“Sebuah pelayanan, lebih mulia ketimbang seribu doa.” (Mahatma Gandhi)
Dalam perjalanan pulang, dari radio di dalam mobil, saya mendengar pemaparan tentang hari raya Ciwarartri. Materi itu dibawakan seseorang yang mewakili departemen agama di kabupaten. Diceritakan dengan sangat menarik perjalanan hidup Lubdaka, seorang pemburu yang tak kenal kasihan. Ia, seperti yang telah kita ketahui semenjak kanak-kanak adalah seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai pemburu. Tak mungkin juga seorang yang memiliki sifat pengasih dapat bekerja sehari-hari bekerja sebagai pemburu.
Ia harus membunuh hewan buruannya untuk dimakan dan dijual untuk memperoleh uang guna menafkahi keluarganya. Seperti yang juga sudah kita ketahui bersama, di hari yang penuh kesialan itu, tak seekor binatang pun yang berhasil ia bunuh. Justru ia sendirilah kemudian terjebak dalam ketakutan, di atas sebatang pohon Bila. Akan perasaan ngerinya terjatuh dari pohon dan dimangsa binatang buas, ia memaksa melek sepanjang malam dengan memetik satu per satu daun pohon Bila tersebut. Dedaunan yang dipetiknya telah menimpa sebuah Lingga yang ada di telaga jernih di bawahnya dan rupanya malam itu adalah satu malam spesial di kalangan para Dewa yaitu malam Ciwarartri saat mana Dewa Ciwa sedang menjalankan meditasi.
Sampai di situ cerita yang merupakan ajaran Sanathana Dharma ini cukup menarik diikuti. Namun, kisa berikutnya di Swah Loka (khayangan), cukup membuat kaget dan mengecewakan. Diceritakan, roh Lubdaka pada akhirnya, atas perintah Dewa Ciwa diterima di swarga loka, hanya karena di malam Ciwarartri itu, Lubdaka menyesali dosa-dosanya selama ini. Itupun sebuah penyesalan yang lahir dari keterpojokan dan pada suatu hari baik yang ia pun tak sadari.
Tampaknya cerita ini ingin menonjolkan sisi fantastis sebuah peristiwa yang mengabaikan kekuatan nalar, lalu diciptakan hanya menjadi sebuah simbol semata, entahlah. Sebuah simbol akan menjadi sia-sia belaka jika tak dipahami dan disublimasi dalam jiwa dan energi gerak. Atau, kisah Lubdaka akan menyandera satu gagasan besar sehebat Ciwarartri hanya menjadi sebuah identitas, yang setiap tahun mengumpulkan umat memenuhi tempat-tempat suci untuk begadang.
Spiritual, jika diamati, cenderung rasional. Berbeda dengan tradisi dan keyakinan yang kerap irrasional. Maka jika agama sering “bentrok” dengan sains, itu pastilah sisi tradisi sebuah agama, bukan aspek spiritualnya. Tradisi, umumnya merupakan kreasi manusia, yang kadang memang sejak awal telah dicemari motif manfaat untuk kelompok tertentu atau kebiasaan yang kadang rigid resisten untuk direformasi karena itu telah memberi zone nyaman untuk kelompok tertentu. Sementara, spiritual dan sains, keduanya ciptaan Tuhan yang umumnya selaras dan universal. Bagaimana mungkin dosa yang telah dilakukan puluhan tahun, dihapuskan dengan penyesalan semalam, yang bahkan tak disadari?
Jika kita suka makan kolesterol yang enak bertahun-tahun, rasanya mustahil efeknya akan lenyap hanya dengan sebuah penyesalan sepanjang malam. Bahkan jika dikonversi, sekali saja makan siang yang mengandung lemak berlebih, nilai kalorinya baru bisa disetarakan dengan tiga kali jalan cepat non stop selama 45 menit. Begitulah sifat energi yang kekal, ia takkan pernah hilang dalam perhitungan metafisika, namun ia seakan-akan hilang saat energi yang berlawanan kekuatannya lebih besar. Dosa, dengan sangat baik diibaratkan bagaikan gula di dalam gelas yang berisi air, sementara airnya sendiri ibarat kebaikan. Semakin banyak ditambahkan air ke dalamnya, maka rasa manis makin memudar, namun janganlah pernah ragu, gula itu niscaya masih ada di dalam gelas.
Namun demikian, disamping otokritik ini perlu disampaikan, memang ada hal-hal yang menarik bisa kita petik dari kisah Lubdaka ini. Sebuah kesadaran, ia selalu dihargai dan dimuliakan. Tak peduli, kapan, di mana dan dengan cara apa pun ia tercipta. Pun kemuliaan tak menjadi monopoli sekelompok orang. Tak harus kaum brahmana atau yogi, ia pun memberi kesempatan kepada seorang pemburu yang tak kenal kasihan. Begitu pun, kisah seorang jiwa agung masyur yang bernama Mahatma Gandhi. Ia tidaklah seperti awathara Sri Kresna yang ditakdirkan sebagai juru selamat karena kesempurnaannya.
Dalam otobiografinya, Gandhi muda adalah seorang pencuri, kawin dalam usia dini dan berlaku keras kasar kepada anak-anaknya, hingga membuat istrinya sering mecucurkan air mata. Masa lalu boleh saja tetap ada, namun masa depan dapat memberinya warna baru. Demikianlah, berkat kesadaran memimpin dirinya sendiri secara mencengangkan, ia digelari sebagai Sang Jiwa Agung. Sudah pasti bukan hanya karena penyesalan akan masa lalunya belaka.
Tak dapat dipungkiri lagi, Hindu berlimpah filsafat adiluhung yang implisit dalam berbagai simbol. Kita bisa sebut contoh-contohnya dengan keyakinan penuh, perayaan-perayaan Ciwarartri, Saraswati atau Nyepi. Apakah tradisi-tradisi itu akan menjadi spiritual atau sekadar ritual belaka, sepenuhnya kembali kepada kita. Seperti halnya peringatan proklamasi, itu bukanlah wujud cinta tanah air yang esensi, ia baru sebatas identitas.
Cinta bangsa dan tanah air perlu berwujud dengan bekerja sepenuh hati sebagai seorang guru, dokter atau polisi. Atau ikhlas melayani sesama dan bersahabat baik dengan alam. Jika ritual adalah masa lalu, maka jadikanlah spiritual sebagai masa depan. Kalau tidak demikian, selamanya Ciwarartri hanya akan menjadi ritual begadang menemani Lubdaka semata.[T]