Pertama-tama, saya ucapkan selamat kepada semua ibu. Sebab hari ini adalah Hari Ibu. Maka keberadaan kita ramai-ramai dirayakan. Hah, kita? Ya, artinya saya juga. Sebab saya juga ibu. Ibu baru. Ibu yang masih cupu.
Hari Ibu ini boleh kita rayakan dengan cara apa saja. Yang penting kita senang sehingga kita merasa ada. Selain kita menghadiahi diri sendiri, anak-anak, dan suami pun turut terlibat dalam perayaan hari ibu ini. Mereka akan memberi kado, bunga, kue, tiup lilin, atau apa pun yang disukai oleh sang ibu. Tak jarang ada juga yang makan-makan, jalan-jalan, atau nonton bareng keluarga. Perayaan hari ibu jadi meriah akhirnya.
Memang, selama ini perayaan Hari Ibu hanya melibatkan ibu dan anak. Atau hanya melibatkan ibu dan suami saja, tepatnya ayah dari anak-anak. Padahal, akan tambah lengkap rasanya jika Hari Ibu dirayakan oleh sesama ibu. Dengan cara apa saja. Cara mudah atau cara susah. Yang mana cara mudah? Ya itu tadi, memberi kado, bunga, kue, dan tiup lilin. Tinggal beli. Lalu, yang susah? Yang susah adalah menghargai setiap geraknya, langkahnya, tindakannya, keputusan-keputusannya. Cuma gitu doang? Di mana letak susahnya? Sini saya ceritakan.
Menurut saya menghargai sesama ibu adalah pekerjaan paling sulit. Sebab, hal ini mulai jarang dilakukan. Ibu yang satu, menghargai ibu yang lain, jarang ada. Lebih-lebih kalau merasa senior. Kenapa jarang ada? Ya itu tadi, mungkin karena menghargai adalah pekerjaan yang sulit.
Okai, kita mulai dari perjalanan menuju menjadi ibu. Menuju menjadi ibu banyak jalan. Dan setiap ibu bebas memilih jalannya. Sebab, itu haknya. Sebab itu keyakinannya. Ada yang menuju menjadi ibu tanpa mengandung. Ada yang menuju menjadi ibu dengan jalan persalinan normal. Ada juga dengan jalan caesar. Apa penyembuhannya berbeda? Jelas beda.
Kalau jadi ibu tanpa mengandung, yang disembuhkan adalah hati. Kalau jadi ibu dengan jalan persalinan normal, yang disembuhkan adalah vagina. Kalau jadi ibu dengan jalan caesar, yang disembuhkan adalah perut. Semuanya sakit? Sakit. Sakit yang sama. Letak sakitnya saja yang berbeda.
Tapi sayang, sebagai sesama ibu, masih saja ada yang mengungkit-ungkit jalan menuju menjadi ibu ini. Semisal, “Kalau ketuban pecah, kenapa ga langsung caesar? Kenapa tetep lahiran normal? Ga kasian sama bayinya? Ga punya uang ya, buat caesaran?”
Atau begini, “Normal atau caesar, Say? Wah enaknya ga ngerasain sakit.” atau ada juga yang begini, “Oh Caesar, berarti belum merasakan perjuangan menjadi seorang ibu dong.”
Halo, sesempit itukah makna perjuangan? Perjuangan menjadi ibu itu bukan hanya saat melahirkan saja, Saudara-Saudara. Tetapi setelahnya. Setelahnya apa kita adalah ibu yang bertanggung jawab? Di saat itulah ada perjuangan yang lebih panjang.
Okai, kita lanjutkan. Setelah itu, anak kita pun lahir jadi manusia baru. Kita juga lahir. Lahir menjadi ibu. Kita melahirkan anak kita. Kita melahirkan diri kita sendiri juga.
Semua perempuan yang menjadi ibu tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Terbaik tentang pola asuh, tentang pendidikan, atau yang paling sederhana adalah terbaik tentang makanan anak. Tujuannya apa lagi, kalau bukan agar anak bertumbuh dan berkembang sesuai harapan dan mimpi ibunya.
Berbicara tentang pola asuh. Sama seperti menuju menjadi ibu, pola asuh pun sering dijadikan persoalan. Padahal, setiap langkah yang diambil dan dijalankan oleh seorang ibu merupakan jawaban atas sikap-sikap atau prilaku anaknya. Tap-tiap anak butuh penyikapan yang berbeda bukan? Perilaku anak yang berbeda. Maka penyikapan yang berbeda. Tenaga yang berdeda pula.
Ini contoh kecilnya. Ada anak yang ketika bayi, hanya tidur. Tak merengek minta jalan-jalan. Tak minta digendong ibu. Jika begini seorang anak, maka ibu akan membiarkannya tidur saja. Bila perlu digendong, gendong sesekali saja. Hanya ketika menyusui, misalnya. Setelah itu, ibu bisa pergi, belanja sebentar, beres-beres rumah, maskeran, luluran. Meninggalkan anak Sendirian. Apa ibu salah? Tentu tidak.
Tapi ada juga anak yang suka gendong. Ketika tidur ingin digendong. Ketika tidur ditinggal, tidurnya tak akan senyenyak saat ditemani. Jika begini seorang anak, maka ibu akan menggendongnya, menemani tidurnya. Apa ini salah? Bagi saya tidak juga. Namun, sebagian ibu percaya bahwa cara ini salah. Anak akan jadi manja dan terbiasa dibegitukan. Ya soal salah menyalahkan, sebagian ibu memang senang.
Pernah dengar mitos kalau bayi terus-terusan digendong, maka tubuhnya akan bau tangan? Menurut saya, ini mitos terjahat yang pernah saya dengar. Sedih rasanya jika gendongan seorang ibu dianggap tabu. Lalu, kalau bayi suka naik kereta dorong, maka tubuhnya akan bau besi kereta dorong? Atau kalau bayi suka di taruh di kasur, maka tubuhnya akan bau spring bed? O iya, mitos ini bisa dipakai alasan kalau ada ibu yang malas ngempu.
Sekarang tentang makanan. Makanan bayi yang jadi bulan-bulanan. Apa lagi kalau bukan susu formula? Saya membahas ini bukan karena saya seorang ibu yang tak kasi ASI. Anak saya minganjak enam bulan. Selama enam bulan pula makanan anak saya adalah ASI. Tapi, saya sangat sayang terhadap ibu lainnya.
Tak pernah rasanya saya ingin hati ibu lain tersakiti gara-gara pertanyaan, “Mengapa tak kasi ASI?”. Sebab, dari lubuk hati yang paling dalam dan yang paling luas, semua ibu pasti ingin menyusui. Hanya saja, mereka memiliki kendala untuk bisa melakukannya. Mungkin ada yang pernah punya kendala menyusui, tapi tidak menyerah dan bisa melewatinya sehingga bisa menyusui anak-anaknya. Itu sungguh ibu yang luar bisa. Tapi tentu kita tidak boleh tinggi hati dengan perjuangan yang kita lakukan ini. ASI atau susu formula. Keduanya pasti dipilih bukan tanpa alasan. Keduanya pasti dipilih dengan jalan diskusi dan secara sadar.
Sebagai sesama ibu, kita harus belajar mendengar. Menerima alasan dari setiap keputusan-keputusan. Sebab setiap ibu pasti berusaha memberi yang terbaik untuk anak-anaknya. Kalau hubungan baik ini terjalin, maka Hari Ibu bukan hanya dirayakan oleh anak dan suami saja. Tapi oleh kita, sesama ibu juga. Mari, rayakan. [T]