Masyarakat Bali saat ini membaca fenomena pelinggih yang bersanding dengan kloset sebagai hal yang “sesat”. Sesat itu ada pada ranah rasa.
Itu antara lain yang dikatakan mantan Pembimas Hindu Yogyakarta yang juga dosen di STAHN Mpu Kuturan, Ida Bagus Wika Krisna S.Ag, M.Si. dalam diskusi yang digelar Jurusan Brahma Widya, STAHN Mpu Kuturan Singaraja, di kampus Jalan Kresna Singaraja, Senin 10 Februari 2020.
Ida Bagus Wika menyebut jika Agama Hindu sejatinya adalah agama yang bertumpu pada rasa, tidak doktriner, fleksibel sesuai dengan desa, kala, patra.
Namun, jika dikaitkan dengan fenomena Pelinggih dan Kloset, hal itu tidak dapat di-judgement salah atau benar. Hanya saja, dirinya menegaskan bila fenomena itu adalah sesuatu hal yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditetapkan, yang telah disepakati. Landasan konsep yang sudah disepakati dan kemudian menjadi kepercayaan masyarakat.
“Masyarakat cenderung menganggap salah sesuatu hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan rasa-nya yang tidak sepaham. Pemahaman pelaksaan keagamaan masyarakat Hindu sejatinya harus dikembalikan pada Darsana, Nyaya Darsana,” jelasnya.
Pihaknya berharap, masyatakat di Bali lebih bijak melihat fenomena ini. Terlebih, Agama Hindu selalu mendahulukan wiweka. “Sehingga bisa menimbang baik dan buruk dari sebuah persoalan,” pungkasnya.
***
Fenomena pelinggih bersanding kloset memang sempat menghebohkan masyarakat di Bali dan beberapa kali diberitakan di media massa di Bali. Fenomena inilah yang kemudian diangkat menjadi topik dalam diskusi di STAHN Mpu Kuturan Singaraja itu.
Selain Ida Bagus Wika, dihadirkan juga pembicara Plt Ketua PHDI Buleleng, Dr. I Gede Metera, M.Si, dan Putu agus Panca Saputra selaku penekun spiritual.
Diskusi yang dipandu oleh Ketua Peradah Bali, KA. Widiantara inipun berlangsung hangat. Tak hanya dihadiri mahasiswa, diskusi ini juga menarik perhatian sejumlah mayarakat yang ingin mendapat penjelasan terkait fenomena yang hangat dibicarakan di media sosial ini.
Dalam penjelasannya, Gede Metera menyebut jika masyarakat Bali sejatinya sudah memiliki pemahaman tentang konsep Tri Mandala sejak abad IX. Perkembangan kehidupan masyarakat yang berkembang, semakin menyempitnya lahan yang dimilik.,
Lambat laun, menyebabkan masyarakat mulai melakukan perubahan pengaturan-pengaturan terhadap wilayah Tri Mandala. masyarakat sebut Metera mulai mengintegrasikan beberapa aspek infrastruktur seperti kamar dengan toilet. Proses integrasi ini dapat diterima karena tidak memasuki ranah keagamaan dan ketuhanan.
Masyarakat pun secara rasa dan kesadaran keagamaannya telah mampu memilah dan membedakan aspek-aspek spiritual atau benda-benda suci diletakkan pada wilayah-wilayah utama mandala sebagai wilayah suci.
“Sehingga perasaan masyarakat Hindu Bali ketika melihat fenomena pelinggih yang bersanding dengan kloset akan merasa terganggu sampai penolakan secara individu berkaitan dengan ekspresi keagamaan yang dianggap salah,” ujarnya.
Lanjut Metera, pihaknya mengaku bangga dengan karakter masyarakat Hindu khususnya di Bali. Sebab, mereka telah ditanamkan bahwa kehidupan harmonis dan perdamaian adalah hal yang patut dijunjung tinggi. Sehingga penolakan-penolakan tersebut tidak memunculkan aksi kekerasan,“Jadi, Agama Hindu memiliki konsep suci dan bersih, diharapkan masyarakat Hindu Bali tidak menempatkan benda-benda yang tidak suci pada areal suci,” imbuhnya.
Sementara itu, Putu agus Panca Saputra selaku penekun spiritual menyebut jika Pedoman agama Hindu di Bali senantiasa berlandaskan Tattwa, Susila dan Acara. Menurtnya, segala hal mungkin akan benar ketika kita kaitkan hal tersebut dengan tattwa.
Namun terkait menyandingkan pelinggih dengan kloset akan salah jika dilihat dari sisi etika. Sejauh ini dalam membangun insfrastruktur di Bali senantiasa didasari atas Asta Kosala Kosali.
“Fenomena pelinggih-kloset katanya diterima setelah menrima pawisik. jadi jangan percaya sepenuhnya dengan pawisik. Karena Pawisik memiliki klasifikasi yaitu, pawisik yang muncul dari dunia atas, misalnya, Dang Hyang dan Pitara. Sedangkan pawisik yang muncul dari pawisik dunia bawah, yaitu sabda dari para butha,” jelsnya.
Agar tidak menelan mentah-mentah, pawisik itupun harus diklarifikasi kembali. Sruti dan Smerti, SIla, dan Atmanastuti. “Apapun yang berkaitan dengan agama itu seharusnya dimaknai dalam konteks sastra,” tutupnya. [T] [*][H.Mar]