Tiga nama yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah alias Sekda di Pemkab Buleleng sejak dimulainya zaman reformasi, adalah Ketut Arda, Dewa Ketut Puspaka dan Gde Suyasa. Suyasa sendiri menggantikan Puspaka pada Senin, 2 Maret 2020. Sementara Arda menjabat Sekda pada awal-awal pemerintahan Bupati Bagiada sekitar tahun 2002. Arda kemudian digantikan oleh Gelgel Ariadi. Dan Dewa Puspaka menggantikan Gelgel Ariadi.
Di zaman reformasi yang sudah berjalan sekitar 20 tahun ini, Kabupaten Buleleng memiliki dua Bupati yang sama-sama menjabat selama dua periode, yakni Putu Bagiada dan Agus Suradnyana. Artinya, dari dua Bupati itu, terdapat empat kali suksesi Sekda dengan empat pejabat definitif, yakni Arda, Gelgel Ariadi, Dewa Puspaka dan Gde Suyasa. Dari empat itu, tiga nama adalah pejabat asli Buleleng yang datang atau didatangkan dari Denpasar.
Arda dan Puspaka sebelumnya tinggal di Denpasar karena berkarir di Pemprov Bali. Sementara Suyasa saat itu menjadi guru di SMAN 6 Denpasar. Ketiganya pulang ke Buleleng pada awal-awal pemerintahan Bupati Bagiada. Sebenarnya ada sejumlah pejabat lagi yang pulang dan melanjutkan karir jadi birokrat di Pemkab Buleleng, namun hanya tiga nama itu saja yang pada akhirnya jadi Sekda.
Salah satu pejabat lain, Anak Agung Ngurah Kusa, yang sebelumnya jadi pejabat penting di Pemkab Badung pada zaman pemerintahan Bupati Cok Ratmadi, juga pulang kampung ke Buleleng. Namun puncak karir Anak Agung Kusa di Pemkab Buleleng hanya sampai pada Asisten Sekda sebelum akhirnya ia pensiun.
Perubahan Kekuasaan Politik
Perlu dijelaskan bahwa tulisan ini bukanlah bentuk dari ketidaksetujuan ketiga pejabat itu menjadi Sekda di Buleleng. Karena ketiganya harus diakui memang sebagai pejabat-pejabat unggul yang kepemimpinannya sudah teruji. Di sisi lain, tulisan ini tidak juga untuk mengesampingkan pejabat-pejabat yang sejak awal berkarir di Pemkab Buleleng, mulai dari zaman Orde Baru hingga bergeraknya zaman reformasi. Ini ditulis, dengan segala kerendahan hati dan segala kekurangannya, hanya sebagai refleksi dan sebagai pengetahuan sederhana tentang perkembangan politik yang memberi nuansa juga pada perkembangan sistem kepemimpinan di wilayah birokrasi.
Sebagaimana diketahui, runtuhnya Soeharto dengan pemerintahan Orde Baru-nya, sekaligus terbangunnya pemerintahan baru dalam Orde Reformasi, mulai tahun 2000-an, membawa perubahan besar dalam dunia politik yang tentu juga memberi pengaruh politik juga pada sistem jabatan dan kepemimpinan di tubuh birokrasi, terutama di wilayah lokal, tingkat provinsi maupun kabupaten, termasuk juga di Bali.
Pada zaman Orde Baru, di mana Golkar sebagai peserta pemilu yang jadi pemenang dari pemilu ke pemilu, punya kuasa yang besar, termasuk dalam penentuan kepala daerah dan pejabat-pejabat birokrasi di tingkat kabupaten. Pada saat itu, seorang pemimpin seakan-akan ditentukan oleh kekuatan besar — yang entah di mana sumber dan pusat kekuasaan itu, mungkin murni bersumber dari kekuasaan Golkar sebagai pemenang pemilu, mungkin juga dari kekuasaan birokrat yang bermukim di pusat pemerintahan di ibukota, mungkin bersumber dari kolaborasi antara kekuasaan politik, birokrat, pengusaha atau organisasi masyarakat yang di dalamnya tak jarang juga diisi penguasa dan pengusaha.
Bahkan, saat itu, mungkin Bupati pun tak tahu-menahu, dan tak kuasa menolak, ketika tiba-tiba ada “kiriman” pejabat dari pusat atau dari daerah lain, atau dari provinsi, untuk ditempatkan di kabupaten. Karena bupati pun termasuk dalam sistem perekrutan/pemilihan/penentuan yang tak jauh beda. Di zaman Orde Baru, bupati atau gubernur, memang dipilih DPRD yang merupakan perwakilan dari rakyat, sesuai amanat demokrasi. Namun calon yang “harus” dipilih sesungguhnya sudah ditentukan oleh “kekuatan besar”, entah di mana sumber dan pusat kekuasaan itu. Semuanya seperti terjadi begitu saja, dan yang tak tahu menahu harus pasrah dan menganggap hal itu memang seharusnya seperti itu.
Makanya, Bupati, meski dipilih oleh DPRD kabupaten, bisa saja datang dari luar kabupaten, bahkan luar Bali. Kabupaten Tabanan misalnya, pernah punya bupati yang berasal dari Buleleng, Karangsem, Badung, bahkan dari luar Bali. Pejabat lain, semacam kepala dinas hinga Sekda, juga banyak datang dari kabupaten lain, dan biasa dimutasi dari satu daerah ke daerah lain, dari satu provinsi ke provinsi lain, dari satu kabupaten ke kabupaten lain. Artinya, pejabat tinggi di satu kabupaten tak harus lahir dan berasal dari kabupaten itu, ia bisa datang dari luar kabupaten bahkan luar provinsi.
Jadi, di zaman Orde Baru, banyak kabag, kabid, atau kepala dinas, di Pemkab Buleleng berasal dari Tabanan, Negara, Badung dan kabupaten lain di Bali. Banyak juga pejabat di Pemkab Tabanan, Pemkab Badung, dan Pemkab Jembrana berasal dari Buleleng. Begitu juga di kabupaten lain. Bahkan untuk pejabat sekelas camat, di zaman itu, banyak juga “diimpor” dari daerah lain, atau didatangkan dari Pemerintah Provinsi yang saat itu bernama Pemerintah Daerah Tingkat I. Misalnya, dulunya jadi ajudan Gubernur, tiba-tba bisa saja dikirim untuk jadi camat di Gerokgak.
Di zaman reformasi, undang-undang dan sistem politik berubah. Apalagi kemudian dilengkapi dengan undang-undang otonomi daerah, di mana pemerintah daerah dibolehkan mengurus sendiri pemerintahannya di daerah. Gubernur, walikota dan bupati, sesuai undang-undang, dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena dipilih rakyat di daerah itu, maka kepala daerah hampir dipastikan akan berasal dari daerah itu sendiri, meskipun dalam peraturan dan undang-undang tidak disebutkan bahwa bupati harus lahir, berasal, atau ber-KTP dari daerah itu sendiri.
Bersandar pada semangat otonomi daerah, memang amat tak salah jika kepala daerah lahir atau berasal dari daerah itu sendiri, meski misalnya ia tinggal di Jakarta atau di luar negeri. Logikanya mungkin sederhana, pemimpin dari daerah sendiri tentu punya tanggungjawab besar untuk membangun tanah-air tempat ia lahir. Dengan begitu maka Bupati Buleleng berasal dari Buleleng, Bupati Tabanan adalah orang Tabanan, Bupati Jembrana adalah orang Jembrana.
Dengan begitu pula, dalam setiap Pemilu selalu muncul wacana “putra daerah”, yang artinya pemimpin lahir di daerah itu sendiri. Putra daerah dianggap lebih punya peluang untuk bisa dipilih oleh rakyat di daerah itu sendiri. Lagi-lagi ini bukanlah situasi dan kondisi yang salah, apalagi putra daerah-nya memang top, hebat, mantap dan memang layak jadi kepala daerah. Secara jualan politik, “putra daerah” seakan-akan jadi suatu keharusan, meski secara undang-undang politik hal itu bukanlah suatu kemestian.
Namun wacana “putra daerah” di wilayah politik, ternyata juga menular ke sistem penjaringan pemimpin di wilayah birokrasi. Muncul pemikiran bahwa kepala dinas dan sekda pun seakan-akan dimestikan untuk diisi oleh “putra daerah”. Semangat otonomi daerah, di mana pemerintah daerah berhak mengatur sendiri pemerintahan di daerah, seakan-akan memberi ruang lebih luas kepada kepala daerah untuk juga menentukan siapa yang sebaiknya menjadi pejabat di daerah itu.
Di Tabanan misalnya, pada awal-awal kepemimpinan Bupati Adi Wiryatama, jabatan Sekda diisi IGM Purnayasa. Sebelum jadi Sekda Tabanan ia adalah pejabat penting di kabupaten lain di Bali. Purnayasa yang orang Tabanan asli itu dipulangkampungkan ke Tabanan tentu karena dianggap sebagai putra daerah yang unggul, yang diharapkan membangun kabupaten tempat kelahiran ketimbang berkarir di daerah lain.
Mungkin dengan pikiran seperti itu juga, Bupati Putu Bagiada dan Wakil Bupati Gede Wardana pada awal-awal pemerintahannya di Pemkab Buleleng memulangkampungkan sejumlah putra daerah yang dianggap unggul, yang saat itu masih berkarir di luar Buleleng. Pulanglah kemudian sejumlah putra daerah ke Pemkab Buleleng. Dari sejumlah itu, tiga pejabat tampak menonjol hingga akhirnya menjadi pucuk pimpinan di kalangan birokrat di Pemkab Buleleng, ya mereka itu tadi, Ketut Arda, Dewa Puspaka dan Gde Suyasa.
Puspaka dan Suyasa
Dilihat dari gerak dan kinerja kebirokratan, tiga pejabat itu memang membuktikan diri sebagain pejabat yang layak pulang untuk membangun daerah tempat mereka lahir. Arda sempat menjadi Kepala Dinas Pertanian sampai kemudian mengakhiri karirnya di kursi Sekda. Arda kemudian digantikan Gelgel Ariadi yang memang sejak awal berkarir sebagai birokrat di Pemkab Buleleng.
Khusus Puspaka dan Suyasa, meski pada akhirnya menjadi Sekda juga, tangga karirnya di Pemkab Buleleng sepertinya tak dilalui dengan mudah. Banyak orang mengira, dua pejabat ini akan tersingkir dari persaingan karir di lingkungan birokrasi, setelah Bupati Bagiada turun tahta digantikan Bupati Putu Agus Suradnyana dan Wabup Nyoman Sutjidra. Tapi nyatanya tidak. Mereka berdua tetap bisa mempertahankan kemenonjolannya sebagai birokrat meski didera berbagai isu dan desas-desus politik, terutama saat-saat Pilkada.
Dewa Puspaka mengawali pulang kampungnya sebagai staf ahli Bupati di zaman Bupati Bagiada, lalu menjadi Plt. Kepala Bappeda, lalu Kepala Bappeda, Asisten Sekda, lalu menjadi Sekda hingga pemerintahan dipegang Bupati Agus Suradnyana. Setelah pensiun, seperti diberitakan secara sukacita, Puspaka digantikan yuniornya, Gde Suyasa.
Gde Suyasa yang asli orang Tejakula, banyak orang tahu, tidak mendapatkan posisi Sekda dengan mudah. Dalam berbagai jabatan yang pernah didudukinya, seperti Kabag Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, lalu ke Kepala Dinas Pendidikan lagi, lalu ke jabatan Asisten Sekda, ia selalu dengan gigih membuktikan diri bahwa ia memang layak pulang kampung untuk membangun daerahnya sendiri, bukan merebut jabatan dengan berbagai kemudahan-kemudahan.
Posisi Sekda bukan direbutnya, melainkan didapat dengan persaingan penuh sebagai seorang birokrat yang mengabdi pada negara. Berbeda dengan Arda dan Puspaka, di mana jabatan Sekda didapat dengan penunjukkan sesuai pertimbangan pangkat dan jabatan, Suyasa mendapatkan jabatan Sekda melalui seleksi terbuka. Ada empat pejabat yang ikut seleksi, dan Suyasa mendapat nilai tertinggi. Sehingga ia akhirnya dilantik jadi Sekda.
Sebelum tulisan ini ditutup, sesungguhnya ada pertanyaan yang sangat mengganjal dalam tulisan ini. Apakah pejabat-pejabat yang sudah berkarir dan mengabdi di Pemkab Buleleng sejak zaman Orde Baru bukan pejabat yang unggul? Apakah karena beberapa dari mereka itu bukan “putra daerah” sehingga karirnya tidak mulus bahkan tercecer dan akhirnya macet hingga di jabatan kepala dinas atau Asisten Sekda?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulan yang sesungguhnya menjadi inti dari tulisan ini. Bahwa berubah-ubahnya kekuatan politik , yang mengubah juga berbagai aturan dan undang-undang, membawa perubahan besar pula dalam sistem birokrasi di pemerintahan, termasuk dalam penentuan jabatan birokrat. Ini paradok, karena pejabat birokrat di lingkungan pemerintahan secara terus-menerus diingatkan bahwa mereka tak boleh berpolitik praktis, tapi di sisi lain ia harus pasrah menerima imbas dari keputusan orang-orang politik. Tak boleh berpolitik tapi tak bisa menghindar dari imbas politik, bukankah itu kondisi yang bikin gerah dan bikin gelisah?
Jadi, kesimpulannya, pejabat birokrat di kantor pemerintahan, terutama di pemerintahan daerah, yang unggul, adalah pejabat yang memang unggul dalam berbagai bidang ilmu, unggul dalam bidang kepemimpinan, unggul dalam ide, gagasan dan pemecahan persoalan, plus unggul dalam strategi menghindar dan lolos dari nasib sial yang dibawa oleh angin politik praktis. Puspaka dan Suyasa mungkin bisa disebut sebagai dua contoh untuk itu. [T]