Cerpen: Satria Aditya
Hari sudah nampak gelap, lampu-lampu di depan rumah sudah dimatikan. Beberapa anjing nampak berkeliaran seperti saling menyapa anjing-anjing lainnya. Di sudut gang nampak seorang wanita muda yang tertunduk lesu dengan raut wajah pucat dan air mata yang terus mengalir, ia berdiri di bawah lampu jalan yang remang. Ia masih menangis, kakinya kotor entah dari mana. Ia terus saja menangis sampai kakinya gemetar dan tersungkur di bawah tiang lampu itu.
Beberapa waktu sebelumnya, nampak seorang lelaki menemuinya di depan rumah kontrakan. Entah apa yang mereka bicarakan, namun nadanya sangat tinggi sampai si wanita itu menangis sejadi-jadinya. Lalu, mereka pergi ke suatu tempat.
Di sudut kota, sangat dekat dengan laut. Mereka berhenti di suatu tempat yang sangat kotor, bau dan belatung di mana-mana. Plastik, dedaunan sampai bangkai ada di sana. Wanita itu lalu membuang sebuah kantong plastik dengan darah yang memenuhi kantong plastik itu. Baunya sangat amis. Dengan raut muka yang sangat pucat dan air mata yang terus membasahi pipi wanita itu sejak tadi.
Pria itu langsung mengajaknya pergi dari tempat itu dengan kecepatan motornya yang sangat kencang. Lalu, wanita itu ditinggalkan di depan gang yang sudah sunyi tak ada orang atau kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada suara lolongan anjing dari kejauhan. Wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sedangkan pria itu pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata.
Wanita itu masih saja duduk tersungkur di bawah tiang lampu. Dengan tubuh yang sudah tampak lemas wanita itu berusaha berdiri namun tetap saja tersungkur kembali. Ia mencoba kembali, sampai akhirnya ia bangun dan berjalan ke rumahnya dengan tubuh yang masih gemetar. Anjing-anjing di sana menggonggong wanita itu, tetapi ia tidak menghiraukan sama sekali. Sampai di rumahnya, wanita itu kembali tersungkur di atas kasurnya dan kembali menangis sejadi-jadinya. Tiba- tiba saja dengan tidak sadar wanita itu tertidur pulas setelah tangisnya yang tak kunjung selesai.
Di tengah pulasnya, seseorang mengetuk pintu dari luar.
“Siapa?” tanya wanita itu sedikit ragu. Ia berjalan pelan menuju pintu.
Pintu masih terketuk, tapi tidak ada siapapun yang menjawab pertanyaan wanita itu. Ia lantas gemetar, ada sekelebat bayangan dipikirannya; antara itu maling atau pria yang mengajaknya ke tempat dimana bangkai, belatung dan sampah-sampah busuk bercampur menjadi satu. Wanita itu kian takut, tangannya gemetar untuk membukakan pintu.
“Si.. si.. siapa?” Wanita itu terbata-bata.
Dengan tangan gemetar wanita itu memberanikan diri membukakan pintu. Seorang anak dengan tubuh yang kotor dan penuh lumpur dengan muka yang sangat pucat berdiri di depan pintu. Darah melekat di sekujur tubuhnya dan tali pusar yang masih melekat.
“Kau siapa?” tanya wanita itu dengan tubuh gemetar.
“I…buu… ibuu..” anak itu menjawab lirih.
Kakinya lemas seperti mati rasa, ia tak bisa melakukan apapun, wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Menangis, hanya itu yang bisa dilakukannya.
“Kenapa, Bu? Kenapa kau membuangku di tempat itu?”
Wanita itu semakin ketakutan, ia terus menangis dan tubuhnya membeku. Ingin sekali wanita itu berkata, tapi tak sepatah kata pun bisa terucap dari bibirnya. Mulutnya seperti dibekap oleh tangan yang sangat besar.
“Ibu…, aku anakmu, yang kau buang di tempat pembuang sampah yang besar di sudut kota itu, Bu, tepat setelah kau meminta maaf padaku. Bu, kenapa kau membuangku? Apa kau tidak menyayangiku? Kau menyesal telah mengandungku, Bu?” lanjut anak itu sembari mendekatinya.
Rasa bersalah seperti menampar di kiri kanan wajahnya. Ia semakin ketakutan melihat anak itu mendekatinya. Tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali—tangisnya semakin menjadi-jadi. Sampai anak itu memegang tangannya dan duduk di depannya.
“Bu, sayangi aku. Aku belum sempat memeluk dan menyayangi kau, Bu.” Katanya sambil melihat wajah wanita itu.
“Maafkan aku,” jawabnya lirih sembari menundukkan kepalanya.
Tangan wanita itu masih gemetar merasakan begitu dinginnya tangan anak itu. Ia menghela nafas lalu mencoba berbicara dengan anak itu.
Wanita itu menatap wajah anak itu. Ia menangis dan memberanikan diri mengusap wajah anak itu. Anak itu tersenyum, seperti menunjukkan giginya yang hanya satu dan matanya yang sipit karena tersenyum.
“Maafkan aku. Aku menyayangimu. Aku tidak bermaksud membuangmu di tempat busuk itu. Anjing busuk yang tidak mau bertanggung jawab itu yang tak ingin kau dilahirkan!” Sambil menangis ia memeluk tubuh anak itu.
“Aku tahu, Bu. Aku tahu semuanya. Aku bisa melihatmu, meskipun masih menjadi gumpalan darah di rahimmu.”
“Kau tau betapa sakitnya aku harus membuangmu? Aku tahu perbuatanku itu salah. Dia mengajakku ke rumahnya. Aku terhasut rayuan, kedua mata dan telingaku seakan ditutup oleh cinta, oleh sesuatu yang begitu indah di bayanganku. Hingga aku tak bisa menolaknya.”
“Bu, jangan menyesal. Itu adalah perbuatanmu. Aku tahu kau menyayangiku, sampai tubuhmu memar untuk mempertahankanku. Bu, aku akan selalu menyayangimu. Walaupun kau terpaksa membuangku di tempat yang tak semestinya.”
Wanita itu masih memeluk erat tubuh anak itu. Ia masih menangis dan penyesalan yang tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya adalah telah membuang orok yang belum sempat merasakan kebahagiaan pelukan ibu.
“Anakku, maafkan ibumu ini. Sampai kapanpun aku tak akan pernah berhenti menyesal. Kau anak laki-laki yang sangat manis. Entah kau tidak dilahirkan atau dilahirkanpun aku akan tetap menyayangimu.”
“Bu, aku akan datang setiap hari. Memelukmu, tidur di sampingmu dan menjagamu, Bu.”
“Maafkan aku, maafkan aku!” Ia mengulang kata itu beberapa kali sembari menangis semakin keras.
Ketika wanita itu membuka matanya, anak itu telah menghilang dari pelukannya. Wanita itu kebingungan, matanya bergerak ke berbagai arah memastikan ke mana anak itu. Wanita itu menangis terus menerus seperti air matanya tak akan pernah habis-habis. Tiba-tiba wanita itu terbangun, menangis setiap memimpikan hal yang sama. Penyesalan seperti jalan panjang yang tak pernah ada ujung pangkal yang selalu menghampirinya, di setiap hari yang ia lewati.
Sesekali ia seperti menimang sambil tertawa lalu menangis kembali lalu seperti menyusui lalu menangis kembali lalu bernyanyi-nyanyi lalu menangis kembali lalu, begitu seterusnya. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.