Dingin malam di kota rantauan, Kota Singaraja, Bali, rasanya lebih lekat, lebih memeluk, dari biasanya. Ada rasa yang aneh, kangen dan rindu, juga letih. Anehnya lagi bintang-bintang seolah tampak sedang tersenyum pada semua orang. Bahkan sore tadi letihku pulih oleh sejuknya angin sehabis hujan.
Sebenarnya ada apa? Tiba-tiba bunyi HP memecah lamunanku. Pada layarnya tertulis “panggilan dari Emak”. Rupanya itu Ibu tercinta yang mengingatkan untuk sembahyang Cap Go Meh malam ini. Telepon dari Ibu tadi sekaligus menjawab kegalauanku. Benar saja, alam barusan berusaha menegur keacuhanku dengan segala kebaikannya.
Tibalah aku pada Malam ke 15 (Cap Go Meh), Sabtu 8 Februari 2020, pertanda Imlek tahun ini telah usai. Imlek kesekian yang kulewatkan tanpa duduk semeja dengan keluarga besar, makan Mie Sua (Mie tipis dan halus khas kaum TiongHua yang melambangkan umur panjang) dan hidangan khas rumah yang kuidam-idamkan, menghabiskan kue keranjang buatan Ibu, turut serta kue-kue Imlek di rumah yang alhasil buat keluarga kebingungan setiap ada yang bertamu. Sisanya bisa ditebak. Masih sebatas andai-andai untuk pulang dan berkunjung kerumah keluarga dan tetangga untuk memanen angp— maksud saya untuk sekadar silahturahmi, ngumpul dengan kawan-kawan, nonton bareng, foto-foto, dan mungkin selebihnya main tiktok bareng, hehe, kurang lebih begitu trend Imlek tahun ini.
Rasanya begitu malas untuk merayakan Imlek ini jika tidak berkumpul dengan keluarga di kampung halaman, namun tetap saja di dasar hati ada semacam dorongan yang membuat diri terus meng-ada-kan alasan agar tetap merayakannya. Entah karena telah menjadi kebiasaan sejak dulu, sebagai wujud syukur atas segala karunia-Nya sepanjang tahun, sekadar menghilangkan jenuh, mencari teman baru, atau bahkan gengsi. Yang mana pun tidak jadi masalah sepertinya, toh berkat alasan yang abstrak tadi aku akhirnya berhasil merayakan malam Imlek di Klenteng Ling Gwan Kiong, Eks Pelabuhan Singaraja, Bali, ditemani oleh beberapa kawan yang kebetulan ingin tahu banyak dengan tradisi Imlek ini.
“Jeng jeng jeng jeng jeng jeng jeng jeng jeng jeng jeng”, saat itu tepat kami memasuki area parkir klenteng, langsung jelas terdengar bunyi genderang nyaring berasal dari balik keramaian orang berbaju dominan merah, terlihat juga beberapa anak kecil dipangku diatas bahu orang tuanya, beberapa lagi terlihat mencari-cari celah masuk ke barisan terdepan. Seolah tak sabar lagi, langsung kami parkir kendaraan dan bergegas mendekati kerumunan dengan bunyi yang tak asing tadi. Ternyata tidak mudah untuk melihat yang terjadi dibalik benteng-benteng merah ini, kami harus menahan jinjitan kaki dan leher sekaligus, sambil curi-curi celah untuk perlahan masuk ke barisan terdepan.
Empat Barongsai masing-masing berwarna merah, putih, kuning, dan hitam, beserta tim penabuhnya ternyata menjadi dalang dibalik kerumunan tadi. Setiap aksi energik mereka semisal melompat tinggi, salto, berguling, hingga berlagak menggemaskan bak anak singa, membuat kami dan masyarakat lainnya terhibur dan bahagia. Malam pun seakan malu berpapasan dengan indahnya kelap kelip cahaya di dahi Barongsai. Momen itu tak lupa kurekam dengan kamera HP-ku, siapa tahu suatu hari nanti ada yang bisa kutunjukkan sambil berbincang tentang masa depan dengannya. Hmm.
Selesai menikmati pertunjukkan Barongsai, aku pun mengajak kawan-kawanku masuk ke dalam Klenteng untuk melihat-lihat dan juga ikut sembahyang jika mereka bersedia. Begitu masuk ke dalam Klenteng yang dibangun sekitar tahun 1873 ini kita akan disambut oleh kolam ikan dengan bunga teratai yang indah, jembatan berwujud naga, tembok-tembok yang dimural menggambarkan berbagai karakter dewa, arsitekturnya yang megah, kesemuanya semakin memperkaya suasana Klenteng ini. Tidak kalah ramai dengan kerumunan sebelumnya, suasana di dalam Klenteng juga terasa sesak dan bergairah di waktu yang bersamaan. Masyarakat yang datang dari segala penjuru Buleleng memadati ruang altar, ada yang duduk bersama keluarga masing-masing sambil melahap kudapan yang disediakan, ada pula yang hanya saling tatap tak berani ucap.
Setelah mengantri untuk masuk ke ruang altar, akhirnya giliran kami untuk mengikuti proses persembahyangan. Ada yang amat menarik perhatian selama di dalam ruang altar. Bukan asap tebal dupa yang mengiris mata, bukan patung dewa-dewi dengan ragam rupa nya, bukan juga cat warna merah dengan aksen emas yang menutupi seluruh tembok bangunan, apalagi gadis berparas manis di sudut altar, bukan itu.
Selain semua keidentikan TiongHua yang kental tadi, ada nilai-nilai akulturasi yang amat kuat terlihat di altar Klenteng ini. Salah satu buktinya, kita dapat menemukan canang sari sebagai salah satu unsur budaya Bali yang dihaturkan memenuhi meja altar di dalam klenteng ini. Canang sari telah menjadi sarana upacara yang wajib ada, dibarengi dengan dupa (hio). “Canang sari sendiri dalam budaya Bali dianggap sebagai simbol rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa” jelas salah satu kawan yang kuajak, yang kebetulan juga beragama Hindu. Secara historis dan budaya memang terlihat banyak kemiripan antara budaya di Bali dan TiongHua. Mungkin ini yang membuatku selalu merasa seperti berada di rumah.
Belum selesai mengapresiasi segala kekayaan tadi, telingaku sudah digoda oleh gemuruh syaduh suara gamelan gong suling dan angklung yang berasal dari luar ruang altar persembahyangan. Benar saja, bunyi-bunyi menghauskan itu datang dari halaman klenteng, tepatnya di sisi kiri dan kanan jembatan naga. “Di klenteng, ada barongsai, ada canang, ada pelinggih, ada lagi gamelan” pikirku heran lantas terkagum-kagum.
Rasanya lebih tepat kupakai momen ini untuk mengucap syukur kepada semesta yang mengubur kesendirianku di malam Imlek dengan memori-memori atas kemewahan ini. Kami habiskan sisa malam Imlek di klenteng tadi sambil mengamati para penabuh beraksi memainkan instrumen masing-masing. Iringan para penabuh kian menambah hype Imlek malam itu. Malam hangat itu seolah enggan berlabuh, sebelum akhirnya kembang-kembang api itu membakar dirinya berkali-kali, menari bersama bintang-bintang, kemudian membungkukkan diri dan jatuh ke pangkalan ubun.
“Hallo? hallo??!”, kali ini nadanya begitu tegas dan garang, suara dari HP ku rupanya, itu telepon dari Ibu yang belum kumatikan. Siapa sangka alarm Ibu membuatku merenungi Imlek-ku belakangan. Akhirnya kututup telepon sambil memberi janji-janji manis, “Iya Mak, tahun depan semoga bisa imlek-an, capgomeh-an bareng, dan bagi angpao langsung.”
Selamat merayakan Galungan Cina 2020 dan Capgomeh untuk semua keluarga dan sahabat, senantiasa bahagia dan rukun harmonis. [T]