Rainanatau hari penting yang menandai Galungan sudah dekat adalah Tumpek Pengatag. Sejak hari ini galungan terhitung lagi 25 hari. Bertepan dengan Tumpek Pengatag atau Tumpek Pengarah, yang juga disebut Tumpek Bubuh dan Tumpek Uduh, merupakan tumpek dengan sebutan paling beragam, Dane Sanghyang Galungan dan Dewata Dewati kembali ke desa dan keluarga ketika mereka masih hidup.
Tidak jelas, siapakah yang dimaksud Dane Sanghyang Galungan. Dewata Dewati adalah orang-orang yang sudah mulih ke desane wayah. Mereka hidup di suatu negeri yang disebut Kedewatan. Mungkin Dewa tertinggi mereka di sana adalah Dane Sanghyang Galungan.
Dewata Dewati berada di desa asal mereka sampai pada Sabtu tengah malam. Di sinilah perayaan Galungan berakhir yang disebut dengan ulian. Mungkin ada kaitannya dengan mulih atau kembali.
Galungan tidak ada hubungan dengan perayaan kemenangan darma melawan adarma. Makna ini tidak populer (di desa saya). Galungan adalah reuni antara keluarga yang sudah meninggal dengan yang hidup. Galungan menjadi pesta babi, jajan, dan buah. Galungan adalah reuni untuk melepas kangen.
Karena sebuah reuni maka perlu dirayakan dengan pesta. Galungan identik dengan kegembiraan. Menu penting pada pesta ini adalah daging babi. Pesta Galungan telah melahirkan berbagai jenis menu berbahan daging babi. Banten Galungan bukan simbolik tetapi suguhan atau makanan yang disajikan di atas dulang. Juga dilengkapi dengan minuman, rokok, dan kinangan. Inilah yang membedakan banten Galungan dengan banten pada umumnya.
Persembahyangan ke sanggah dan pura adalah persembahyangan bersama keluarga yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Saat reuni pada hari Galungan Dewata Dewati pun tetap ingat dengan sanggah atau pura-pura di desa ketika mereka masih hidup. Maka saat reuni Galungan mereka kembali lagi bersembahyang. Karena itulah pada hari raya ini saya, istri, dan anak bersembahyang ke sanggah atau ke pura desa dan pura dalem. Ini bukan hanya persembahyangan untuk kami yang hidup tetapi juga bersama seluruh keluarga yang sudah meninggal.
Pada Sabtu wuku Galungan, dipersiapkan aneka bekal bagi Dewata Dewati yang akan kembali ke Kedewatan. Waktu reuni sudah habis. Berbagai makanan yang awet disipkan, seperti ketupat dan entil, daging babi kering, sebagai bekal di perjalanan itu. Juga disiapkan sayur-mayur, daging, jajan (mentah), beras, dan uang.
Pada tengah malam dingin menusuk tulang, di hari Sabtu (wuku Galungan) untuk bersembahyang bersama dengan Dewata Dewati atau keluarga yang sudah meninggal, untuk melepas kembalinya ke Kedewatan.
Demikianlah makna Galungan bagi (bagi saya). Sederhana. Sedikit rumit karena mempertemukan dua dimensi waktu dan ruang. Tapi hal ini mudah dilakukan karena homo sapien memiliki keunggulan: imajinasi. [T]