SEMENJAK pengumuman seleksi administrasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), teman saya – sebut saja namanya Ari – jadi uring-uringan. Dia merasa gugup. Namanya masuk dalam daftar CPNS yang berhasil lolos dalam seleksi administrasi.
Ari gugup karena ada seleksi lainnya yang menanti. Seperti tes Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Kedua tes itu menjadi semacam pertarungan hidup dan mati bagi Ari.
Ari sebenarnya sudah punya pekerjaan lain sebagai karyawan swasta. Tapi, sejak menjalin hubungan dengan kekasihnya kini, ia mendadak begitu berhasrat menjadi PNS. Konon, calon mertua baru akan memberikan SIM (surat izin menikah) bila dia berhasil jadi PNS.
Maka, sejak namanya muncul dalam daftar kelulusan seleksi administrasi, Ari benar-benar merasa tertekan. Berbagai buku tentang seleksi CPNS, dia beli. Baik online maupun offline. Grup ruang belajar seleksi di salah satu media sosial pun ia ikuti.
Meski sudah mempersiapkan diri secara lahiriah, Ari masih merasa ragu. Ia merasa ada hal yang mengganjal. Maka, ia mulai melakukan perjalanan spiritual. Berdoa di tempat-tempat yang konon mustajab.
Ternyata ia masih merasa “kosong”. Ari pun mengeluh dengan penuh rasa putus asa. Ia merasa perlu memiliki jimat. Sehingga ia lancar dalam menjawab soal-soal saat seleksi nanti. Ari pun memohon agar diajak nangkil ke balian sakti mandraguna yang bisa meloloskan dirinya menjadi PNS.
“Kau kan tahu sendiri. Kalau aku tidak lulus jadi PNS, semua bisa berakhir. Aku bisa batal kawin. Eh, nikah. Ajak aku nangkil ke tempat balian kenalanmu itu,” rengeknya.
Ari tahu betul saya berteman dengan Agus, balian yang begitu tersohor karena kemampuannya dalam usada bali, usada bekung, maupun penerangan. Tapi sejujurnya, saya enggan mengatar Ari kesana. Maklum, Agus sedang full job.
Maklum, sejak seleksi administrasi CPNS diumumkan, banyak yang tangkil ke rumah Agus. Apalagi belakangan ini Agus sering mengeluh dirinya jarang istirahat, karena yang tangkil minta jimat kelulusan terlalu banyak.
“Apalagi waktu kajeng kliwon kemarin itu. Banyak sekali yang tangkil. Dari jam dua siang sampai jam empat pagi tidak putus-putus,” cerita Agus saat bersua dengan saya suatu ketika.
Sebagai salah seoran balian pilih tanding seantero Bali Utara, Agus sudah pasti dicari para pelamar CPNS. Tujuannya sudah pasti. Meminta agar jalan sebagai CPNS dimuluskan, tanpa halangan sedikit pun.
Soal kepiawaian Agus sebagai balian tak perlu diragukan lagi. Masalah hujan, sudah jelas dia pawangnya. Masalah asmara, ada lengis colek yang jadi jawabannya. Soal permohonan menjadi CPNS, ini lain lagi ceritanya.
Entah sudah berapa banyak CPNS yang datang tangkil ke rumahnya. Memohon agar dilancarkan saat seleksi. Sehingga bisa lolos sebagai PNS dan mengantongi Nomor Induk Pegawai (NIP) seperti yang diharapkan.
Pada hari-hari tertentu seperti purnama dan tilem, tak kurang dari 10 orang CPNS yang datang meminta doa. Itu belum termasuk hari-hari lain. Apalagi saat kajeng kliwon. Hari ini menjadi semacam high season bagi Agus saat praktik sebagai balian.
Singkat cerita, saya pun mengantar Ari tangkil ke tempat praktik Agus. Hari kajeng kliwon sengaja saya pilih, biar lebih afdol. Ternyata antreannya cukup panjang. Ada pula yang mengantre karena keluhan pamalinan maupun desti.
Saat kesana, saya minta Ari membekali diri dengan daun sirih, benang untuk mengikat uang, sebotol air yang sukla, serta pis kepeng yang tentunya masih sukla.
Akhirnya tiba giliran kami. Begitu masuk ke ruang praktik, Agus langsung bisa menebak. “Mau minta jimat lolos CPNS ya,” ujarnya. Ari pun hanya bisa mengangguk.
Dengan cepat Agus mengambil daun sirih yang sudah dibawa. Melipatnya menjadi ukuran kecil, dan mengikatnya dengan benang. Sekejap kemudian mulutnya komat-kamit membaca doa. Tak lama kemudian, daun itu diserahkan pada Ari.
“Bawa pas ujian. Taruh di dalam kantong. Jangan di kaos kaki, apalagi di dalam sepatu. Jangan dibawa ke kamar mandi,” pesan Agus.
Tapi, saat itu Ari tak langsung menerimanya. Ia justru mengajukan permintaan lain.
“Anu jro balian, kalau bisa jimatnya jangan seperti itu. Kalau bisa di pulpen atau di kartu ujian saja,” kata Ari seraya menyodorkan kedua benda itu.
Agus pun melotot. Barangkali dia berpikir, “cerewet sekali orang ini. Sudah minta jimat, sekarang minta biar ajiannya ditaruh di pulpen dan kartu ujian. Mana sesari-nya sedikit.”
Sambil mendegus, Agus akhirnya menerima kedua benda itu. Dengan cepat dia merapalkan doa dan mantra pada dua benda itu. “Sudah. Ini bawa pulang. Ingat jangan dibawa masuk ke kamar mandi,” pesan Agus lagi.
* * *
SEMINGGU setelah saya mengantar Ari tangkil ke tempat Agus praktik, kebetulan saya bersua dengan Agus di Singaraja. Saya bertanya, apakah doa-doanya soal rekrutmen CPNS mustajab? Bagaimana bila pasien yang datang ke sana tidak lolos.
Ternyata jawaban Agus sederhana. “Saya kan hanya bantu memfasilitasi. Bantu berdoa pada Tuhan. Kalau dia (pasien) tidak pernah belajar, ya tidak mungkin lolos. Semua itu tergantung kehendak Beliau,” ucapnya lagi.
Sambil bisik-bisik, saya kemudian bertanya pada Agus. “Gus, waktu ini saya suruh beberapa orang tangkil ke sana. Mungkin saja bawa sesari yang banyak. Apa tidak ada persenan untuk saya?”.
Ketika ditanya begitu, Agus bilang sudah pasti tidak ada persenan buat saya. “Kamu seperti tidak kenal saya. Mau saya celaka dengan terima sesari?” katanya dengan nada tinggi.
Saat itu saya baru sadar. Ternyata Agus adalah salah satu balian yang tidak boleh menerima sesari. [T]