Cerpen: Ida Ayu Wayan Sugiantari []
Ini hari kedua puluh sembilan di Bulan April, jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Aku memandang lekat foto perempuan setengah baya berukuran 10R di tembok ruang tamuku. Di foto itu ia memakai kebaya berwarna merah marun dengan potongan sunda. Rambutnya dipusung seadanya. Itu tatanan rambut terbaiknya, ia selalu menyisir seluruh rambutnya ke belakang; tanpa poni, diikat dengan karet gelang lalu dipusung, selanjutnya dirapikan dengan dua jepit hitam kecil.
Foto itu diambil beberapa bulan sebelum ia sakit. Pipinya masih penuh, rambutnya hitam tebal, dadanya bidang, tubuhnya juga masih gempal. Tanpa pemulas bibir, penebal alis atau perona pipi ia tampak sangat cantik. Alisnya dibiarkan tipis, senyumnya juga tipis. Ia memang tak pandai tersenyum, bahkan untuk keperluan mengambil sebuah foto ia tidak bisa memaksakan seulas senyum manis.
Sejak enam tahun lalu, foto ini adalah benda paling istimewa di rumahku. Aku menggantungnya di atas TV tabung berukuran 21 inch kesayanganku. Di ruangan seluas 7,5 meter persegi ini tidak ada sofa atau kursi kayu seperti ruang tamu umumnya, hanya ada sebidang kasur spon tipis berukuran 120×200 cm yang kuletakkan tepat di depan TV. Kasur ini sudah tidak empuk, warnanya usang, tetapi seperti TV, aku juga menyayanginya.
Aku menghabiskan banyak waktu terbaik hingga hal terburuk di kasur ini. Bersamanya, aku menikmati beragam acara televisi swasta hingga tertidur sampai pagi, mencumbu tubuhnya, memeluknya, hingga kehilangannya di kasur ini. Ya tepat 6 tahun silam, di hari yang sama aku kehilangan perempuanku, istri yang telah 31 tahun aku nikahi di kasur ini. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku, beberapa saat setelah kami menikmati serial TV favoritnya.
Aku menarik nafas dalam, lalu menghelanya berkali-kali. Dadaku masih saja sesak. Mataku penuh oleh air mata. Aku tidak lagi bisa melihat wajah istriku di foto dengan jelas. Aku terisak, tubuhku bergetar hebat. Rasa sedih, rindu, sepi, hampa berkecamuk memenuhi rongga dadaku. Tuhan, aku sangat merindukannya!
Hampir 20 menit aku mematung di depan foto istriku, sampai kudengar suara isak tangis dari bilik kamar tidur putriku. Ah, dia sedang mengenang ibunya. Kehilangan ibu di usia 20 tahun adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Suara tangisnya makin keras, aku biarkan, di saat seperti ini hal paling melegakan adalah menangis. Dibatasi dinding kayu, kami menikmati rasa rindu kami masing-masing, rindu pada kekasih, rindu pada ibu.
Pukul 07. 10 Wita, putriku tergopoh keluar dari kamarnya, matanya sembab. Kali ini kaca mata minusnya tak mampu menyembunyikan air mukanya. Ia tak banyak bicara, dengan tergesa ia mengikat rambut sebahunya. Hari ini hari Senin, seharusnya ia sudah berada di sekolah. Biasanya setiap hari Senin, ia akan masuk 15 menit lebih cepat dari biasanya. Bosnya adalah kepala sekolah yang sangat disiplin, jam upacara bendera dimulai pada jam ke nol, tidak bisa ditawar. Siapapun yang terlambat akan berdiri di luar pagar, tanpa kompromi. Sebagai guru kontrak yang baru beberapa bulan bekerja tentu ia tak mau dinilai malas. Paham situasi itu, aku tidak melontarkan banyak sapaan, aku hanya menawarkan bubuh barak yang masih tersisa setengah, yang tentu saja ditolaknya mentah-mentah.
“Pamit, jik.” Suaranya sayup-sayup kudengar berlalu bersama suara motor matic-nya yang menderu. Aku kembali menikmati kopi hitamku, juga bubuh barakyang kuhabiskan dengan sendok daun pisang. Seperti umumnya orang di desa, aku selalu merobek sedikit daun pisang pembungkus bubuh untuk kujadikan sendok, aku meyakini ini rasanya jauh lebih nikmat dari memakai sendok berbahan stainless. Aku meneguk kopiku hingga tersisa ampas hitam di dasar gelas. Setahun terakhir aku sudah makin pandai meramu kopi, rasanya semakin mirip dengan buatan almarhumah istriku. Bagiku ini sudah cukup mengganjal perut sampai siang nanti. Aku sudah semakin pandai berkompromi dengan keadaan, jika sebelumnya aku biasa dijamu istri dengan masakan enak, maka saat ini untuk makan siang atau makan malam aku sudah biasa menyantap sepiring nasi berlauk telur goreng, sambel bawang matah, atau mie rebus saja.
Sebenarnya aku tidak hanya tinggal berdua dengan putriku. Ada adik perempuanku yang tinggal tak jauh dari rumahku. Ia lah yang mengambil banyak peran istriku, termasuk mengisi ruang kosong di hati anakku. Adikku adalah perempuan lajang berusia 48 tahun. Di usia sematang itu ia belum pernah menikah dan sepertinya tidak akan menikah. Di geria ini menjadi lajang sampai mati adalah pilihan terhormat untuk seorang Ida Ayu.
Adikku tidak sendiri, ada 9 orang perempuan lain yang tak punya pilihan lain selain melajang di geria ini; bibik kami yang berusia 80 tahun, beberapa sebaya dengannya, dan dua orang ponakan berusia sekitar 40 tahun. Mereka hidup dengan bersahaja. Mereka adalah perempuan sederhana yang tiap pagi pergi ke pasar dengan menggunakan kamen, pergi memasak di dapur, lalu menghabiskan waktu untuk membuat bahan upakara dan kerajinan dari daun lontar. Mereka tidak punya banyak mimpi seperti para perempuan milenial, mereka tidak dipusingkan urusan trend fashion, apalagi perkara politik. Bahagia mereka sederhana, punya cukup uang untuk mempersiapkan hari raya, dan menonton sinetron azab di televisi swasta.
Adikku pandai memasak tetapi tetap kalah dari istriku. Istriku adalah koki terbaik bagiku. Seluruh isi geria kami juga mengakuinya, untuk banyak acara istriku sering dilibatkan di dapur. Ia juga sangat cekatan, entah dengan kekuatan super macam apa, setiap hari ia bisa menyiapkan beragam jenis lauk di bawah jam 8 pagi. Sudahlah aku tidak mau mengingat itu lebih banyak. Saat ini aku cukup bersyukur, ada adikku yang setiap hari menyiapkan makan untuk putriku, paling tidak anakku tak sepenuhnya kehilangan rasa ibu di rumah. Sementara aku lebih suka menikmati masakanku sendiri, melahapnya di dapur sambil mengenang koki terbaikku.
Aku mengambil potongan-potongan bambu dari gudang, lalu meletakkannya di bawah pohon mangga harum manis di halaman. Di bawah pohon mangga ini adalah tempat paling teduh untuk bekerja. Pohon mangga ini sudah berusia 13 tahun, batangnya kokoh setinggi 6 kaki dengan daun tunggal yang tersebar di seluruh cabang pohon. Di setiap musimnya pohon ini sangat rajin berbuah, buahnya juga sangat manis. Ah ini pohon kebanggaan istriku. Oh, di bawah pohon kebanggaannya tubuh istriku dulu dimandikan sebelum dibawa ke sema. Ah aku tidak mau banyak mengingatnya.
Di bawah pohon ini sebelumnya aku telah menggelar tikar plastik, dan menyiapkan perkakas. Gergaji, pahat, siku-siku, ketam, palu, paku, sampai batu asahan sudah siap di atas tikar. Hari ini aku mau membuat tong sampah dari bambu. Ini pesanan bapak guru SD 500 meter dari rumahku. Katanya untuk persiapan akreditasi. Tiga hari lalu ia datang membawa 24 pesanan tong sampah. Dia meminta tong sampah ini nanti dicat warna, merah, kuning, dan hijau. Warna hijau untuk tong sampah organik, warna kuning untuk tong sampah anorganik, dan merah untuk tong sampah daur ulang. Aku hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasan bapak guru itu, bagiku apapun pesanan konsumen tidak jadi masalah asalkan harganya sesuai.
Hanya membuat kerajinan macam ini yang masih bisa kulakukan. Aku sudah tidak lagi bisa mengambil pekerjaan yang berat seperti dulu. Aku tak lagi mengambil borongan membangun rumah, membuat bale banjar, atau membuat sanggah. Bukan hanya karena faktor usia, tapi juga beberapa penyakit yang membuatku semakin lemah. 3 tahun lalu aku menjalani operasi glaukoma di mata kiri dan operasi kornea dan katarak di mata kanan. Glaukoma yang kuderita disebabkan oleh kerusakan saraf mata karena meningkatnya tekanan pada bola mata. Hal ini terjadi akibat gangguan pada sistem aliran cairan mata.
Awalnya aku sering merasakan gejala penglihatan kabur, nyeri pada mata, hingga sakit kepala. Setelah operasi aku merasa cukup baik namun tetap tidak bisa melihat sejelas dahulu. Bahkan beberapa bulan terakhir mataku kembali parah. Kata dokter spesialis mata yang kukunjungi untuk kontrol setiap bulan, aku harus segera menjalani operasi kembali, jika tidak aku bisa terancam buta.
Saat itu di ruang periksa yang dingin, seorang dokter spesialis mata senior memeriksa mataku dengan seksama. Kalimatnya sangat lembut, “ Bapak harus segera operasi, nggih. Nanti akan dibuatkan jadwal.” Kakiku dingin, tanganku dingin, tubuhku bergetar, kalimat lembut dan sopan itu membuatku rapuh. Aku memegang tangan putriku lalu menangis, kali ini ia terkejut dengan reaksiku yang berlebihan. Ia menyenggol kakiku, memberi tanda agar aku segera diam. Ia tampaknya malu pada ibu dokter dan 2 orang perawat mata di ruangan itu.
“Tidak perlu menangis Pak, nanti kalo Bapak tidak segera operasi, nanti mata Bapak makin parah. Penglihatan Bapak memang tidak akan lebih baik, tapi paling tidak kami berusaha mempertahankan penglihatan bapak agar tidak sampai buta. Kan Bapak sudah pake BPJS jadi tidak perlu mengkhawatirkan biaya.” Seorang perawat mencoba menenangkanku. Aku tidak mencoba menjelaskan tangisku, aku menarik nafas sangat panjang. Aku hanya lelah, sangat lelah. 3 operasi mata sebelumnya cukup menyakitkan, selebihnya aku tidak memiliki banyak motivasi untuk operasi lagi. Sesungguhnya aku ingin istirahat sangat panjang. Di sepanjang perjalanan pulang aku tidak banyak bicara, aku hanya memegang erat tetes mata timolol dan travoprost yang kudapat gratis dari rumah sakit.
Ini hari kedua puluh sembilan di Bulan April, pukul 15.05 Wita, masih di bawah pohon mangga, aku sudah selesai membelah bambu menjadi potongan-potongan berukuran 35 x 2,5 cm. Aku meluruskan kedua kaki. Ada benjolan di jempol kaki kanan yang makin membesar. Selain glaukoma, kadar asam urat di tubuhku sangat tinggi. Setelah bertahun-tahun menderita asam urat dan merasakan kambuh-sembuhnya, kristal asam urat sudah membentuk benjolan di bawah kulitku. Benjolan itu tidak sakit, tapi sering menimbulkan rasa tidak nyaman. Aku sudah makin terbiasa dengan rasanya.
Aku memandang ke sekeliling, sore ini sangat sepi. Dari pulang kerja, putriku mengurung diri di kamar, dan adikku mungkin sedang tidur siang. Aku menyenderkan kepala di batang pohon, aku memejamkan kedua mata, aku merasa sangat hampa.
“ Atu Aji….”
“ Atu…..”
Aku membuka mata, tiba-tiba aku sudah mendapati seorang perempuan muda duduk di depanku. Dadaku berdegup sangat kencang. Aku terkejut mendapati siapa yang tiba-tiba datang. Ia sangat cantik, sama seperti dulu. Tubuhnya lebih berisi, tapi tubuhnya masih sangat proporsional. Kulitnya masih sama, sawo matang, tapi kali ini tampak lebih bersih terawat. Wajahnya tampak lebih bulat, pipinya makin penuh. Sekali lagi, dia masih cantik, kemeja putih polos dan celana panjang berwarna abu-abu membuatnya tampak mempesona. Lidahku tercekat, tubuhku mematung. Ini kali pertama dalam hidupku aku tidak paham harus melakukan apa.
“Atu aji, titiang minta maaf.” Ia memegang kakiku, lalu beberapa menit kemudian kepalanya menyentuh kedua kakiku. Telapak kakiku basah oleh air mata. Aku masih diam mematung, aku bingung harus bereaksi bagaimana dalam situasi ini. Anak perempuanku pulang setelah 13 tahun yang panjang. Aku biarkan ia terisak di kakiku, sementara ingatanku melayang ke masa lalu.
Saat itu ia masih 23 tahun, ia bekerja sebagai guru negeri di sekolah dasar .Sebenarnya saat itu ia sedang dekat dengan seorang lelaki berusia 34 tahun bernama Gus Putra, anak dari seorang Pedanda Siwa dari Klungkung. Aku membanggakannya di mana-mana, putriku akan memiliki masa depan yang sempurna. Di usia 20 setamat kuliah D2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, ia langsung diangkat menjadi pegawai negeri, kemudian memiliki calon suami seorang Ida Bagus yang tampan dan mapan. Lelaki itu sudah 2 kali pernah ke rumah, aku menyukainya, tentu selain karena ia seorang Ida Bagus, ia berkharisma walaupun sedikit kaku saat berbincang.
Sebulan kemudian mimpi sempurnaku runtuh. Aku masih ingat jelas hari itu, minggu pagi, saat keluarga besar sedang berkumpul di rumah untuk persiapan upacara tiga bulanan ponakan kami, kelian banjar datang tergopoh-gopoh membawa sepucuk surat. Surat yang kemudian membuat istriku menangis lalu pingsan, surat yang kemudian membuatku malu di depan seluruh keluarga besar, surat yang kemudian membuatku marah besar dan mengeluarkan janji besar.
Ajik, Ibu, saya mohon maaf!
Saya tahu apa yang saya lakukan ini akan menyakiti keluarga, tapi ini adalah pilihan hidup saya. Saya mencintai Made dan akan memilihnya menjadi suami saya……
Anak kebanggangganku nyerod. Ia menikah dengan seorang lelaki biasa, teman semasa kuliahnya. Ternyata mereka telah menjalin hubungan selama 2,5 tahun. Aku merasa dibodohi, dicurangi, dipermalukan dan selanjutnya hancur. Beberapa keluarga mencoba menguatkanku, selebihnya mentertawakan kesombonganku. Selain menanggung malu pada keluarga di rumah aku juga kehilangan muka pada keluarga Gus Putra. Bisa dibayangkan betapa kompleks masalah yang ia bebankan pada kami orang tuanya saat itu. Aku bahkan memerlukan waktu hampir setahun untuk bangkit dan bisa menjalani hidup dengan normal.
Aku tidak sadar kapan Dayu Tut, anak bungsuku ke luar dari kamarnya. Aku mendapati ia memeluk kakaknya dengan sangat erat. Mereka menangis hebat. Sementara aku masih mematung, dadaku berdegup kencang, nafasku lebih cepat dari biasanya, tapi ini bukan amarah, ini rindu yang bertemu muara. Ya diam-diam dalam diam aku sangat merindukannya. Apalagi setelah kepergian ibunya, rasa hampa kehilangan istri membuatku lebih sering memikirkan dan merindukannya.
“ Jik, tolong maafkan Mbok Tu, ini sudah terlalu lama. Ajik sudah tidak lagi punya alasan untuk marah. Di geria ini Mbok Tu bukan satu-satunya yang nyerod. Yang lain sudah biasa pulang. Kemaren Pedanda Gede biasa bercanda dengan cucunya, anaknya Mbok Mang yang nyerod ke Beleleng. Ajik sudah tidak perlu merasa malu lagi pada keluarga besar. Titiang yakin tidak akan lagi yang mempermasalahkan ini.” Putri bungsuku, memegang tanganku sambil menangis tersedu. Kata-katanya benar, di geria kami perkara nyerod bukan lagi perkara luar biasa seperti 13 tahun lalu. Waktu sudah berubah, banyak batasan yang hilang perlahan, termasuk pandangan tentang memilih pasangan hidup.
Aku menarik nafas panjang. Dadaku tiba-tiba terasa lega, seolah batu besar yang selama ini mengganjal jalan nafasku melenyap. Aku menitikkan air mata. Ini air mata bahagia seorang ayah yang akhirnya bertemu putrinya setelah 13 tahun yang panjang. Aku membuka kedua tanganku dengan lebar, isyarat memintanya beranjak dari kakiku, aku mau ia memelukku.
Pelukan ini rasanya sama seperti yang kurasakan saat aku memeluk bayi pertamaku 36 tahun lalu. Aku tidak berucap apapun, sementara sambil terisak, ia mengucap maaf berkali-kali, dan aku menggangguk berkali-kali pula. Kami menangis bersama, lalu lega bersama.
Setelah berhasil menenangkan diri, kami melepaskan pelukan. Aku menatapnya lekat. “ Selamat ulang tahun nak….” Ini kalimat pertama yang berhasil kuucapkan. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Entah untuk alasan apa, di antara 365 hari lainnya, Tuhan memilihkan tanggal 29 April utuk mencatat dua perkara penting dalam hidupku; 30 tahun kemudian istriku meninggal tepat di hari ia melahirkan putri pertama kami. Tubuh putriku bergetar hebat, aku paham apa yag ia rasakan. Aku biarkan ia menangis lagi, sekeras yang ia mau, lalu membenamkan wajahnya di pelukan gadis kecil yang sedari tadi berdiri di antara kami.
Ini hari kedua puluh sembilan di Bulan April, pukul 20.05 Wita. Kami semua duduk di beranda. Aku memakai pakaian paling bersih yang aku punya baju kaos abu-abu dan kamen sarung kotak-kotak berwarna coklat tua. Di pangkuanku menggelayut manja gadis cantik berumur 8 tahun. Ini cucuku. Selain mirip secara fisik, bocah ini juga mewarisi benar sifat ibunya, pemberani namun supel. Baru 3 jam kami saling mengenal sebagai kakek dan cucu, tetapi ia sudah mampu meluluhkanku, bahkan aku hampir tidak mau melepasnya semenit pun. Aku menciumnya , memeluknya, dan membelai rambutnya berkali-kali.
Ia mulai tampak mengantuk, aku mengangkat seluruh tubuhnya ke pangkuanku. Kepalanya bersandar di tangan kiriku. Di posisi ini aku bisa dengan seksama memandang wajah polosnya. Rambutnya lurus hitam kecoklatan, bola matanya besar dan bening, dagunya runcing, ada belahan di tengahnya. Ia balik menatapku lalu tersenyum lebar, dua lesung pipi tampak jelas di pipinya. Ia sangat mempesona, sejenak aku lupa hari ini adalah hari kehilangan besar. Aku seketika menemukan alasan untuk menjalani operasi mata ke empatku. Aku tidak mau buta. Aku ingin pandanganku jelas agar tetap bisa menatap kedua mata bening ini.
Gadis kecilku menguap berkali-kali, aku tersenyum bingar lalu mulai berdendang pupuh maskumambang dengan suara paling merdu yang aku punya.
Kemu laku
Ditu ade gedong cenik
Bersih wau pragat
Sang kalih raris ngeranjing
Saget ngenah gegambaran
Anak jegeg
Metimpal ye bagus genjing
Solah anut pisan
Rarase nganyudang ati
Kadi Ratih lan semara
Ini hari kedua puluh sembilan di Bulan April, di bawah pohon mangga, istriku berdiri dengan kebaya berwarna merah marun. Ia tersenyum, kali ini senyumnya manis, sangat manis.
Selumbung, Oktober 2019