Adzan mengantar gelap yang kian merangkak. Beberapa kawan datang lebih awal ke Ambenan Ijogading, Loloan Timur. Api obor dan pelita mulai dinyalakan. Di remang cahaya itu, mereka menikmati pertemuan dengan percakapan yang menyenangkan, bersama gemericik sungai yang membelah jantung Kota Negara.
Nyala api itu barangkali juga adalah gelora kawan-kawan serta masyarakat Loloan Timur dan sekitarnya terhadap Unjukarya Vol. 01: Diskusi Buku dan Musik Apresiasi yang membedah buku Politik Kasur, Dengkur dan Kubur karya Made Suarbawa. 12 (dua belas) karya I Wayan Suma Bagia yang menjadi ilustrasi buku pun turut hadir berbingkai putih berukuran 30×30 cm. Ilustrasi-ilustrasi itu tersebar mengelilingi area; di panggung juga di batang-batang pohon, Minggu (15/3). Tentu tak hanya Unjukarya semata yang menerbitkan ketertarikan mereka. Ada kerinduan untuk menikmati pertemuan dengan suasana berbeda; berbincang dalam keakraban yang megah, pada suasana waktu yang telah hilang.
Diinisiasi Jembrana Creative City Oriented (JCCO), apa yang terjadi malam itu memang didedikasikan sebagai pra kegiatan Festival Loloan Jaman Lame 2020 pada Agustus mendatang. Untuk alasan itu pula, berbeda dengan kegiatan serupa lainnya, Unjukarya Vol. 01 meniadakan pengeras suara dan lampu penerangan.
Atraksi Pencak Silat Loloan mengawali kegiatan yang bekerjasama dengan Kelurahan Loloan Timur, utamanya Ambenan Ijogading dan Gerakan Pemuda Loloan (GPL). Tabuh kendang mengiringi tiga pesilat yang secara bergantian unjuk kebolehan. Seni silat bugis yang pertama kali berkembang di Desa Air Kuning ini memang sering tampil menjadi pembuka sebagai penyambutan.
“Upacara” ini berhasil menyulut antusiasme setiap orang yang hadir di sana. Setidaknya gairah ini hadir dalam diri saya yang memilih menikmati dari sisi barat area, berdekatan dengan sungai Ijogading. Jilatan api yang dimainkan angin, nyala lampu tepi barat sungai, juga bintang yang mengintip dari celah-celah ranting menyempurnakan hari yang kian pekat.
____
Acara berlanjut dengan pembacaan cerpen Langkah Besar Suri oleh Dede Leo Patra. Melaluidramatic reading, ia mengisahkan “teror” yang dialami Suri saat menyaksikan tayangan televisi. Mengenai kisah inspiratif seorang perempuan, yang menjadi tulang punggung keluarga sebagai sopir taksi. Gairah Suri tersulut dan berupaya menjadi sosok inspiratif itu pula. Ia meninggalkan warung yang dikelolanya, menyerahkannya kepada Kerti –asisten sekaligus keponakannya, kemudian bergerak melakukan hal-hal yang dianggapnya lebih besar dari apa yang dilakukannya selama ini. Kisah ini berujung pada keinginannya untuk kembali mengelola warung setelah Kerti menjadi sosok inspiratif lainnya yang tayang di televisi.
Keinginan untuk melakukan langkah-langkah besar memang harus dibangun. Namun menjaga keyakinan dan konsistensi untuk melakukan sesuatu, entah itu (yang dianggap) langkah besar ataupun langkah kecil, memerlukan daya yang setara dan energi yang tak berbeda. Spirit inilah yang sesungguhnya dimiliki dan dikobarkan kawan-kawan di Ambenan Ijogading.
Dalam pergaulan dunia kreatif, Loloan Timur bisa menjadi contoh kecil kesadaran untuk bergerak dan mengembangkan potensi secara mandiri. Tentu kesadaran dan optimisme semacam ini juga telah tumbuh di beberapa wilayah di Jembrana. Sebutlah itu ruang bersama di Dusun Senja Br. Moding Kaja Candikusuma, Rumah Baca Bali Tersenyum di Tukadaya, Karang Impian Beach Swing & Camping Ground di Sumbersari, dan banyak tempat lainnya di Jembrana.
Ruang Bermain
Unjukarya Vol. 01 berupaya menciptakan ruang bermain bagi siapa saja, dengan membuka ruang apresiasi dan interpretasi yang sebesar-besarnya. Dalam diskusi yang dipantik Emboeng Arishinta Poetra, Nanoq da Kansas mengungkapkan bahwa warga Jembrana memiliki intelektualitas yang setara dengan warga daerah lainnya. Bahkan secara kualitas, dalam pandangannya, beberapa cerpen karya Suarbawa, sebutlah itu Balada Lumpur dan Seorang Petani, sangat layak dimuat di media nasional yang memiliki kolom sastra.
“Sebagai sesama penulis, sebenarnya saya tak etis menilai karya penulis lainnya. Tapi membaca cerpen-cerpen dalam buku ini, saya berani berkata kalau Jembrana sesungguhnya memiliki banyak penulis yang hebat,” ucap Nanoq yang menjadi pembicara menggantikan Agus Phebi karena terserang demam.
Sementara pembicara lainnya, Umam Al Maududy, menyampaikan bahwa kisah-kisah dalam buku tersebut menjadi lebih menarik dengan keberadaan ilustrasi di tiap-tiap cerpennya. Ia juga menyarankan agar bagian ilustrasi tersebut dicetak berwarna sesuai lukisan atau gambar aslinya agar psikologi warna bisa memaksimalkan emosi pembaca terhadap kisah yang dihadirkan. “Saya membandingkan antara versi cetak (buku) dengan versi pdf yang diberikan,” jelasnya.
____
Unjukarya malam itu terpaksa jeda sejenak. Tanpa sadar, langit telah kehilangan bintang. Angin bertiup kencang, membawa dingin dan gerimis yang tak terduga. Hujan pun tumpah demikian deras dan mengharuskan kami berpindah ke Rumah Baca Loloan, sebuah rumah panggung yang berjarak sekitar 500 meter dari Ambenan Ijogading.
Di Rumah Baca Loloan, musik apresiasi dihadirkan dengan menginterpretasi teks-teks yang tersaji dalam buku. Musik teaterikal dari Kelompok #ANU, misalnya, merespon cerpen Kisah Peniup Seruling. Dengan musikalitas yang mumpuni, komposer Yogi Sukawiadnyana membangun komposisi dengan memadukan seruling dan gong berbagai ukuran. Pertunjukan ini disempurnakan Arista dengan menginterpretasi tokoh peniup seruling melalui gerak, properti, dan kalimat-kalimat padat semacam “Bayar hutangmu!”.
Ruang bermain kemudian benar-benar cair saat 2 (dua) kelompok pemuda Loloan Timur mempresentasikan hasil workshop yang telah diadakan selama 2 hari pada Sabtu dan Minggu (14-15/3). Workshop yang dimentori Nanoq da Kansas ini sesungguhnya menghasilkan 3 (tiga) karya dengan metode yang berbeda pula. Sayangnya, hanya 2 kelompok yang bisa tampil karena waktu dan cuaca yang tak mendukung.
Untuk kelompok pertama, Nanoq meringkas teks cerpen Kawan Tiba (Suatu) Senja agar memungkinkan diapresiasi dengan pendekatan musikalisasi. Kelompok kedua dibebaskan menyusun kembali teks cerpen Langkah Besar Suri untuk menciptakan lirik lagu, dengan tetap memertahankan emosi yang dibawa. Sementara kelompok ketiga diberlakukan metode penulisan lirik melalui penyusunan ulang teks atau kata yang tersaji pada seluruh cerpen di dalam buku. Pendekatan terakhir ini diperuntukkan menciptakan karya yang benar-benar baru.
Metode yang berbeda dari masing-masing kelompok menitikberatkan tumbuhnya budaya proses. Bahwa yang paling penting dalam berkesenian adalah proses. Sebab itu, upaya menampilkan yang “selesai” dan “sempurna” tidaklah jadi yang utama. Proses alih wahana cerpen menjadi karya musikal ini diapresiasi penggiat seni Wayan Sumahardika sebagai upaya memperkaya dan memberi pembacaan lain terhadap karya induknya.
Bentuk alih wahana dalam ruang bebas penting dilakukan untuk memberikan tawaran-tawaran lain bagi karya seni itu sendiri. “Kebebasan” itu juga berpotensi memunculkan keunikan yang barangkali belum hadir atau tak terbaca. “Tak ada batasan dalam ruang apresiasi. Siapa yang mau membaca buku Made Birus (Suarbawa) kalau apresiasi dan interpretasi tidak dilakukan? Jangan-jangan buku ini baru diketahui dan mau dibaca karena kawan-kawan memberi apresiasi dalam bentuk yang lebih cair. Jika misalnya Made Birus keberatan dengan apa yang kalian lakukan, ya sudah, cari aja karya dari penulis lainnya,” kelakarnya.
Ruang apresiasi adalah ruang tanpa batas. Sebuah ruang di mana para semua mendapat tempat untuk menelisik, merumuskan, kemudian melakukan pembacaan terhadap berbagai potensi dan kemungkinan. Sebuah ruang yang merangkul kenakalan-kenakalan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Semoga tak lekas lelah. [T]