Jika Tan Malaka pernah mengatakan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda”, maka, kita boleh mengatakan, “Menulis adalah kemewahan abadi setiap orang merdeka”. Karena, menulis dapat dilakukan oleh siapapun, kapan dan di mana saja. Darinya setiap insan dapat mengeksplorasi dan menautkan, menciptakan asosiasi atau membangun persepsi bahkan merekayasa konspirasi dari segala elemen materi dan dinamika energi yang bertebaran di dalam alam semesta ini. Tak perlu diragukan lagi, jelas ini sebuah kemerdekaan.
Jika hari ini sahabat-sahabat Nasrani merayakan Natal, mari kita berikan ucapan selamat lalu sempatkan sedikit berimaji dalam sebuah tulisan. Sebuah imaji yang mungkin jarang kita pikirkan. Perayaan Natal selalu menautkannya dengan kelahiran sang juru selamat, Yesus Kristus. Umat Kristen menetapkan Yesus sebagai Kristus karena mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan, dinubuatkan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama. Juru selamat dalam keyakinan tradisi Hindu dikenal dengan sebutan Awatara. Sama dengan Yesus Kristus yang diyakini sebagai Putra Allah, maka Awatara dalam tradisi Hindu pun diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa pemelihara. Juru selamat dalam hal ini jelas mengacu pada aksi seorang utusan Tuhan untuk menyelamatkan manusia di bumi. Beberapa kalangan meyakini peranan Yesus sebagai juru selamat memiliki kepentingan yang lebih sosial atau eksistensial daripada akhirat, dan beberapa teolog terkenal telah mengemukakan bahwa Yesus akan membawa suatu rekonsiliasi universal. Pada titik ini teologi Kristen identik dengan konsep filsafat Hindu.
Tak salah jika kemudian, ada yang mencoba menyusun teori konspirasi, Kristus adalah Buddha Gautama (Buddha ke 28), yaitu Awatara kesembilan. Meski memang dari catatan-catatan sejarah kelahiran mereka, keduanya tidak memiliki kecocokan. Yesus hidup sekitar masa tahun 4 SM hingga tahun 33 M, sementara kelahiran Buddha Gautama diperkirakan sekitar tahun 800 SM di Taman Lumbini, Nepal. Jika dalam keyakinan Kristen hanya ada seorang juru selamat, dalam kepercayaan Hindu disebutkan ada sepuluh Awatara. Ini cukup logis dalam hal Kristen sebagai tradisi agama lebih muda dibandingkan dengan tradisi Hindu yang jauh lebih tua. Namun yang menarik pada Awatara Hindu bukanlah jumlahnya, namun perwujudan titisan Wisnu itu, dari yang pertama hingga yang kesembilan yang sangat kuat tampak sebagai proyeksi sebuah proses evolusi.
Pada titik ini, meski implisit, teologi Kristen cukup senjang dengan gagasan Hindu. Terkait dengan kontrovesi teori Evolusi Darwin di kalangan gereja, ini begitu mudah dimaklumi saat kita membaca konsep teologi kitab genesis. Bagaimana mungkin, keyakinan akan alam semeseta beserta segala isinya yang diciptakan dalam 7 hari bisa gayung bersambut dengan teori evolusi yang diyakini memakan masa ratusan juta tahun lamanya. Tidak seperti dalam kitab gensesis yang lugas, Hindu tidak secara spesifik dan tajam membahas teori penciptaan semesta. Namun sekali lagi, jika diamati dengan seksama, perwujudan kesepuluh Awatara cukup kuat mengesankan untaian evolusi sesuai teori modern saat ini.
Dalam keyakinan Hindu, disebutkan ada 10 Awatara yang dikenal sebagai Dasa Awatara, dengan wujud pertama adalah seekor ikan (Matsya Awatara). Berikutnya secara berturut-turut berwujud seekor penyu (Kurma Awatara), seekor babi hutan (Waraha Awatara), seekor singa berkepala manusia (Narasinga Awatara), seorang manusia cebol (Wamana Awatara), seorang pendekar bersenjata kapak (Parasurama Awatara), seorang raja di Ayodya Pura (Rama Awatara), seorang penasihat bijaksana di kerajaan Hastina Pura (Krishna Awatara), seorang pangeran yang meninggalkan tahta demi pembebasan (Buddha Awatara) dan yang terakhir adalah seorang Mesias yang akan tampil menyelamatkan bumi dan umat manusia saat berada pada zaman di tubir kehancuran.
Hal menarik berikutnya adalah belum lahirnya Awatara ke-10, yaitu Kalki Awatara. Kita semua menunggunya dengan penuh penasaran. Ia misteri yang menebarkan risau karena perlu menunggu kekacauan semesta untuk kehadirannya, juga kabar yang melegakan karena tentu saja ia adalah seorang juru selamat. Dalam pendekatan perspektif postmodern, segala hal dapat memberikan ruang interpretasi yang sedemikian luas. Jangan-jangan ini sebuah undangan untuk kita semua menjadi juru selamat, setidaknya untuk diri sendiri. Kita tak butuh menunggu siapapun demi kebaikan dunia. Tepat seperti ucapan Sang Jiwa Agung (Mahatma) Gandhi, “Kita takkan pernah dapat mengubah dunia. Cukup mengubah diri-sendiri saja. Maka jika semua kita berubah menuju kebaikan, maka dengan sendirinya dunia ini akan menjadi baik”.
Bukankah Yesus cuma seorang tukang kayu yang kemudian menjelma menjadi seorang Mesias? Seseorang yang memberikan pipi kanannya, saat pipi kirinya dipukul? Dan mengajak pengikutnya untuk memaafkan orang-orang yang menyalibnya dengan mengatakan, “Tuhan ampuni mereka, karena mereka tak mengerti apa yang telah mereka perbuat?”. Maka saat agama kemudian dibawa serta ikut dalam politik kekuasaan, ia melawan evolusinya sendiri sebagai juru selamat menjadi mesin peperangan yang siap menghancurkan dunia. Mari kita tunggu, akankan muncul seorang Kalki Awatara?
Selamat Natal 2019 dan Tahun Baru 2020