Tahun 2020 ini, adalah tahun yang penuh dengan cobaan. Cobaan ini membuat masyarakat kalang kabut. Saat kondisi normal, beban hidup yang dirasakan masyarakat terutama yang tinggal di kota sudah berat. Beban berupa bayar angsuran bank, bayar kontrakan, cicilan motor, cicilan mobil, cicilan kartu kredit dan sejenisnya. Pembayaran biaya-biaya tersebut bersumber dari upah/gaji bulan saat itu.
Saat tanggal 25 atau tanggal 1 menerima gaji, maka sesaat setelah itu sudah langsung digunakan membayar cicilan. Bahkan ada jenis kredit yang mewajibkan dibayar lebih dahulu, yakni kredit dengan sistem potong gaji. Saat menerima gaji akan didahulukan dipakai membayar angsuran kredit. Sisa gaji baru akan masuk ke rekening tabungan yang kemudian digunakan untuk konsumsi rumah tangga.
Semua orang berusaha mendapatkan pekerjaan dengan tujuan memperoleh pendapatan. Pendapatan identik dengan kepemilikan uang.
Menurut Keynes (ahli ekonomi), sebenarnya ada tiga alasan masyarakat memiliki uang; 1) untuk keperluan transaksi (konsumsi), 2) untuk tujuan berjaga-jaga (tabungan) dan 3) untuk tujuan spekulasi (investasi). Ketiga tujuan ini diurutkan sesuai dengan tingkat kepentingannya. Tujuan spekulasi bisa dilakukan jika tujuan transaksi dan tujuan berjaga-berjaga sudah bisa dilakukan. Tidak mungkin melakukan spekulasi jika tidak memiliki tabungan.
Begitu pula, masyarakat tidak akan bisa menabung jika uang yang dimiliki habis digunakan untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari. Tujuan spekulasi lebih banyak untuk menghasilkan uang. Artinya spekulasi ini lebih dekat dengan kegiatan investasi. Pengeluaran yang dilakukan hari ini dengan jumlah tertentu, diharapkan di kemudian hari kembali dengan jumlah yang lebih besar. Jika hal itu terjadi maka itulah yang dinamakan dengan keuntungan.
Sahabat yang pernah belajar ekonomi pasti mengenal teori konsumsi. Teori tersebut menjelaskan bahwa pendapatan digunakan untuk konsumsi dan tabungan. Jika diformulakan maka Y = C + S. Formula tersebut mengatakan bahwa, pendapatan (Y) wajib dialokasikan untuk konsumsi (C) dan untuk tabungan (S). Berapapun pendapatan yang diterima wajib mengikuti formula tersebut.
Yang membedakan masing-masing orang adalah komposisi jumlah antara konsumsi dan tabungan. Ada yang menentukan jumlah untuk konsumsi lebih tinggi atau sebaliknya. Dan umumnya, jumlah konsumsi jauh lebih besar daripada jumlah untuk tabungan. Jika melihat formula tersebut, harusnya semua orang yang bekerja memiliki tabungan. Karena setiap yang bekerja memiliki pendapatan. Pendapatan dialokasikan salah satunya untuk tabungan.
Konsumsi adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tujuan konsumsi adalah untuk memaksimumkan utiliti (kepuasan). Pada dasarnya, faktor utama yang memengaruhi tingkat konsumsi adalah pendapatan. Hubungan kedua variabel tersebut adalah berkorelasi positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendapatan maka konsumsinya juga makin tinggi. Atau bisa juga dijelaskan bahwa kepuasan konsumen berbanding lurus dengan alokasi pendapatan. Artinya, jika ingin mendapatkan kepuasan yang lebih/meningkat maka alokasi pendapatan untuk konsumsi juga meningkat.
Salah satu sifat abadi konsumen adalah ingin merasakan kepuasan yang maksimal (kepuasan tak terbatas). Sifat konsumen tersebut membuat teori ini relatif susah dilaksanakan. Dalam kehidupan masyarakat, teori konsumsi di modifikasi menjadi Y = C. Semua pendapatan dialokasikan untuk konsumsi saja. Ini modifikasi yang pertama, modifikasi kedua adalah Y = Utang + Konsumsi.
Artinya, pendapatan yang diperoleh didahulukan untuk membayar utang, sisanya baru digunakan untuk konsumsi. Terkait kompisisi juga berbeda-beda untuk setiap individu. Idelanya adalah pendapatan lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi daripada dialokasikan untuk bayar utang. Tetapi tidak sedikit ditemui di lapangan, bahwa kondisinya terbalik. Jumlah yang digunakan untuk membayar utang jauh lebih banyak daripada digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Inilah titik awal ketidakseimbangan dalam rumah tangga.
Menengok formula tadi, selain untuk konsumsi, pendapatan harusnya dialokasikan untuk tabungan. Tabungan adalah aktivitas untuk menunda kesenangan atau menunda konsumsi. Tabungan berfungsi sebagai alat untuk menghadapi kesusahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Kesusahan seperti sakit, kecelakaan, atau adanya Covid-19. Saat ini, banyak masyarakat yang galau bahkan stres menghadapi virus ini.
Himbauan pemerintah sangat jelas dan simpel yakni diam di rumah. Kalimatnya sangat simpel. Diam di rumah juga sebenarnya hal yang sangat gampang dilakukan. Sekali lagi sangat gampang dilakukan jika masyarakat memiliki pendapatan. Lebih gampang lagi dilakukan jika pendapatan masyarakat cukup untuk konsumsi dan memiliki tabungan. Jika demikian kondisinya, maka diam di rumah bisa digunakan untuk istirahat, digunakan untuk berkumpul dengan anak dan istri, digunakan untuk menonton tv dan sejenisnya.
Tetapi, jika masyarakat tidak memiliki tabungan bahkan tidak memiliki pekerjaan maka himbauan yang simpel menjadi masalah yang berat. Pekerja harian, pekerja jalanan paling merasakan beratnya himbauan pemerintah. Mereka mengalami dilema yang sangat mendalam, seperti buah simalakama. Jika bekerja di jalanan bisa terkena virus corona. Jika tidak bekerja maka anak dan istri di rumah akan kelaparan. Karyawan swasta atau pekerja yang bekerja di sektor pariwisata juga mengalami nasib yang sama. Bahkan lebih tragis. Mereka diam di rumah sambil gelisah karena diam di rumah membuat aliran gaji juga terdiam karena dirumahkan oleh tempatnya bekerja. Diam di rumah adalah hal yang dihindari dan cenderung mengerikan.
Dalam konteks ini, penting untuk merenungkan kembali makna dari teori konsumsi. Bahwa berapapun pendapatan yang diterima harus dialokasikan untuk konsumsi dan untuk tabungan. Pendapatan yang diterima tidak hanya digunakan untuk kepuasan hidup. Lebih bijak jika ada dialokasikan sebagai tabungan. Memiliki tabungan adalah salah satu cara untuk mempertahankan hidup dalam kondisi saat ini.
Tabungan membuat pikiran dan nafas makin panjang serta mampu menghadirkan senyum anak istri. Saatnya belajar financial management yaitu kemampuan untuk mengatur keuangan terutama mengatur alokasi uang. Saatnya kembali mengingat pelajaran ekonomi saat masih SMP, bahwa keinginan manusia tidak terbatas sedangkan alat pemuasnya terbatas. Ngiring lebih bijak dalam mengidentifikasi antara kebutuhan dengan keinginan.
Mari belajar lagi menghitung dengan cermat, berapa pendapatan untuk konsumsi dan berapa untuk tabungan. Di masa sulit mungkin sulit juga menghitungnya, tapi tetap harus diperhitungkan. Apalagi di saat adanya virus corona. [T]