Oleh: Nyoman Sukaya Sukawati — Denpasar
Saya melihat jam di tembok. Malam menunjuk pukul dua dini hari.
Saya sedang menyendiri di kursi panjang dekat jendela, di ruang keluarga yang redup di bawah lampu downlight. Ada sesuatu yang agak aneh dengan rumah saya malam ini. Suasananya terasa sangat sepi, berbeda dari biasanya.
Istri dan anak-anak saya sedang tidur lelap di kamarnya masing-masing. Hanya saya yang masih terjaga, sendirian di ruang keluarga.
Saya sedang tak ingin tidur. Saya melewati malam hanya dengan duduk, sendirian, seakan berjaga-jaga, menjaga rumah ini dan penghuninya.
Dari sini saya lihat pintu utama yg tertutup. Lampu penerangan masih menyala di luar. Cahayanya terungkap di ventilasi.
Di atas meja, tiga laptop masih terbuka tapi layarnya mati, di sampingnya berserakan sejumlah buku dan kertas. Saya tak ingin menyentuhnya. Tak hendak melakukan apapun dengan benda itu.
Tak ada yang saya pikirkan, juga tak ingin tidur. Hanya saja suasana malam ini agak aneh. Saya seolah berada di tempat asing oleh rasa sunyi. Apalagi saya di lantai dua, keheningan ini seakan menggaung memenuhi ruangan.
Jalan di depan rumah yang biasanya ramai oleh kendaraan dan orang lewat, malam ini sangat sepi. Saya tengok dari jendela. Di bawah sana tidak ada pergerakan. Sungguh aneh rasanya. Ini suasana yang ganjil, pikir saya. Sesuatu yang tak mudah diceritakan.
Untuk mengalihkan perhatian dari suasana sunyi ini, saya mengambil ponsel. Ada sejumlah notification di grup WA Banjar, namun saya tak membukanya.
Sambil berdiam diri saya sentuh-sentuh layar HP tetapi pikiran saya melayang jauh. Sesaat, di benak saya melintas muka teman-teman di desa. Saya jadi merindukan mereka, para sahabat sepermainan dulu. Saya teringat mereka semua. Orang-orang baik, bersahaja, tapi banyak humor dan selalu riang.
Ketika saya mulai hanyut di dalam ingatan yang penuh kenangan dengan sahabat-sahabat di masa silam itu, tiba-tiba angin datang berhembus dari jendela yg setengah terbuka. Angin dingin seperti es menyentuh tengkuk saya. Membuat saya sedikit menggigil.
Tak lama berselang, angin yang lebih keras datang menyusul secara mengejutkan. Seakan ada mulut besar yg menghembuskannya secara seketika dari luar sana. Suaranya meraung keras dan mengguncang-guncang daun jendela sampai mengeluarkan bunyi berderak-derak.
Angin apa gerangan ini? Saya bertanya-tanya dalam hati. Saya ingat, ternyata sekarang malam mapag Kajeng Kliwon. Pantas saja atmosfernya terasa beda. Ini malam keramat penuh aura magis. Malam menjelang Kajeng Kliwon adalah malamnya para gamang, unen-unen, dan segala macam makhluk halus untuk keluar ramai-ramai dari sarangnya dan berkeliaran berburu mangsa. Saat ini mereka pasti sedang berkumpul di mana-mana, di perempatan, karang suwung, bawah pohon besar, di lebuh-lebuh pekarangan.
Para penekun ilmu hitam juga sedang pergi ke kuburan dan tempat berhantu lainnya. Dengan ritual sanggah cucuk, mereka belajar ngelekas, menyerap energi kegelapan, menghirup wangi darah, mematangkan kekuatan sihir magisnya.
Saya jadi ingat kata orang-orang kalau di sekitar rumah tempat tinggal saya ini merupakan kawasan angker, tempat pertemuan makhluk gaib dari berbagai penjuru desa. Dulu, katanya, bahkan masih sandikala saja tidak ada orang yang mau lewat di jalan depan rumah saya ini karena sering ada kejadian menyeramkan.
“Nyoman, hati-hati kalau tinggal di sana. Inget selalu nunas ica, memohon keselamatan,” demikian Bli Kacut pernah mengingatkan saya ketika baru pindah ke sini sekian tahun yang lalu.
Bli Kacut adalah seorang panglingsir banjar, dikenal akrab dengan hal-hal mistis.
Teringat akan hal itu membuat perasaan saya sedikit tercekam di tengah malam yang semakin senyap ini. Bli Kacut juga mengatakan, saat mapag Kajeng Kliwon, yang gaib-gaib itu akan keluar semua dan berkumpul di sekitar rumah saya ini. Konon energi mistis mereka bisa dirasakan lewat suasana yang tiba-tiba mencekam. Gumatat-gumitit terdiam, tidak berani bersuara. Suasana malam akan tiba-tiba hening dan muram. Alam seakan terperangkap dalam pengaruh magis.
Mungkinkah malam ini gaib itu tengah berkumpul sekitar sini, menyatroni rumah saya dan warga sekitar, menebarkan gangguan magis, sehingga saya tidak bisa tidur?
Terbayang istri dan anak-anak saya yang sedang tidur. Adakah mereka merasakan sesuatu? Apakah tidurnya gelisah? Apakah bermimpi buruk? Atau mungkin kaki mereka ditarik-tarik oleh makhluk gaib? Saya bertanya-tanya dalam hati.
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu, saya kemudian memilih melakukan sesuatu. Saya segera memperbaiki posisi duduk, memejamkan mata dan mulai mengonsentrasikan mata ketiga atau mata batin. Saya ambil posisi meditasi dan berniat menangkap getaran-getaran gaib yang ada di lingkungan rumah saya yang mungkin ingin mengacau secara niskala.
Saya duduk rileks, mengatur nafas dengan mata terpejam. Malam semakin hening dicekam angin yang menyelinap di sela-sela jendela.
Baru saja saya memejamkan mata hendak bermeditasi tiba-tiba ada suara mendesis datang dari arah samping. Suaranya halus, berupa desisan panjang. Saya berusaha melupakan suara itu karena tidak merasakan ada energi magis. Itu hanya desisan biasa. Namun suara itu tidak mau berhenti. Ia terus mendesis.
Saya tetap menjaga konsentrasi, masuk ke alam gaib, menggunakan mata batin untuk menemukan sesuatu yang mencurigakan yang berkeliaran di sekeliling rumah. Saya berketetapan akan meringkusnya kalau ketemu.
Sejurus kemudian, saya merasakan roh saya keluar dari badan kasar saya, meninggalkan tubuh saya yang sedang duduk dalam remang-remang dekat jendela. Sekarang saya terbang secara gaib mengelilingi rumah, memeriksa keadaan lingkungan, mengitari tembok pekarangan di tengah kesunyian malam.
Saya menemui diri saya berdiri di depan pintu gerbang, melihat situasi sekitar lebuh, lalu secepat cahaya saya bergerak ke gang samping, dan saat bersamaan saya melesat ke atap rumah. Saya mencari-cari ke seluruh sudut pekarangan dan bertekad memburu apa yang disebut gaib itu.
Dari atap rumah, saya meluncur terbang menuju pojok pekarangan kaja-kauh, di sekitar palinggih Penunggun Karang. Di sini, mata batin saya tiba-tiba melihat wujud api yang menyala nyebleng. Bentuknya bulat lonjong. Api apa itu? Saya tak akan menceritakannya di sini. Yang jelas menurut penglihatan mata batin saya, itu bukan api biasa. Sungguh, itu bukan api sembarangan.
Inilah saatnya, kata saya dalam hati. Saya pasang ancang-ancang hendak meringkus api itu. Saya belum tahu seberapa kekuatannya, secepat apa pula gerakannya. Diam-diam saya mulai memampatkan tenaga kundalini dalam satu tarikan energi. Saya mengintai, mengendap-endap setenang kucing di atas cakar yang siap menerkam.
Api tersebut seperti tak melihat kehadiran saya. Dia masih saja nyebleng di sana. Tapi getaran magisnya sangat terasa. Mungkin dia sedang berkonsentrasi menyebarkan energi gaibnya. Entahlah. Tetapi justru itu menguntungkan karena akan jadi lebih mudah buat saya menyergapnya lewat serangan mendadak dan dia tidak akan punya cukup waktu untuk melepaskan diri.
Mengetahui dia tidak menyadari kehadiran saya, saya tidak buang-buang waktu. Dengan segera saya melesat ke arahnya secepat gerakan kilat merobek awan. Ketika api itu hendak saya tangkap, tiba-tiba suara desisan di sebelah saya terdengar semakin kencang. Bahkan, kali ini bukan hanya desisan tapi diikuti suara bergemuruh seperti ada gelembung pecah dan bergolak, mengganggu gendang telinga.
Suara ini membuyarkan meditasi saya. Mau tak mau, terpaksa saya membuka mata dan menoleh ke asal suara itu.
Saya berdiri dan beringsut ke samping, lalu dengan 3-4 langkah ke arah dapur sampailah saya pada sumber suara tersebut. Itu adalah bunyi air gemulak di atas kompor yang menyala. Saya kira air teko itu telah mencapai 100 derajat panasnya dan itu sebabnya dia bersuara ribut sebagai tanda sudah waktunya digunakan. Saya harus selekasnya menuangkannya ke cangkir yang telah siap sedari tadi dengan campuran Kopi Bali dan sedikit gula.
Ya, tadi sebelum duduk di dekat jendela, saya memang menjerang air di dapur untuk bikin kopi. Kebetulan posisi dapur saya menyatu dengan ruang keluarga dan terbuka tanpa sekat. Saat ini saya sedang sangat kepengin ngopi. Bagi pecinta kopi, waktu bukanlah halangan. Hasrat minum kopi bisa terbit kapan saja dan jam berapa saja. Tidak peduli siang atau tengah malam seperti saat ini.
Saya tengok jam di tembok. Sekarang jarumnya telah menunjuk pukul dua lewat lima menit dini hari. Waktu lima menit cukup untuk mendidihkan segelas air.
Kini secangkir kopi panas sudah ada di tangan saya. Saya sedang tak ingin tidur. Saya akan turun ke garasi, merasakan udara malam di luar kamar sambil menikmati kopi.
Pintu pagar garasi saya buka setengah. Saya duduk bersila di pintu masuk dengan menghadap jalan. Rumah-rumah dan warung sekitar masih gelap. Jalan juga sepi, tapi sesekali mulai ada kendaraan lewat. Mereka adalah bule yang pulang dari diskotek dan para pedagang yang sudah harus ke pasar menyiapkan dagangannya meski hari masih dini. Pelan-pelan saya hirup kopi hangat ini. Dan di sini, di antara aroma kopi serta keheningan pagi ini, saya menulis catatan ini. [T]