Tentang Tabu Project, Kelompok Kolaboratif Penerima Hibah Seni Kelola 2019
Penerima Hibah Seni Kelola 2019kategori Karya Kolaborasi Inovatif, Tabu Project hadir dengan strategi yang saat ini sedang banyak dijunjung: kolaborasi lintas-bidang yang menghasilkan sebuah pertunjukan lintas-indra alias pertunjukan multi-media. Sesuai dengan namanya, Tabu Project mengangkat tabu sebagai inti dari karya yang dihasilkan. Dengan pengambilan topik yang cukup menarik serta titel “Karya Kolaborasi Inovatif” yang disandang, tidak berlebihan rasanya jika harapan cukup menjulang tinggi atas karya yang akan tercipta.
Film dipilih sebagai “rumah”, atau dengan kata lain unsur utama dalam karya Tabu Project, untuk menyatukan empat bidang lainnya (koreografi, musik, video mapping, dan desain kostum). DalamDiskusi dan Lokakarya Parade Teater Canasta 2019, Tabu Project menjelaskan bagaimana proses di balik penciptaan karya film ini.
Secara singkat, film ini mengisahkan lingkaran kehidupan (mulai dari kelahiran hingga kematian) perempuan Bali di tengah situasi patriarkis yang masih diamini oleh masyarakat.
Beberapa simbol kehidupan tersebut dihadirkan dan kemudian dipertentangkan sebagai bentuk dari ketabuan itu sendiri. Misalnya, rambut yang digerai ketika mengenakan hiasan kepala. Dalam adat kebiasaan Bali, hiasan kepala digunakan ketika ada upacara adat dan para perempuan yang mengenakan hiasan kepala ini harus mengikat/menyanggul rambutnya sehingga tidak ada rambut yang menjuntai di pundak. Menstruasi, yang masih tabu untuk dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari, juga sengaja ditampilkan dalam bentuk cairan seperti darah yang dibalurkan ke tubuh aktor.
Bentuk-bentuk yang hadir dalam film merupakan hasil dari observasi, wawancara, dan dialog kepada generasi yang lebih tua. Ninus, yang berperan sebagai koreograf dalam karya ini, juga menekankan bahwa memang yang penting dari proses penciptaan karya ini adalah adanya dialog dan obrolan yang terbuka kembali mengenai tabu. Sebab, dirasa saat ini kemampuan bercakap-cakap dengan generasi di atas sudah mulai luntur.
Sebelum diskusi proses kreatif tersebut, Tabu Project juga telah melakukan “Pameran Sebelum Pentas”, menampilkan art pieces yang dikenakan si aktor dalam film. Beberapa art pieces tersebut antara lain, 1) hiasan kepala yang terinspirasi dari sangkar ayam, sebagai penanda kelahiran atau otonan, 2) peralatan makan yang mengimplementasikan cara makan zaman dulu, dan 3) hiasan kepala bunga sandat.
Kolaborasi yang Sendiri-Sendiri
Pada 6 dan 7 Desember lalu, Tabu Project mempertunjukan karyanya di Cush Cush Gallery. Kain-kain putih menjuntai dan terdapat layar bulat sebagai layar untuk film yang akan diputar. Pertunjukan kali ini memadukan film, musik, dan video mapping dengan aksi live choreography. Bukan sebuah terobosan inovatif rasanya, mengingat pengkombinasianantara teater dengan film, atau dengan musik, sudah banyak dilakukan. Namun, siapa tahu dalam pertunjukannya terdapat unsur lain yang tak terduga?
Pertunjukan pun dimulai. Film dan musik mengawali pertunjukan dan tidak lama kemudian para penari memasuki area pertunjukan.
Jika boleh jujur, harapan yang tadinya berada di atas langit tak bertemu asanya. Dan menjadi benar kiranya bahwa pertunjukan malam itu hanya sebagai pelengkap syarat penerima dana hibah.
Soal pencahayaan menjadi salah satu soal yang langsung terlintas ketika menonton pertunjukan ini. Dengan gerakan koreografi yang minimalis, alias bukan gerakan besar yang bisa langsung terlihat dari sebrang ruangan, tentu pencahayaan menjadi segi krusial yang harus dipikirkan.
Mungkin memang itu yang ingin dicapai dari pertunjukan ini, pikir saya. Sebab, terdapat video mapping dengan tata pencahayaannya sendiri yang juga “menari-nari”. Namun, sepertinya video mapping dengan segala tata pencahayaannya itu tidak memiliki hubungan ketersalingan dengan koreografi yang ditampilkan. Dan sejujurnya, inilah yang terjadi dalam keseluruhan pertunjukan.
Film, video mapping, pencahayaan merah-hijau, musik, dan live choreographytidak hadir sebagai satu-kesatuan, melainkan sebagai potongan yang berdiri sendiri-sendiri.
Apabila malam itu live choreography tidak ditampilkan, rasanya tidak akan ada masalah; pertunjukan akan tetap berjalan. Jika malam itu hanya film yang ditampilkan, pun situasi akan sama: pertunjukan tetap berjalan tanpa adanya rasa kurang.
Rangkuman Diskusi Pertunjukan Tabu
Untunglah, terdapat diskusi sehabis pentas yang dilakukan sehingga beberapa hal yang menjadi pertanyaan di benak saya bisa terkonfirmasi.
Begitu diskusi dibuka, tanggapan yang diungkapkan salah satu penonton menyoal tentang tabu itu sendiri; bahwa dalam pertunjukan ini tidak ada keadaan tabu yang ditampilkan.
Itu jugalah yang menjadi pertanyaan saya bahkan dari ketika diskusi di pada Parade Teater Canasta berlangsung. Malam itu, saya juga kembali mempertanyakan: tabu seperti apa yang ingin ditampilkan?
Sebab, tabu dalam karya ini, yang seharusnya berlaku sebagai batasan karya, justru buram. Misalnya, scenekelahiran yang berada di bagian awal film yang kemudian disimbolkan kembali dengan hiasan kepala terinspirasi dari sangkar ayam, simbol otonan. Apakah kemudian kelahiran ini dianggap sebagai keadaan tabu? Lalu, simbol-simbol peralatan makan yang sengaja dibuat menyerupai tangan (mengarah tentang kebiasaan saat ini ketika manusia terlalu merasa high class dan harus makan menggunakan sendok/garpu) rasanya tidak masuk dalam ranah-ranah keadaan tabu.
Perlu disinggung bahwa tabumemiliki makna yang cukup luas dan dalam, tetapi biasanya selalu berhubungan dengan larangan atau pantangan terhadap sesuatu. Sesederhana pertanyaan, “Kamu bawa pembalut nggak?” yang sering ditanyakan secara bisik-bisik di ruang publik.
Mungkin karya ini belum memasuki ranah tabu melainkan hanya berupa antitesis terhadap norma-norma yang diamini masyarakat. Rasanya akan lebih sesuai jika karya ini ditempatkan sebagai karya perlawanan terhadap budaya patriarki (dalam ranah feminisme). Apalagi, karya ini mengangkat isu perempuan; isu seksi yang sedang digemari.
Tentang kolaborasi yang berdiri sendiri-sendiri, saya berhasil mengungkapkan pendapat saya bahwa live choreography yang dilakukan dalam karya ini tidak terintegrasi dengan aspek-aspek lainnya. Dan jawaban dari teman-teman Tabu Project adalah memang live choreography ini sebatas sebagai pelengkap film, unsur utama dalam karya ini. Selain sebagai pelengkap, live choreography juga bertugas sebagai jembatan agar film dalam karya ini dapat dipertunjukan alias agar bisa menjadi art performance yang dapat ditonton publik.
Dengan kata lain, pertunjukan hari itu dibuat untuk memenuhi syarat sebagai penerima hibah.
Belum berhenti sampai di situ, pada awalnya saya berpikir bahwa art pieces yang ditampilkan dalam film akan dibawa dalam pertunjukan malam itu; dikenakan oleh para penari. Nyatanya tidak. Para penari dalam pertunjukan malam itu justru mengenakan busana minimalis hitam-hitam.
Ketika disinggung mengenai hal itu dalam diskusi seusai pertunjukan, teman-teman Tabu Project mengatakan bahwa memang fokus utama (lagi-lagi) dalam karya ini adalah film. Jadi, segala simbol yang rumit, termasuk art pieces yang diciptakan berdasarkan hasil observasi, hanya ditampilkan dalam film.
Jika saja diskusi proses kreatif Tabu Project di Parade Canasta Teater 2019 tidak diadakan, mungkin pemikiran-pemikiran dalam tulisan ini tidak akan muncul. Sebab, narasi-narasi yang diceritakan teman-teman Tabu Project sebagai dasar terciptanya karya ini seperti hanya hadir dalam lisan saja.
Dan jika demikian, tulisan ini tentu tidak akan ada.