit menular mewabah (gering-sasab-marana) masyarakat dilarang keluar rumah dan melakukan karantina diri — sing dadi mesu, ngoyong jumah mabrata.
Dipercaya jalan-jalan sedang dikuasai oleh Bhuta-Kala. Pertemuan-pertemuan ditunda, demikian juga upacara dan peribadatan. Kuasa Bhuta-Kala akan mengangkangi dan membawa sakit.
Secara tradisional anak-anak dilarang secara ketat keluar rumah. Orang tua, kalau tidak mendesak, mereka harus tetap mendampingi anak-anak dan keluarganya. Tidak diperbolehkan anak-anak tanpa pendampingan karena akan tadah Kala (jadi korban Kala). Orang tua hanya keluar sendiri ketika memberi makan ternak dan mencari sayur saja keluar. Itupun harus sendiri, tidak boleh ramai-ramai, agar tidak nundun kala (membangunkan Sang Kala).
Masyarakat Kejawen dan Bali percaya — seperti disebut dalam naskah Jawa Kuno Roga Sangara Gumi di atas — wabah atau pageblug adalah periode transisi, sementara waktu. Masa peralihan atau pancaroba ini disebut sebagai: Ganti Kali Bhumi = Dunia dalam proses peralihan era/zaman. Usai pageblugdan ketika wabah berlalu: Dunia akan memasuki era baru. Era baru atau zaman baru yang lebih baik. Saling pengertian dan saling memaafkan. Manusia akan memasuki ke era yang dimana manusia tersadar kembali arti gotong royong dan tepo seliro — karena wabah pageblug tidak mungkin dilewati tanpa gotong royong dan tepo seliro.
Semasih donyo wis kewolak walik, gumi nungkalik, solusinya juga dengan perilaku terbalik: Jangan mudik karena ini adalah tanda sayang dan peduli. Jangan sungkemkarena sementara waktu ini adalah bukti bakti pada orang tua dan keluarga sekampung halaman.
Cancangen awakmu ojo lungo-lungo (Ikatlah dirimu jangan pergi-pergi). [T]