Hampir sulit menemukan catatan Bali yang positif tentang Nusa Penida (NP). Kalau bernada miring, mungkin lebih mudah kita jumpai. Catatan miring yang terkenal misalnya NP sebagai pusat kekuatan mistik dan tempat pembuangan zaman kerajaan di Bali. Catatan-catatan miring ini seolah-olah menunjukkan gejala bahwa hubungan masa lampau Bali dan NP kurang harmonis. Keduanya sering dibenturkan. Benarkah demikian?
Ah, jangan-jangan hanya perasaan saya saja. Atau mungkin Anda merasakan hal yang sama? Entahlah. Tiba-tiba saja, saya berpikiran demikian. Sengaja atau tidak, masa lalu lebih sering membenturkan NP dengan Bali. Jarang sekali saya baca atau dengar hubungan harmonis antara NP dengan Bali. Baik mitologi (babad), sejarah maupun geografis–keduanya memang saling berbenturan.
Teror dalam Mitologi (Babad)
Secara global, mitologi (babad) NP menggambarkan hubungan Bali-NP yang kental dengan teror. Contohlah mitologi (cerita) tokoh I Renggan dan perahu saktinya. I Renggan memiliki perahu sakti (anugrah dari kakeknya, Ki Dukuh Jumpungan). Konon, perahu saktinya itu bisa menabrak apa saja menjadi lautan. Uji coba pertama sukses, setelah I Renggan menabrak NP menjadi dua bagian yaitu Nusa Gede dan Nusa Cenik. Kesuksesan ini mendorong I Renggan berniat (memiliki misi) menaklukkan Bali dengan cara menabrakan perahunya ke Bali daratan.
Ketika berada di perairan Padangbai (Karangasem), I Renggan berniat menabrak Pulau Bali menuju utara, membelah Gunung Agung. Sebagai persiapan, I Renggan menciptakan teror. Beliau membuat grubug (senjata biologi) dan mengerahkan kutu terbang menyerang tanaman yang ada di Pulau Bali. Hal inilah yang menyebabkan Ida Hyang Bhatara Toh Langkir marah. Toh Langkir menciptakan api dan membakar semua hama buatan I Renggan (www.balitoursclub.net).
Kemudian, I Renggan menyusun rencana lain yakni menciptakan gempa besar dan akan menabrak Gunung Agung. Sayangnya, rencana ini lebih awal diketahui Ida Hyang Bhatara Toh Langkir. Toh Langkir menciptakan angin ribut, yang membuat perahu I Renggan terombang-ambing (hilang kendali) lalu menabrak Nusa Cenik. Akibatnya, Nusa Cenik terbelah menjadi dua bagian yaitu Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Nusa Lembongan.
Kedua, (tabik pakulun) tokoh Ratu Gede Mecaling. Ratu Gede Mecaling merupakan ikon teror grubug bagi masyarakat Bali. Dalam mitologi, Ratu Gede Mecaling merupakan pertapa yang sangat ulet sehingga Bhatara Siwa memberikan anugerah berupa kesaktian Kanda Sanga. Kesaktian ini konon membuat beliau berubah wujud menjadi sangat menyeramkan. Taringnya panjang, badannya besar sekali dan suaranya menggetarkan jagat raya hingga teror ketakutan melanda masyarakat Bali.
Untuk mengatasi kondisi ini, Ida Bhatara Indra turun ke dunia untuk memotong taring dari Gede Mecaling dan membuat jagat tentram kembali. Setelah itu, I Gede Mecaling kembali melakukan tapa hebat memuja Bhatara Rudra. Kemudian, mendapat anugerah lima macam sakti yakni: taksu kesaktian, taksu pangeger, taksu balian (dukun), taksu penolak grubug (penangkal wabah) dan taksu kemeranan (hama). Kesaktian baru ini membuat semua pengikut bala samar yang ada di NP menjadi bawahannya.
I Gede Mecaling juga menguasai lautan, sehingga diberi gelar Ratu Gede Samudra. Di samping itu, I Gede Mecaling juga pernah bertapa di Gunung Tolangkir atau Gunung Agung sehingga diberi wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang senang melakukan tindakan adharma (https://baliexpress.jawapos.com).
Teror dalam Sejarah (Kerajaan)
Bukan hanya dalam mitologi, teror juga terjadi dalam catatan sejarah Bali. Catatan kerajaan Bali mengungkapkan bahwa setidaknya pernah terjadi 2 kali teror separatis di NP. Pertama, masa pemerintahan dinasti Kresna Kepakisan di Bali, yang berpusat di Gelgel (1380-1650 M). Pada masa inilah ada usaha dari penguasa NP (I Dewa Bungkut) untuk memerdekakan diri. Namun, dapat digagalkan oleh pemerintahan Dalem Di Made (sekitar tahun 1650 M). Pemerintahan Dalem Di Made mengutus Ki Gusti Djlantik untuk menumpas pemberontakan I Dewa Bungkut (www.nusapenida.nl)
Kedua, seorang penguasa NP bernama Ratu Sawang menyatakan diri merdeka lepas dari kekuasaan Bali. Beliau memerintah wilayah NP dengan pusat pemerintahan di Bukit Mundi. Dalem Watu Renggong sebagai Raja Bali, mengirim laskar di bawah pimpinan Dukut Patak, untuk menaklukkan NP. Berita ini terdapat dalam ‘Lontar Sawangan’ (transkripsi), hal.4a-6b; Note 5. Lihat I Gusti Ngurah Gede [?]. ‘Babad Blahbatu’ (manuskrip), bertahun 1958 M, p.8b-14b. Bandingkan C.C.Berg: ‘Babad Bla-Batuh’. (Santpoort: C.A.Mees, 1932), p.6-9 (p.2) (www.nusapenida.nl).
Perspektif Geografis (arah)
Selain perspektif mitologi dan sejarah, NP sesungguhnya memiliki konsep arah (geografi) yang berbeda dengan Bali. Bali memandang diri berada pada posisi Kaja (ulu, simbol kesucian). Sedangkan, NP berada pada posisi delod (teben, selatan). Sekali lagi, ini perspektif dari Bali.
Namun, Jika dilihat dari geografi secara utuh, NP bisa saja mengklaim diri berada pada posisi Kaja. Karena posisi geografi NP hampir sama dengan Buleleng. Daerah perbukitan (termasuk Bukit Puncak Mundi, puncak tertinggi di NP) berada di sebelah selatan. Hanya saja, NP dikatakan tidak memiliki gunung.
Tunggu dulu! Selama ini, konsep gunung atau bukit kadang-kadang rancu. Saya coba buka konsep versi Wikipedia, yang mengatakan bahwa sebuah gunung biasanya lebih tinggi dan curam dari sebuah bukit, tetapi ada kesamaan, dan penggunaannya sering tergantung adat lokal.
Konsep tersebut yang membuat orang-orang NP (terutama generasi tua) menyebut Gunung Puncak Mundi bukan Bukit Puncak Mundi. Termasuk dalam buku “Babad Nusa Penida” karangan Jro Mangku Made Buda juga menulis dengan kata Gunung Puncak Mundi.
Saya tidak tahu, apakah orang Bali memiliki kriteria tersendiri tentang perbedaan konsep gunung atau bukit. Atau jangan-jangan, keduanya dianggap rancu. Bahkan, mungkin dianggap sama.
Jika tunduk dengan filosofi arah mata angin orang Bali, maka NP semestinya berada pada posisi Kaja dari Pulau Bali. Artinya, NP berada di hulu. Jangan-jangan faktor geografis inilah yang menyebabkan NP-Bali sulit mencapai kata harmonis. Karena kedua belah pihak sesungguhnya memiliki rasa hulu dan teben yang berlawanan.
Belum lagi, “rasa kelautan” yang tinggi dari pihak NP. NP terpisah lautan dengan Bali. NP tidak memiliki “rasa keterikatan daratan” dengan Bali. Konsekuensinya, kurang ada kedekatan psikologis. Kondisi geografi yang demikian, mungkin membuat NP memandang diri sebagai wilayah yang otonom, tidak menjadi bagian dari Bali.
Karena itulah (mungkin), mitologi NP dan sejarah Bali sering membenturkan keduanya. Saya tidak tahu, apakah (bagi NP) mitologi dan sejarah tersebut memiliki korelasi? Maksud saya, apakah gerakan separatis di NP didasari oleh spirit mitologi. Atau cerita mitologi itu muncul sebagai bentuk respon orang NP terhadap spirit separatis yang pernah terjadi di NP. Ya, itu PR bagi para peneliti mungkin.
Yang jelas, baik mitologi dan sejarah Bali cukup kuat menggambarkan bahwa hubungan Bali-NP kental diwarnai dengan kondisi teror, gerakan penaklukkan (adu power), dan upaya memerdekaan diri.
Mitologi (atau babad) yang dibangun oleh NP tentu tidak berangkat dari kekosongan. Bisa jadi, mitologi itu dibangun dan dihidupkan sebagai bentuk respon (cara pandang diri) orang NP terhadap Bali. Tentu ada dasar yang kuat, mengapa leluhur NP membangun mitologi I Renggan kemudian menghubungkan dengan asal-usul (legenda) Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan.
Kedua pulau ini seolah-olah menjadi bukti monumental kepada regenerasi NP bahwa leluhur NP memiliki spirit “melawan dan menaklukan” yang luar biasa. Lewat Nusa Ceningan dan Lembongan, spirit itu terus dikobarkan sepanjang zaman, karena perlawanan sesungguhnya tidak pernah berakhir.
Dalam konteks kekinian, spirit I Renggan dapat dimaknai melawan anggapan premitif, terisolir, anggapan kelas 2, kemiskinan, dan lain sebagainya. Stigma yang lama dihembuskan oleh Bali daratan terhadap NP.
Spirit mitologi itu juga hendak mendorong orang NP untuk berani berkiprah atau mengambil peran strategis (menjabat, menjadi penguasa) di Bali daratan dalam skala kecil maupun luar Bali (skala besar). Jangan karena terisolir (dan kecil) secara wilayah, orang NP menjadi takluk, menyerah, dan menerima apa adanya anggapan-anggapan negatif tersebut.
Agar merdeka dari ikon premitif memang tiada jalan lain, kecuali bekerja keras, ulet, berani, pantang menyerah, sabar dan konsisten dalam belajar maupun bekerja. Spirit inilah yang tercermin dari pribadi I Renggan dan I Gede Mecaling. Keduanya merupakan pertapa yang keras dan ulet, sehingga memiliki kesaktian (jnana-ilmu pengetahuan) yang tinggi dan disegani.Mitologi I Gede Mecaling menjadi cermin nyata. Hingga sekarang, power kesaktiannya sangat disegani oleh orang Bali daratan.
Begitu juga dengan tokoh separatis I Dewa Bungkut dan Ratu Sawang. Tanpa modal jnana yang cukup, rasanya tidak mungkin ada keberanian untuk bermimpi mencapai kemerdekaan.Karena itulah, perlawanan sesungguhnya (selanjutnya) orang NP ialah memerdekaan diri dari stigma premitif, terisolir, inferior dan lain-lainnya.
Peluang meraih kemerdekaan itu sangat terbuka bagi NP. Mitologi, sejarah, dan geografi NP merupakan isyarat, cermin, ruang mulat sarira, dan sekaligus menjadi “spirit abadi” untuk mencapai kemerdekaan tersebut. [T]