Setiap hari raya, setiap menghaturkan sesajen, keluarga kami selalu menghaturkan satu sesajen di lantai Bale Dangin. Sesajen itu diperuntukan bagi Pakek (kakek), yang berbeda dengan keluarga kami yang sudah meninggal yang sesajennya diletakan di atas balai Bale Dangin dan dengan tatakan dulang.
Sebagai anak perempuan paling kecil dalam keluarga, sayalah yang merasakan paling sering dibebankan untuk mabanten. Ada gejolak protes dalam dada yang selalu saya rasakan. Beberapa protes yang meluncur sebagai pertanyaan tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan saat ditanyakan kepada ibu, bapak, bibi, nenek, kakek, maupun ketiga kakak saya. “Kenapa saya yang harus mebanten? ” Pertanyaan itu dengan spontan dijawab oleh kakak-kakak saya.
“Karena kamu anak perempuan terkecil, ” kata mereka serentak.
“Karena kamu belum datang bulan, “tambah kedua kakak perempuan saya.
Kedua jawab itu tak pernah memuaskan saya, apalagi kemudian setelah saya beranjak remaja dan dewasa, tugas mabanten tetap dibebankan kepada saya. Tapi saya berusaha membuat jawaban sendiri untuk sekadar memuaskan pertanyaan bahwa mungkin dulu kakak-kakak sayalah yang bertugas mabanten secara berurutan dari yang paling besar sebelum saya lahir.
Oke, saya masih bisa merasa puas dengan pertanyaan dan jawaban yang saya produksi sendiri. Tapi pertanyaan selanjutnya tentang ” kenapa harus mabanten” tak pernah sekalipun saya dapatkan jawaban yang memuaskan, bahkan sampai usia dewasa dan menua. Tak pernah saya mendapatkan jawaban yang memuaskan, juga dari diri sendiri.
Pertanyaan ketiga adalah pertanyaan yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, yang makin panjang dan panjang, yang seringkali membuat saya tersesat dalam rimba raya, dalam samudra ketidaktahuan yang luas, dalam, dingin dan bergelombang.
“Siapa Pekak itu, kenapa harus diberi sesajian, kenapa harus di lantai, apa bedanya dengan yang sudah meninggal lainnya, kenapa sisa sesajennya tak bisa dimakan, apakah roh itu berbeda, kenapa sesajen harus dibedakan? ” Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menguntit dan mengikuti perkembangan usia saya, pergaulan, dan pelajaran demi pelajaran yang saya terima. Mungkin tanpa sadar, saya terobsesi dengan pertanyaan-pertanyaan masa kecil, tentang mabanten, banten, dan perbedaan-perbedaannya.
Saya ingat betul suatu ketika saat ada upacara memukur, kakek dengan bangga mengajak saya memperhatikan puspalingga-puspalingga dari masing-masing roh orang-orang yang sudah meninggal yang akan diupacarai.
“Itu puspalinggga nenekmu yang paling depan, di sebelah kiri, dan di depan kanan adalah bibiku, ” kata Kakek bangga. Saya memandang heran pada kebanggan kakek yang menyebut di depan, yang membedakan kiri dan kanan untuk laki dan perempuan.
“Kenapa ada perbedaan depan belakang, kiri dan kanan untuk roh? ” tanya saya polos. Kakek diam, tak berkata apa-apa lagi, tak menunjukan apa-apa lagi sampai acara berakhir. Saya pikir kakek mungkin marah pada saya, tetapi saya juga tak merasa ada yang salah dengan pertanyaan saya. Pertanyaan anak kecil yang ingin tahu, yang masih saya ingat sampai sekarang, sambil senyum-senyum dikulum.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan dan kelakuan-kelakuan saya di masa kecil sangat merepotkan keluarga dan lingkungan saya. Mungkin itu sebabnya diam-diam ibu saya bertanya pada orang-orang pintar, tentang saya dan syukurnya para balian itu kompak mengatakan saya baik-baik saja, dan tak memerlukan upacara ruwatan yang memerlukan biaya besar.
Tentang sesajen untuk Pekak itu akhirnya saya mendapatkan jawaban awal, yang menjadi dasar pertanyaan dan pencarian jawaban-jawaban selanjutnya.
“Pekak itu adalah seorang abdi kesayangan leluhur kita, saking sayangnya leluhur kita padanya, membuat banyak yang iri. Suatu hari, abdi kesayangan itu mengambil galah untuk mencari bunga cempaka yang setiap hari dilakukannya. Galah itu ada di sisi gedong, tempat tidur permaisuri. Pengambilan galah di sisi gedong itulah yang dilaporkan kepada raja oleh orang yang iri. Abdi itu dikatakan telah berselingkuh dengan permaisuri. Raja membunuh abdi kesayangan itu, tanpa mendengar penjelasan permaisuri yang sedih. Tapi nasi sudah menjadi bubur, abdi itu sudah meninggal. Keluarga kita dikutuk oleh orang tua si abdi, selama tujuh turunan para lelaki di puri ini tak akan ada yang beres dan perempuannya akan selalu didera kesedihan, ” Ibu menangis menceritakannya. Ibu seperti menemukan alasan pembenar atas kesedihan-kesedihannya selama ini. Ibu sama sekali tak menyalahkan bapak, paman, bibi, kakak ataupun yang lain-lain atas ketidakadilan yang menimpa ibu selama ini.
Ingin sekali saya menyeka air mata ibu. Tapi saya tahu itu tak akan mampu menghilangkan beban kutukan masa lalu yang dipercayainya. Yang bisa saya lakukan adalah dengan setia dan penuh rasa hormat menghaturkan sesajen pada Pekak dengan semangat dan keriangan yang berbeda. Saya juga mengubah kebiasaan menghaturkan sesajen di lantai untuk Pekak. Sejak itu saya samakan tempatnya dengan leluhur yang lain dan saya nikmati sisa sesajennya.
Tak ada yang protes dengan apa yang saya lakukan, karena semua saya lakukan sendiri dengan keyakinan sendiri pula. Bagi saya roh Pekak abdi itu suci, mungkin jauh lebih suci dari beberapa leluhur yang telah diaben dengan upacara besar. Secara tidak langsung Pekak abdi itu telah mengajarkan saya tentang kesucian roh seseorang yang tidak terkait dengan status sosialnya di dalam masyarakat.
Tentang menghaturkan sesajen yang banyak dan beraneka ragam, sungguh sampai saat ini masih tidak saya pahami betul. Atau boleh dikatakan saya belum menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang muncul tenggelam dalam benak saya. Walaupun begitu saya, tetap menghaturkan sesajen dengan bersemangat dan riang, dengan tujuan untuk menyenangkan ibu, keluarga, famili dan terutama pembantu saya yang membuatkan sesaji dengan semangat dan penuh rasa tanggungjawab. Hanya sedikit hal yang dapat saya petik dari rutinitas dan ketulusan saya menghaturkan sesaji selama berpuluh tahun, yaitu saya terlatih untuk berkonsentrasi, bersikap tulus dan terbiasa meyakini kekuatan semesta yang maha dasyat. Saya sungguh-sungguh merasa sangat beruntung karena kewajiban menghaturkan sesaji yang saya lakukan sejak kecil tanpa saya sadari telah berbuah, hasilnya yang berlimpah bisa saya petik saat ini.
Saya juga merasa beruntung diberikan cerita tentang Pekak, abdi tanpa dosa yang dibunuh leluhur saya itu, yang telah memancing pertanyaan-pertanyaan seputar roh dan persamaan mahluk yang walau tertatih saya coba terapkan. Belakangan saya paham, mungkin karena rasa bersalah yang besar, leluhur saya membuat pertapaan di kampung atau rumah Pekak abdi tersebut, yang dalam waktu selanjutnya justru memberikan kekuatan pada leluhur saya untuk mengalahkan kerajaan-kerajaan lain dan menperluas kekuasaan.
Leluhur saya sudah bersalah pada Pekak abdi itu. Kesalahan bisa menimpa siapa saja, tetapi menyadari kesalahan dan berusaha memperbaikilah yang harus selalu diusahakan. Mungkin tak akan menghasilkan sesuatu yang hebat, tapi paling tidak kita telah mengakui kesalahan, itu artinya kita berusaha menerima diri kita, baik dan buruknya. Ini adalah modal kita untuk melangkah, memasuki masa depan. Selamat Tahun Baru 2020. [T]