28 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Ilustrasi diolah dari sumber foto  Pinterest.com

Ilustrasi diolah dari sumber foto Pinterest.com

Maha Berat Beban Sosial Seorang Sarjana untuk Pulang ke Kampung Halaman

Taufikur Rahman Al Habsyi by Taufikur Rahman Al Habsyi
December 24, 2019
in Esai
160
SHARES

Hallo para sarjana, bagaimana kabarnya? Masih dengan perasaan riuh suasana hari wisuda yang banjir bunga dan ucapan Congratulations dari teman, keluarga, pacar, mantan pacar, dan orang terdeket, atau perasaan gelisah antara pulang kampung halaman atau tetap tinggal di kota perantauan?

Tentu perasaan gelisah ini hanya bisa dirasakan oleh mahasiswa yang jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk kuliah dan merantau lintas kota, provinsi atau bahkan pulau.

Termasuk saya sendiri anak muda Jawa yang merantau ke Bali untuk mengenyam pendidikan strata satu. Awalanya pergi meninggalkan kampung halaman untuk kuliah itu adalah sebuah kehebatan, kegagahan, dan banyak menuai pujian. Karena jika boleh sombong nih di kampung saya yang kuliah keluar kota sangat sedikit, sedang untuk yang kuliah lintas pulau hanya saya saja.

Alhasil saya menjadi buah bibir, menjadi Tranding Topik perbincangan para warga kampung secara offline ketika belanja di warung, duduk santai di teras rumah, bahkan di sawah-sawah guys. Informasi ini saya himpun dari ayah sewaktu menelpon saya ketika jatah bulanan tiba. Mendengar hal itu saya seperti melayang ke langit ke tujuh.

Sebenarnya menjadi terkenal di kampung itu mudah sekali, karena warga satu dengan warga lainnya saling mengenal secara akrab. Nah, jika sudah begitu, secara tidak langsung warga kampung akan menitipkan segenap harapannya kepada anak-anak muda yang menempuh pendidikan tinggi di luar kota.

Jika awalnya tadi saya bisa berbangga diri, namun setelah melepas status mahasiswa dengan wisuda berganti dilema yang melanda silih berganti.

“Pulang ke kampung halaman atau menetap diperantauan iya?” “Jika pulang ke kampung halaman nanti kerja apa iya?” Pertanyaan itu sering menghantui dalam tempurung kepala.

Jujur saya dilema, kalut, ambyar memikirkan masa depan. Karena warga kampung sudah terlanjur menanamkan harapan jika kuliah di luar kota bisa mempunyai pekerjaan yang mapan. Menurut mereka kerja mapan itu jika pagi-pagi keluar rumah memakai sepatu, kemeja, berdasi, rambut klimis. Mereka tidak peduli isi dompet meski kosong melompong yang terpenting penampilan sudah menampakkan kesan kemapanan.

Sekali lagi penampilan guys, karena warga kampung bisa saja memandang sebelah mata meski isi dompet tebelnya minta ampun tetapi pekerjaan tidak klimis sekali.

‘Sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Ungkapan pribahasa ini yang juga sedang mendera saya. Bagaimana tidak? Saya lulusan sarjana pendidikan, jika memilih pulang ke kampung halaman paling mentok jika memilih pekerjaan yang klimis yaitu menjadi seorang guru honorer. Sedangkan nasib guru honorer sangat horor sekali guys. Bukan masalah pengabdian atau memperjuangkan ilmu yang barokah, tetapi finansial juga harus diperhatikan. memang sih pekerjaan ini cukup untuk menembel mulut-mulut nitijen warga kampung. Tetapi jiwa ingin mapan dalam diri saya meronta-ronta.

Sarjana pendidikan juga bisa kerja di perusahaan loh, perusahaan Ndasmu! Di kampung itu tidak ada yang namanya perusahaan seperti kota-kota besar. Sehingga jika ingin pulang ke kampung halaman dan bekerja agar isi dompet tebal harus menurunkan rasa gengsi, maksudnya bekerja banting setir, ternak lele, ternak ayam, ternak tuyul, upsh… Untuk ternak yang terakhir ini disarankan untuk orang-orang yang kadar putus-asanya diambang batas iya.

Lain lagiwarga nitijen kampung yang mengeluarkan komentarnya “Kuliah jeuh-jeuh phaggun beih se atanih” artinya “Kuliah jauh-jauh tetap saja jadi petani”

Itu pendapat sadis yang bisa mendarat ditelinga, karena bekerja sebagai petani bagi seorang sarjana seperti saya adalah sebuah aib di kampung halaman. Selain itu, harus berani melepas gelar sarjana pendidikan yang telah melekat. Paling tidak mendapat gelar baru dari para warga nitijen kampung yaitu sarjana gagal.

Sehingga sarjana seperti saya ini memilih sementara waktu menetap di kota perantauan. Karena warga kampung tidak tahu aktifitas saya disini, mau menganggur, kerja serabutan, jadi satpam, tukang parkir.  Hal ini saya pilih agar tidak mendengarkan berbincangan bising warga nitijen kampung yang menusuk-nusuk ke hulu hati. Jikapun terpaksa ditanya kerja apa—paling jitu iya menjawabnya pakai Bahasa Inggris, misal (Parking officers), (security), (office boy), (sweeper), yang pentingkan namanya keren di dengar ditelinga. Mereka juga tidak tahu itu jenis pekerjaan apa. Intinya cari aman dulu guys.

Ya Tuhan: Maha berat beban sosial bagi penyandang gelar sarjana untuk pulang ke kampung halaman, tolong berikan jalan yang lurus di jalan berliku ini dan kuatkan mental krupuk ini menjadi mental baja demi mengahadapi warga nitijen di kampung halaman, Aminnn. [T]

Tags: kampung halamanPendidikanSarjana
Taufikur Rahman Al Habsyi

Taufikur Rahman Al Habsyi

Biasa dipanggil Koko Opik. Lahir di Bondowoso, 05-06-1998. Anak kedua dari pasangan Arjas dan Irliya, orang tua yang selalu berjuang membahagiakan anak-anaknya.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Esai

Mencari Ulama yang Ulama

Salah satu tanda akhir zaman adalah adanya orang yang banyak beribadat tapi jahil, dan ulama (ahli agama) tapi fasik (justru ...

May 2, 2019
Esai

Pahlawan Bukan untuk Sekadar Dikenang

SETIAP 10 November kita selalu memperingati Hari Pahlawan, inilah momen dimana kita merefleksikan kembali bagaimana perjuanngan para pendahulu kita mewujudkan ...

November 23, 2018
Cerpen

Monolog dan Kekasih Satu Tahun Lalu || Mencincang Pesan

Monolog dan Kekasih Satu Tahun Lalu - Cerpen Eva Lailatur Riska _____ Cempaka. Denpasar, Desember 2017 Kita berkenalan setelah hujan ...

January 6, 2021
Esai

Ruang Berkumpul “Sekala-Niskala”

Pura Bale Agung atau Pura Desa dalam formulasi Hindu Bali kekinian dikonsepsi sebagai tempat suci pemuliaan Tuhan dalam menifestasinya sebagai ...

August 30, 2020
Esai

Rabies Yang Terus Menyalak

Sampai beberapa hari, bahkan seminggu setelahnya, saya masih merasakan nyeri bekas suntikan di lengan atas ini. Saya harus menerima, total ...

June 24, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Moch Satrio Welang dalam sebuah sesi pemotretan
Kilas

31 Seniman Lintas Generasi Baca Puisi dalam Video Garapan Teater Sastra Welang

by tatkala
January 27, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Puji Retno Hardiningtyas saat menyampaikan ringkasan disertasi dalam ujian terbuka (promosi doktor) di Universitas Udayana, Selasa, 26 Januari 2021.
Opini

Antara Keindahan dan Kehancuran | Wacana Lingkungan Alam dalam Puisi Indonesia Modern Karya Penyair di Bali Periode 1970-an Hingga 2010-an

by Puji Retno Hardiningtyas
January 28, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1363) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (312) Kiat (19) Kilas (193) Opini (472) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (330)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In