Sudah beberapa pekan saya tinggal di Kampung Inggris Pare-Kediri, Jawa Timur. Aktivitas sehari-hari saya habiskan hanya untuk les Bahasa Inggris, mulai dari jam 07.00-5.30 WIB, dengan jadwal belajar yang sangat padat dan hanya mendapatkan jatah istirahat di siang hari, membuat saya merasa jenuh dan membosankan terlebih stress menghadapi pelajaran.
Tanpa rencana apapun, akhir pekan yang biasanya saya hanya gunakan untuk beristirahat—yaitu membalas dendam kepada hari senin-jumat dengan tidur sepanjang hari, lama-kelamaan membuat saya jenuh juga. Akhir pekan kali ini saya harus liburan, intinya harus keluar kota dari Pare.
Bersama Anas teman baru yang saya kenal di kelas Grammar,saya mengutarakan niat untuk merasakan akhir pekan tidak hanya tidur saja di kosan. Ketika teman kursusan lainnya memilih liburan akhir pekan untuk mengunjungi Kota Batu Malang, Bromo Probolinggo, atau Baluran Situbondo. Saya mengajak Anas untuk mengunjungi makam Gus Dur saja.
Pada awalnya Anas tidak langsung mengiyakan, ia masih meminta waktu untuk memikirkan ajakan saya ini. Kurang ajar sekali! Saya merasa digantung seperti menyatakan perasaan kepada seorang perempuan.
Saya harus sabar menunggu jawaban dari Anas, karena cuma Anas harapan saya agar bisa pergi ke Jombang mengunjungi Makam Gus Dur dengan hemat ongkos. Dari sekian teman kursus hanya Anas yang membawa sepeda motor. Tetapi jika memang terpaksa saya sudah siap untuk Rental dengan biaya yang cukup mahal.
“Bang, ayo kita ke Jombang Makam Gus Dur!” Tiba-tiba pesan dari Anas melesat ke dalam ponsel ketika pagi masih berselimut dinginnya subuh.
“Serius nih? Kau jangan bercanda,” balas saya singkat kembali bertanya untuk menyakinkan.
“Serius saya, Bang, jam berapa enaknya? Soalnya nanti jam tujuh pagi kita masih ada Final Exam!”
“Yaudah jam sepuluh saja, Final Exam paling selesai jam sembilan tiga puluh,” tegas saya.
“Wokey, Bang. Seeep!”.
Sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Setelah Final Exam selesai kami bersiap-siap membelah jalanan Kota Kediri menuju Kota Jombang. Kami yang berdua buta arah jalan, dengan kerendahan hati meminta bantuan Google Map sebagai petunjuk arah paling aman untuk menghindari tersesat di jalan.
Matahari semakin panas membakar aspal, udara kian menguap dan berkeringat, sepanjang jalan deretan penjual jajanan kaki lima bercokol menyalani pelanggan yang hilir-mudik datang bergantian. Anas sesekali menengok kebelakang bertanya arah mana yang harus diambil ketika sudah ada dipertigaan atau perempatan, saya mengarahkan Anas sesuai dengan arahan yang saya lihat dari Google Map.
Di atas motor dengan laju sedang saya lantas berfikir. Dulu, ketika saya berkendara dan buta arah biasanya akan mencari warung atau orang yang duduk dipinggir jalan untuk ditanyai arah mana yang harus saya ambil untuk menuju ke tempat tujuan. Hal ini bukan hanya sekali dua kali bertanya kepada warga sekitar, tetapi berkali-kali. Bahkan karena saking sering bertanya kita masih menyempatkan duduk sejenak bersama warga, biasanya jika sudah begitu bumbu obrolan dengan narasi umum akan terlontar sebagai pembuka percakapan. “Mas, asalnya dari mana?” “Mas Hendak kemana?” “Kok ke sana memang mau ngapain, Mas?” Dan pertanyaan lain yang terasa sangat hangat.
Google Map dengan segala kemudahan yang ditawarkan kepada saya, hal-hal romansa dengan warga sepertinya sudah lenyap. Karena hanya bermodalkan kouta saya bisa menuju tempat tujuan tanpa bertanya kepada siapapun di jalan. Memang semua ini pilihan, zaman yang semakin bergerak cepat yang mengeser percakapan-percakapan hangat perjalanan dengan warga lokal.
Saya tidak mau munafik, saya juga butuh Google Map sebagai petunjuk arah jalan yang baik. Meski disisi lain saya rindu interaksi dengan warga lokal untuk bertanya arah jalan.
“Bang, Bang, kita ambil kanan, kiri, apa lurus ini?” Suara Anas cukup keras membuyarkan lamunan saya yang gelisah.
“Larus saja dulu, nanti jarak seratus meter belok kiri!” Saya mengarahkan Anas.
Sekitar setengah jam perjalanan plang warna Ijo dengan ukuran cukup besar tertulis “Makam Gus Dur” lengkap dengan anak panah warna putih menuju ke area gang yang tidak terlalu lebar.
Baru saja memasuki mulut gang di sisi kanan-kiri bahu jalan toko-toko souvenir untuk oleh-oleh berjejer rapi lengkap dengan para pegadangnya yang berdiri di depan toko sembari bersuara keras “Bapak, Ibu, Adek, Mas, silakan mampir untuk oleh-oleh saudara di rumah”. Kata seperti itu terus saja diulang-ulang oleh para pedagang. Sehingga suara mereka saling bercampur antara pegadang satu dengan pegadang lainnya.
Sekitar tiga menit menembus pejalan kaki, kami langsung memarkirkan sepeda motor di tempat yang telah disediakan. Langkah pertama kaki saya menuju ke Makam Gus Dur—hati saya bergetar, kulit saya merinding, bukan saya takut karena horor, bukan, bukan itu!
Ah.. Gus Dur! Sekali pun jazadnya sudah terkubur tetapi masih memberikan penghidupan bagi orang lain. Bagaimana tidak? Para Penjual Souvenir, Penjual Pentol, Bakso, Es Degan, Es Buah, Batagor, dan aneka jajanan lainnya, para pedagang tersebut memenuhi kebutuhan hidupnya secara tidak langsung dari keberadaan Makam Gus Dur.
Di bawah langit Kota Jombang, saya berdesak-desakan dengan peziarah lainnya yang berasal dari berbagai kota. Usia mereka mulai dari yang tua sepuh, setengah tua, tua sebaya, dewasa, remaja, laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak yang ikut bersama orang tuanya membaur untuk mendo`akan Gus Dur.
Jujur baru kali ini saya berziarah ke makam Gus Dur. Sebelum sampai ke pusaran makamnya bangunan besar tinggi menjulang menyambut saya dengan tulisan “Pondok Pesantren Tebuireng 26 Rabiul Awal 1899 M” “Pintu Utama Pesarehan (Keluarga Pesantren Tebuireng)”. Saya sebagai orang Jawa swasta mencoba menerka arti Pesarehan yang jika di runut adalah demikian (Pesarehan asal mula dari kata ‘Sare’ yang bermakna ‘tidur’. Setelah mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ menjadi ‘Pesarehan’ yang bermakna utuh tempat tidur. ‘Pesarehan’ bukan berarti peraduan, bukan bersifat sementara tetapi memiliki arti abadi. Kata ‘Pesarehan’ biasanya diucap dan dipakai oleh kaum bangsawan dan dianggap mempunyai kedudukan lebih santun sebagai perhargaan bagi seorang bangsawan yang telah wafat.
Memasuki ke dalam area makam dengan lorong panjang yang disisi kanan-kiri berdiri etalase pernak-pernik Gus Dur mulai dari Buku-buku, Gantungan kunci, Kaos bergambar Gus Dur, Peci, Baju koko muslim, Lukisan, semuanya ramai dikunjungi peziarah sebagai tempat untuk mendapatkan oleh-oleh. Ah.. Gus Dur. Penghidupannya kepada orang lain masih saja mengalir. Hati saya berbisik kembali.
Dengan penuh Khidmat tepat di sebelah makam Gus Dur yang dibatasi oleh pagar setinggi setengah meter saya duduk bersila dengan Anas dan bergabung bersama rombongan peziarah lainnya memanjatkan do`a dan membaca Surah-Yasin. Sepanjang melafalkan do`a sesekali saya memperhatikan sekitar, pemandangan sendu air mata beberapa orang berjatuhan, ada yang menutup matanya rapat-rapat dengan tangan diangkatnya ke atas, riuh suara do`a-do`a bertalu-talu dilangit pusaran makam.
Di komplek makam Gus Dur, dari papan informasi yang saya baca ada sekitar 45 orang yang dimakamkan. Mulai dari pendiri pesantren Tebuireng, pengasuh pondok, keluarga hingga dzuriah. Termasuk dua makam pahlawan nasional, yakni KH Hasyim Asy`ari, tokoh pendiri NU sekaligus kakek dari Gus Dur. Serta KH Wahid Hasyim yang merupakan ayah Gus Dur.
Makam Gus Dur sendiri terletak di sebelah pojok utara—yang membuat saya semakin merinding akan tersohornya seorang tokoh Gus Dur adalah ketika saya melihat tanda batu nisan tertulis “Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan” dalam empat bahasa. Yakni Bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan China.
Saya sendiri sebagai anak generasi yang lahir 90an tidak pernah mengenal sosok seorang Gus Dur secara langsung. Kecuali saya pernah merasakan beberapa kebijakannya seperti meliburkan sekolah selama sebulan sewaktu puasa. Dan itu cukup membuat saya senang dan terkenang sampai sekarang. Selebihnya kiprah seorang Gus Dur sebagai Presisden RI ke-4 banyak saya dapatkan dari slentingan cerita forum diskusi, buku-buku, seminar, jejak media, atau obrolan warung kopi yang notabene saya sendiri lahir di kalangan NU.
“Here Rests a Humanist” menurut saya kata tersebut adalah prasasti yang tertanam di dalam kepala orang-orang mengenai seorang Gus Dur. Dikutip dari Beritagar.id seorang Gus Dur mewakafkan dirinya untuk kepentingan dalam tiga skala besar; Islam, Indonesia, dan NU. Sebagai orang islam Gus Dur menyebarkan agama yang rahmatan lil `alamin. Pembelaan kepada kaum yang termarginalkan, seperti Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, bahkan mengadvokasi kasus Kedung Ombo, adalah manifestasi islam yang dipandang oleh Gus Dur, membebaskan dan merahmati semua.
Dalam bingkai Indonesia, Gus Dur memperjuangkan demokratisasi dan kamanusiaan. Pada Mei 2008 Gus Dur dianugrahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Centerdi Amerika Serikat karena kegigihannya memperjuangkan pluralisme dan perdamaian.
Sementara di wilayah ke-NU-an, Gus Dur meneruskan perjuangan kakeknya, KH. Hasyim Asy`ari dengan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar ideologi Negara, Bhenika Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Semuanya itu yang kemudian mencerminkan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), i`tidal (bersikap adil), dan tawazun (berimbang).
Sekitar dua jam berada di area makam, saya dan Anas memutuskan untuk kembali ke Pare-Kediri. Sebelum kaki melangkah lebih jauh dari makam, saya membayangkan jika kelak saya terbaring abadi, tertulis apakah dibatu nisan saya atau apa yang akan terlintas dikepala orang-orang ketika mendengar nama saya? Apakah makam saya akan direnggut sepi karena tidak ada orang yang bertandang hanya untuk berdo`a kebaikan kepada saya yang terkubur di dalam tanah?
Dari seorang Gus Dur selepas berziarah saya belajar arti menjadi manusia utuh yang bisa bermanfaat bagi sesama. Sebab kemanusiaan adalah atas dari segala apapun. Karena sejatinya hidup terlalu singkat jika hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur); Panjang Umur Kemanusiaan, Al-fatiha! [T]