Karya seni berjudul Save Borneo yang dibuat oleh Romario Paulus Bagus Saputra yang dipajang di Kulidan Kitchen, Guwang, Sukawati, Gianyar, pada pembukaan pameran seni bertema Illegal Trade pada tanggal 29 Desember 2019 memiliki keunikan khas berupa nilai pendidikan.
Karya seni yang berukuran 70 cm X 70 cm tersebut dapat berbicara lebih dari seribu kata menurut masing masing orang yang mengamati karya seni tersebut.
Pameran yang diselenggarakan tersebut memiliki makna yaitu menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi lingkungan, sosial dan ekologi di Indonesia oleh para seniman yang tinggal di Bali. Di sini, kita melihat seni yang turun ke bumi menyuarakan kondisi lingkungan, satwa liar dan sosial bukan berada di atas awan dengan motto seni untuk seni belaka. P
ameran seni bertema Ilegal Trade di Kulidan Kitchen adalah pameran seni terbaik di bulan Desember tahun 2019 yang diselenggarakan di Bali karena alasan di atas.
Aspek Seni
Objek karya seni ini adalah orangutan dan selembar uang dolar. Warna latar di belakang objek merupakan ekspresi kesuraman yang diungkapkan seniman terhadap kondisi orangutan di Indonesia. Lembaran uang yang dilipat dan bernilai 100 $ melambangkan pecahan uang tertinggi untuk perdagangan global. Gambar orangutan yang terletak di tengah selembar uang merupakan ekspresi nilai jual orangutan di pasar. Raut wayah orangutan yang terpampang menggambarkan keadannya yang terpenjara dan terasing dari habitatnya.
Karya seni ini dibuat dengan media digital sehingga warnanya sama persis dengan gambar cetakan. Hasil gambar tersebut “hidup” seperti mengamati foto orangutan di majalah atau menonton film bertema satwa liar. Kombinasi warna kelabu di latar dengan ekspresi wajah orangutan yang menderita adalah serasi karena warna latar melambangkan suasana suram. Tekstur latarnya halus. Objek yang ada di depan membentuk lipatan menandakan uang yang telah digunakan.
Interpretasi
Pada bulan Maret 2019, di Bandara Ngurah Rai Bali, otoritas bandara menangkap warga negara Rusia yang membawa orangutan di dalam koper. Orangutan tersebut ingin dibawa ke negaranya. Dia mengaku membeli orangutan seharga $4200 untuk dipelihara. Orangutan miliknya disita dan dia diamankan oleh pihak berwajib(1). Kemudian, orangutan tersebut ditampung di Bali Safari and Marine Park(2).
Selama di tempat penampungan orangutan tersebut menjadi agresif karena diberi obat bius oleh si penyelundup. Sifat agresif orangutan berhasil dikendalikan dengan boneka. Di bulan Desember 2019, orangutan tersebut menempuh perjalanan selama sembilan jam untuk kembali ke habitat asalnya(3).
Meski orangutan tersebut telah kembali ke habitat asalnya, masa depan orangutan semakin suram. Perdagangan orangutan di Bali merupakan perlakukan buruk terhadap satwa liar oleh oknum-oknum yang hanya mementingkan uang tanpa peduli pada kelestariannya. Di alam liar populasi orangutan terus menyusut.
Penyebab utamanya adalah perusakan hutan untuk sawit, kayu , dan tambang. Sawit merusak hutan yang beraneka ragam dan menjadi sumber makanan orangutan selama jutaan tahun. Kemudian karena tidak mendapat tempat, mereka berkelana di kebun sawit mencari makan. Tunah-tunas sawit yang tumbuh menjadi satu satunya makanan orangutan di ladang monokultur tersebut. Karena menghambat pertumbuhan sawit yang berarti menurunkan keuntungan berupa uang, orangutan dianggap hama sehingga dibantai(4).
Ada pihak pihak yang ikut berperan dalam perdagangan ini. Pertama ,para pekerja di perkebunan sawit yang hidupnya rentan akibat ketidakadilan ekonomi dimana korporasi menjadikan pekerja yang memiliki ladang sendiri berukuran kecil sebagai contract farmers dimana mereka harus menjual sawit kepada korporasi dengan harga yang telah ditentukan tapi biaya produksi ditanggung oleh petani. Ini dinamakan sharecropping. Para petani yang dibebankan untuk membeli pupuk dan pestida sering meminjam uang dan terjebak riba(5).
Kedua, masyarakat lokal yang kehilangan penghidupan karena hutannya dihabisi oleh korporasi. Dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak layak ini, mereka tergoda untuk menangkap orangutan yang berkelana di ladang tersebut untuk mendapat uang tambahan agar berusaha hidup layak.
Orangutan yang diperdagangkan menghasilkan uang puluhan juta rupiah, lebih dari dua kali pendapatan yang mereka peroleh di kebun sawit selama satu bulan. Orangutan bersama warga lokal yang kehilangan hutan akibat industry sawit adalah korban ekosida. Ekosida merupakan tindka kejahatan yang menyebabkan perubahan merugikan untuk suatu kerusakan lingkungan hidup yang luas(6) .
Akar dari permasalahan perdagangan orangutan, dan perusakan habitat yang menjadi ekosida adalah paradigma reduksionis kuantitatif. Paradigma ini hanya memandang alam berdasarkan nilai instrumental yang dapat diukur berdasarkan jumlah menurut manusia. Sistem ekonomi saat ini yang berbasis pasar bebas menjadikan hampir seluruh komponen di alam termasuk orangutan sebagai barang yang dinilai dengan uang. Ini yang dinamakan komodifikasi.
Orangutan jauh lebih tinggi nilai intrinsiknya daripada nilai tukar karena perannya sebagai pemelihara hutan hujan Kalimantan dan Sumatera dengan menyebarkan biji bijian. Ratusan spesies tanaman disebarkan oleh orangutan yang membuat hutan terus diperbaharui. Perilaku orangutan yang mematahkan dahan pohon untuk tidur di malam hari membantu cahaya menyentuh lantai hutan sehingga tumbuhan tumbuhan kecil dapat berfotosintesis(7).
Karena habitat orangutan yang alami hanya ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan semenanjung Malaya, orang-orang dari luar kawasan tersebut apalagi dari Eropa, yang ingin memelihara orangutan biasanya karena terpengaruh fetishisme Komoditas. Bayi orangutan dibeli seharga puluhan juta rupiah karena si pembeli merasa barang tersebut memiliki nilai istimewa dan memberikan status khusus mengingat amat sedikit penduduk Rusia yang memeliharan orangutan. Orang orang ingin terlihat unik dan istimewa dibandingkan dengan yang lainnya sehingga melakukan berbagai cara termasuk memelihara satwa langka tanpa peduli ancaman terhadap kelestariannya. Inilah salah satu konsekuensi dari ekonomi kapitalisme.
Di sini peran aktivis satwa liar dan lingkungan hidup semakin penting untuk menegakkan hukum yang sudah ada dan menyadarkan masyarakat untuk peduli. Jika melihat ada orangutan yang tidak berada dihabitat alaminya atau di lembaga perlindungan satwa dan kebun binatang layak perlu dilaporkan untuk diperiksa karena pemeliharaan orangutan oleh individu adalah motivasi terbesar maraknya perdagangan orang utan. Selain itu, produksi sawit harus mendapat perhatian serius karena dampaknya yang merusak habitat dan menjadi momok bagi orangutan.
Perusahaan sawit yang terbukti merusak lingkungan harus diberi sanksi dengan dikurangi daerah izin operasinya atau dicabut. Mereka harus diberi tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan membayar kerugian yang ditimbulkan pada ekosistem dan memberikan kontribusi sosial yang berarti bagi penduduk lokal bukan memiskinkan mereka. Gagasan sawit untuk bahan bakar nabati harus dihentikan sepenuhnya karena meningkatkan perusakan hutan. Sudah terlalu banyak hutan ditebang untuk bahan makanan dan kosmetik di supermarket berupa minyak sawit.
Moratorium sawit harus dilakukan di kawasan tertentu yang mana populasi orangutan sudah kritis seperti Sumatera Utara dimana populais orangutan tapanuli kurang dari seribu ekor. Para buruh dan petani kecil yang menanam sawit harus dilibatkan oleh pemerintah untuk merestorasi hutan hutan terdegradasi. Mereka ini selayaknya bersatu mendirikan koperasi untuk produk produk yang mereka hasilkan dengan menerapkan agroekologi agar dapat akses pasar kepada konsumen sehingga tetap menjaga paru paru dunia dan keragaman hayatinya.[T]
Sumber:
1. Pria Rusia Ditangkap di Bali Hendak Selundupkan Bayi Orangutan di Dalam Koper. 24 Maret 2019. https://www.tempo.co/abc/3882/pria-rusia-ditangkap-di-bali-hendak-selundupkan-bayi-orangutan-di-dalam-koper
2. Semblian Bulan Trauma di Bali, Bon-Bon si orangutan Akhirnya Pulang Ke Habitatnya. 19 Desember 2019. https://www.tempo.co/abc/5112/sembilan-bulan-trauma-di-bali-bon-bon-si-orang-utan-akhirnya-pulang-ke-habitatnya
3. Ibid
4. Orangutan: Dipenggal, Dipotong Tangan Sebagai Bukti, Dijadikan Lauk. 31 Januari 2018. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42879943
5. Roger, Heather. The Green Gone Wrong. 2010. UK. Verso. Chapter Four, The Fuel of Forest: Biodiesel
6. Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi. Editor Eko Cahyono. Mei, 2019. Walhi. Bab II: Konsepsi Ecocide Sebagai Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia. Page 35