Sudah lebih satu bulan jenis virus corona baru (Covid-29) menyebar sampai diputuskan sebagai pandemi global. Pengusaha wisata dan pekerjanya di Nusa Penida pun terdampak. Usaha speedboat tak seramai sebelumnya, penyewaan kendaraan berkurang, dan banyak hal lainnya karena kepulauan ini makin fokus menarik kunjungan turis.
Di tengah masa menegangkan ini, sejumlah kelompok warga belajar dan mempraktikkan cara hidup ekologis melalui berbagai cara. Salah satunya untuk mengenalkan kembali potensi pertanian dan cara hidup selaras alam di Pulau Nusa Penida.
Gede Agustinus Darmawan atau yang akrab dipanggil Timbool adalah salah satu anak muda penekun pewarna alami yang sedang berkegiatan di Dusun Tanglad bersama warga penenun. Mereka mendukung produksi pewarna alami dari aneka tumbuhan untuk kain tenun dan kini berusaha menanam kembali sejumlah tanaman bahan baku pewarna yang makin hilang. Kegiatan ini bagian dari program Ekologis Nusa Penida GEF-SGP yang dikoordinir Yayasan Wisnu.
Selain menanam bibit secara konvensional di lahan-lahan milik penenun, kelompok tenun Alam Mesari ini juga mencoba menanam dengan model seeds bomb atau seeds bombing. Melempar “bom” benih untuk menjangkau area yang sulit dijangkau seperti tebing dan perbukitan di sekitar dusun mereka.
Nusa Penida adalah wilayah kepulauan yang masuk Kabupaten Klungkung. Tiga pulau ini, terbesar Nusa Penida, kemudian Lembongan, dan Ceningan, makin terkenal sebagai tujuan wisata di Bali. Untuk menyeberang ke ketiga pulau itu, perlu waktu sekitar 20-45 menit tergantung lokasi penyeberangan speedboat. Misal dari Pantai Sanur, Denpasar, sekitar 45 menit speedboat menuju Pulau Nusa Penida. Sedangkan menuju Lembongan dan Ceningan lebih cepat.
Benih-benih dalam bentuk “bom” ini pada 14 Februari 2020 lalu sudah terlihat tumbuh seperti tunas kacang ijo, dibuat pada hari berbeda. Ada yang sudah berusia satu bulan dan satu minggu.
Ratusan telur tanah itu memang tak sama, ada yang sudah bertunas, ada yang belum. Ada juga yang lebih cepat tubuh tunasnya karena tersiram air hujan setelah dibuat bulatan-bulatan.
“Saat musim penghujan baru disebar. Kemungkin hidup 50%,” kata Timbool. Metode bom benih ini digunakan untuk menghijaukan lahan yang sulit dijangkau, sehingga lebih spekulatif. Sudah 8000 benih yang dimasukkan bom benih. Dalam satu “bom” diisi 10-15 biji benih dan isinya benih tanaman perintis seperti turi, orok-orok, dan gereng-gereng. Sementara untuk bibit tanaman pewarna adalah tarum. Benih-benih dalam “bom” ini difokuskan terlebih dulu untuk menyuburkan tanah. “Pohon-pohon itu pembuat lapisan tanah, daunnya cepat gugur,” ujarnya.
Dalam satu “bom” yang dilempar diharapkan akan ada beberapa benih yang berhasil bertahan dan mengisi lahan pulau Nusa Penida yang kurang produktif. Karena dominan bebatuan karang, “bom” benih ini diperkirakan akan terpecah setelah dilempar. Karena itu satu bulatan diisi belasan benih agar menyebar.
Lahan-lahan kelompok penenun kain menjadi prioritas di antaranya tebing yang sulit dijangkau, daerah terjal, dan area dengan banyak hama monyet. Selain metode “seeds bombing”, penghijauan juga dilakukan dengan menanam bibit terutama tanaman bahan baku pewarna alami seperti mengkudu, secang, indigo, dan tarum.
Cara pembuatan “bom” benih ada beragam, Timbool dan rekannya melakukannya dengan membasahkan adonan tanah subur, dicampur pupuk kompos, dan sedikit tanah liat untuk pengikat. Komposisinya sekitar 5:1 antara tanah subur-kompos dengan tanah liat.
Di Desa Batumadeg, Yayasan Idep mengembangkan permakultur pekarangan rumah tangga, dengan menanam aneka jenis sayuran seperti timun dan sawi hijau. Yayasan Idep memperkenalkan juga banana pit, yaitu lubang dengan diameter sekitar 1 meter dengan kedalaman 1 meter.
Lubang berfungsi sebagai tempat pengolahan limbah, pembuatan kompos, dan kebun. Lubang diberi kerikil/batu sedalam 50 cm, bagian bawah untuk tempat pengolahan air limbah, di atasnya untuk sampah organik. Di sekitar lubang ditanam pohon pisang, dan di antara pohon pisang bisa ditanam sayuran. Fungsi pohon pisang adalah untuk menyimpan air ketika musim hujan dan melepas air di musim kering.
Sementara itu Yayasan Taksu Tridatu memperkenalkan pembuatan pakan kering untuk ternak sapi. Pakan kering dibuat dari rerumputan dan daun-daun yang sudah kering, kemudian difermentasi, dan ditambahkan untuk memberikan nutrisi. Salah satu tempat pengembangan ternak sapi dengan pakan kering bisa dilihat di Rumah Belajar Bukit Keker, Banjar Nyuh Kukuh, Ped. Di area ini bisa dilihat juga teknik pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dan pemanfaatan cahaya matahari jadi listrik dengan panel surya.
Ada juga model kebun untuk memasok kebutuhan sebuah komplek pura Khayangan Jagat, Pura Puser Sahab di Desa Batumadeg. Kelompok Wisanggeni mengajak warga pengempon (pengelola) pura untuk kembali menghijaukan lahan sekitarnya dengan aneka pohon umur panjang sebagai peneduh dan juga memasok kebutuhan ritual upacara.
Meningkatnya turis artinya beban limbah pun bertambah. Bagaimana strategi pengelolaan sampah di pulau-pulau kecil?
Program pemilahan sampah sudah dilakukan sekitar setahun oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, salah satu mitra program kerja Program Ekologis Nusa Penida. Bahkan Desa Adat Nyuh Kukuh Ped mendapat penghargaan dari Bupati Klungkung sebagai penggagas TPST/Bank Sampah.
Selain mengajak rumah tangga memilah sampah, juga menyediakan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang berlokasi di Rumah Belajar (learning center) Bukit Keker di Banjar Nyuh Kukuh. Sebuah moci, kendaraan roda tiga dengan bak terparkir di sana.
Hasil survey timbulan sampah rumah tangga di Banjar Nyuh oleh PPLH sekitar 550 kg per hari, ini bisa memenuhi 5 moci. Sebagian besar berupa sampah organik sekitar 60%. PPLH juga membentuk tim relawan Nyuh Kedas dalam mengelola sampah. Diawali dengan pelatihan pengelolaan sampah (kompos, mol, daur ulang kertas). Saat ini ada 7 orang anak yang aktif mengelola sampah di Banjar Nyuh, terutama untuk mengajak warga memilah sampahnya.
Hal objek wisata di Pulau Bali yang mengandalkan alam dan budaya, demikian pula Nusa Penida. Bagaimana menyinergikan wisata dan pertanian sebagai bagian kehidupan sehari-hari warga?
Jaringan Ekowisata Desa (JED), sebuah kerjasama antara Yayasan Wisnu dan sejumlah desa menawarkan dan mengembangkan wisata alternatif. Jaringan yang sudah berjalan saat ini adalah Desa Kiadan, Plaga (Badung), Dukuh, Sibetan (Karangasem), Tenganan Pegringsingan (Karangasem), Perancak (Jembrana), dan Nyambu (Tabanan).
Saat ini sedang dirintis di Nusa Penida melalui Program Ekologis Nusa Penida. Konsepnya adalah pariwisata berbasis potensi diri (alam, manusia, sosial budaya, infrastruktur) yang dikelola oleh masyarakat setempat. Prinsipnya kepemilikan (masyarakat sebagai pemilik mengetahui dan mengenal potensi yang dimiliki), pengelolaan (pengelolaan sumber daya berdasar pada prinsip kebersamaan dan keadilan), dan keberlanjutan (dengan menjaga kesakralan melalui dokumentasi dan media pembelajaran),
Paket wisata yang sedang dirancang berfokus pada pola hidup masyarakat Nusa Penida yang meliputi sistem pertanian lahan kering dan olahan pangan, sumber ekonomi (rumput laut dan tenun), serta seni dan budaya. Rumah Belajar Bukit Keker di Desa Ped, akan dijadikan sebagai tempat penerimaan tamu sekaligus percontohan adaptasi lingkungan melalui praktik produksi biogas, kebun permakultur, dan pemanfaatan panel surya sebagai sumber energi.
Gede Sugiarta, Koordinator Program Ekologis ini mengatakan Nusa Penida bisa menjadi contoh pengelolaan wisata alam dan pulau kecil yang berkelanjutan jika warga kembali menyadari kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal seperti pertanian lahan kering.
“Melalui Program Ekologis Nusa Penida kami berharap secara perlahan pulau kecil ini mampu mengembalikan dan meningkatkan ketahanan sosial budaya-ekologis sebagai upaya menghadapi desakan globalisasi,” ujarnya. [T] [*/Rilis]