Cerpen: Eka Prasetya
HARI beranjak malam. Waktunya sudah tiba. Aku segera beranjak ke kulkas di sudut kamar. Membukanya. Kosong. Tidak ada minuman yang tersisa.
Aku tahu. Ini pasti ulah istriku. Arak yang kemarin aku simpan di kulkas, sudah tak berbekas.
“Di mana arak yang kemarin itu Luh?” tanyaku.
“Sudah habis. Dipakai metabuh tadi. Itu minuman bhutakala,” jawab istriku.
Aku memilih tak menjawab. Urusannya bisa panjang dan berakhir pada pertengkaran. Salah-salah, ada piring terbang yang mengenai kepalaku.
Motor segera aku geber menuju warung milik Wawan, rekanku sesama alkoholik. Sebenarnya dia berjualan bakso. Tapi sembunyi-sembunyi, Wawan juga menjual arak. Wawan tahu minuman seperti apa yang aku butuhkan. Seperti apa campurannya. Aku cukup mengacungkan jari, tanda berapa banyak aku memesan.
Malam itu, Wawan memintaku minum di warungnya. Sebenarnya aku tak pernah nyaman minum di keramaian, terlebih dengan orang yang tak terlalu aku kenal. Tapi suasana di rumah sedang tidak kondusif.
Apalagi Wawan melontarkan kalimat yang tak bisa kutolak. “Minumlah di sini. Berapa pun yang kau minta, aku berikan. Gratis,” katanya.
Aku segera duduk di depan Wawan. Ia menyodorkan sebotol arak. Dia juga mengenalkan aku pada teman-temannya. Baru sekali ini aku lihat mereka belanja di sana.
Gelas pertama disodorkan. Ini minuman penyambutan. Tak patut ditolak. Meski porsinya agak berlebihan. Segera aku tenggak hingga tandas.
Otakku yang tadinya mumet, kini jadi rileks. Ternyata nikmat betul minuman ini. Rasa penat dan gelisah di tubuhku langsung menguar. Hilang entah ke mana.
Wawan kembali menyodorkan gelas. Ini putaran kedua. Konon gelas kedua akan memberikan kebahagiaan. Memang seperti itu yang aku rusakan. Bisa menenggak alkohol tiap hari, sudah jadi kebahagiaan. Apalagi bisa mendapat arak gratis.
Putaran ketiga datang. Katanya gelas ketiga akan membuat aku seperti raja. Tapi entahlah, aku tak merasa begitu. Bila pulang, aku akan merasa seperti bidak raja pada permainan catur. Langkahnya serba terbatas. Ah, peduli apa. Toh aku dapat minuman gratis. Bagiku, itu lebih penting.
Gelas keempat aku ambil. Mulutku mulai meracau. Orang-orang mulai terheran-heran. Sebab dari tadi aku hanya terdiam. Tersenyum pun sekenanya.
Aku mulai meracau soal kebiasaanku minum sendirian hingga tertidur di teras rumah. Mengeluh soal omelan istriku tiap kali aku menenggak minuman beralkohol.
“Padahal dari sebelum kawin, dia sudah tahu aku suka mabuk. Tapi sekarang dia sering marah-marah. Tiap aku beli minuman, tidak pernah aku pakai uang dapur,” kataku.
Wawan hanya tertawa mendengar keluhanku. “Kalau tidak sanggup dengar omelan istri, kawin saja lagi,” katanya.
“Mendengar omelan satu istri saja aku tidak kuat. Apalagi dua istri. Bisa mati berdiri aku,” kataku lagi.
Gelas kelima disodorkan padaku. Langsung saja kutenggak hingga tandas. Sejujurnya aku tak ingat apalagi yang kami bicarakan. Aku lebih fokus pada pramuria di warung milik Wawan yang mondar-mandir membawa mangkok bakso. Sesekali aku colek pinggulnya. Pramuria itu membalasku dengan senyuman genit.
“Katanya satu istri saja tidak sanggup. Mau tambah lagi? Pelayanku masih lajang,” goda Wawan.
Ah, lebih baik aku menjauhi masalah. Aku raih segelas minuman lagi. Badanku mulai merasa tidak nyaman. Sepertinya aku mau muntah. Mungkin aku sudah mabuk. Tapi aku belum mau pulang. Lebih baik aku bertahan sebentar lagi.
Kepala mulai kusandarkan di sofa. Rasanya sungguh berat. Tapi meninggalkan Wawan dan teman-temannya yang sedang bersukaria, rasanya sungguh tak pantas. Mungkin aku harus bertahan, barang segelas atau dua gelas lagi.
Segelas arak kembali disodorkan. Aku sebenarnya ragu menenggaknya. Rasanya sudah terlalu banyak. Tapi, aku tak bisa mengecewakan teman-teman satu botol yang baru aku kenal. Aku harus bertahan.
Arak itu segera aku tenggak hingga tandas. Kepalaku makin berputar. Perutku mulai bergejolak. Rasanya ada yang ingin keluar. Aku berlari keluar. Aku tak mau muntah di hadapan sesama peminum. Itu aib yang sangat memalukan.
Aku harus segera pulang ke rumah. Tiba-tiba aku kangen istri. Istriku bisa memijat kepalaku. Pijatannya sangat ampuh menghilangkan pengar. Meski biasanya dia memijat sambil mulutnya terus berbunyi. Marah-marah. Tak masalah, toh aku sudah mabuk. Aku tak akan ingat apa yang dia bicarakan.
Aku segera menggeber motor ke rumah. Tiba-tiba kepalaku terasa ringan. Ringan sekali.
“Istriku, istriku…!” Aku menyebut nama istriku berkali-kali. Ia harus memberikan pijatan.
Tubuhku makin ringan. Aku menerobos lampu merah di perempatan pertama. Lalu seseorang kudengar berteriak, memaki. Tampaknya aku salah jalur. Di perempatan berikutnya, tak kulihat lagi, apakah lampu pengatur jalan itu merah, hijau atau kuning, kutererobos saja.
Sedetik kemudian kudengar orang berteriak-teriak. Tubuhku yang terlentang di jalan dikerumuni banyak orang. Kulihat satu per satu.
Istriku, istriku, di mana istriku. Aku perlu pijatan… [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.