Tiga malam sejak tanggal 17, 18 dan 19 Desember saya sedang mengurus pentas akhir mata kuliah drama Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Undiksha. Empat naskah karya saya dipentaskan. Belum usai benar euforia mahasiswa yang selesai ujian drama, lalu Jumat, 20 Desember 2019 saya menerima kabar Sunaryono Basuki Ks, bapak akademik saya di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris meninggal dunia.
Semalam sebelumnya saya menulis ulasan panjang tentang kilas balik sejarah drama di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Begitu panjang tulisan itu, saya kirim untuk diterbitkan di tatkala.co tapi entah kenapa saya urungkan, saya bilang ke editor, jangan terbitkan dulu, aku akan edit lagi.
Dalam tulisan itu saya menelusuri banyak rekam sejarah drama di bawah asuhan Pak Bas, begitu saya memanggilnya. Tulisan dia saya temukan tentang ulasan pentas drama. Malam itu saya menulis hingga jam 2 pagi. Kepala berat sekali. Dan esoknya ternyata Pak Bas pergi.
Kenangan dengan Pak Bas terlalu banyak. Saya merasa harus berterimakasih pada beliau karena berkat beliau saya bisa mengajar mata kuliah yang kini saya ajar, drama. Sesungguhnya sejak mahasiswa saya sudah sering membantu Pak Bas menjadi asisten beliau mengajar, menerima tugas menilai UTS dan UAS juga memasukkan nilai.
Saya sering juga dimintai tolong memeriksa paper tugas. Sering juga dimintai tolong mengirimkan naskah tulisan, mengirimkan buku, dan atau mengedit tulisan beliau. Beliau memberikan alamat email beliau plus password-nya agar saya bisa mengirimkan karya beliau ke penerbit atau ke koran. Tak jarang pula saya diminta membalaskan email responnya. Kadang juga diminta bantuan menerjemahkan. Saya melakukan dengan riang karena saya juga banyak belajar.
Pak Bas pula mengajar saya pertama kali drama berbahasa lnggris. Pertama kalinya pula saya menyutradarai naskah drama berbahasa Inggris karya Oscar Wilde, Lady Windermere’s Fan pada tahun 2005, semester 5 ketika itu. Pemain utamanya ketika itu Ayu Puspita Dewi, Pradnyana Bayu Trisna, Wahyudi Suprayatna dan Cok Anre Juniana. Kami berlatih keras. Respon Pak Bas ketika itu pendek saja, Bagus. Beliau tahu bahwa mewujudkan drama tidaklah mudah. Beliau menemani kami latihan, memberikan masukan dan memberi joke joke segar.
Saat itu salah satu pemain saya tidak bisa menggunakan gesture tangan dengan baik. Dia selalu menyembunyikan tangannya di balik punggung. Sementara pemain lain terus terusan menggunakan tangannya seperti orang pidato. Mengacung ke atas dengan jari jari terkembang seperti memberi arahan. Saya bingung harus saya apakan mereka agar tangannya efektif. Lalu iseng saya bertanya pada Pak Bas, “Pak sebaiknya diapakan Pak ya tangannya biar bagus.”
Di luar ekspektasi, Pak Bas menjawab, “Kalau ga bisa dipakai tangannya, dipotong aja.” Beliau menjawab kalem tapi memberi ledakan dahsyat di pikiran saya. Artinya, ya pikirin sendiri dong. Kan kamu sutradaranya. Sejak itu saya berusaha keras menjadi lebih efektif dalam menyutradarai.
Semester berikutnya, beliau menjadi pembimbing skripsi saya dan selalu mendukung saya tamat cepat. Di tahun 2006 saya tamat. Lalu 2007 saya menjadi dosen kontrak satu tahun. Lalu 2008 menjadi PNS.
Sejak 2008 hingga saat ini, 11 tahun sudah saya mengajar mata kuliah ini, dan saya selalu mengingat Pak Bas. Jika bukan karena beliau saya pastilah bukan apa apa.
Sejak itu pula saya mencintai drama, dan Pak Bas sepertinya menemukan pengganti untuk meneruskan beliau yang purna bakti. Buku teater warisan beliau yang saya pegang sampai saat ini adalah The Theater Experience karya Edwin Wilson. Sementara buku warisan di bidang prose fiction adalah The Anatomy of Prose Fiction karya beliau sendiri.
Dua kitab suci itu mewarnai perjalanan karir akademik saya. Hingga kemudian di tahun 2013 saya menerbitkan kumpulan naskah drama berbahasa Inggris “The Story of A Tree” yang pengantarnya ditulis oleh Pak Bas sendiri. Beliau selalu mendukung setiap karya saya, sejak awal. Setiap naskah saya terbit di koran nasional misalnya, Pak Bas selalu memberi selamat pertama.
Saat kuliah dulu, beliau biasa duduk di kursi kayu panjang di lobi dan memberi salam ke mahasiswa atau dosen yang lewat. Biasanya di saat seperti itu saya disapa dan diberi motivasi. Hal hal sederhana lainnya adalah beliau selalu mengingat mengirimkan ucapan selamat ulang tahun pada saya, dan tak pernah terlambat. Tradisi ini juga berlanjut setelah saya menikah. Bahkan beliau juga mengucapkan selamat ulang tahun pada suami saya. Tak pernah terlambat juga.
Tentang drama, beliau selalu setia menonton drama sekalipun beliau sudah tidak mengajar lagi. Saya menjemputnya ke rumah dan mengantarkan kembali. Bahkan ketika beliau sudah di kursi roda. Saya kadang masih menjemput beliau. Namun Ibu Bas kadang mengingatkan agar Bapak tidak terlalu lelah, Ibu dengan halus mengatakan Bapak tidak usah dijemput lagi.
Sebab belakangan Pak Bas tidak hanya lelah, namun juga tidak bisa duduk lama di kursi roda. Saya menjenguk Bapak di rumahnya. Beliau terbaring sepanjang hari. Tidak pernah atau jarang sekali keluar rumah. Kalaupun keluar hanya sampai beranda saja. Berjemur. Lalu masuk lagi. Saya sering berkunjung. Jika Bapak berulang tahun, saya menjenguk Bapak dengan Putik. Kami menyanyi. Putik baca puisi. Itu terjadi saat Bapak masih di Singaraja. Sejak terbaring selama 3 tahun di Singaraja, Bapak berpindah pindah posisi.
Awalnya di kamar depan, lalu di kamar samping yang temboknya harus dijebol agar memudahkan Bapak ke kamar mandi. Pindah lagi ke depan tivi. Agar Bapak bisa menonton berita. Saya menyaksikan Bapak masih sangat senang dikunjungi. Dalam kunjungan itu kadang Bapak meminta dibelikan minuman teh, atau dibawakan makanan, yang sedapatnya saya belikan.
Pernah satu malam, Pak Bas SMS minta sate ayam. Lalu saya baru saja hendak keluar membeli sate ayam, tapi urung karena Ibu kemudian menelpon tidak usah. Merepotkan. Padahal saya sudah tahu Bapak ingin sate dan saya mau membelikan tapi Ibu lebih tahu bahwa Bapak sering melanggar diet. Dan Ibu yang repot. Saya menuruti Ibu. Kadang ibu kelihatan lelah.
Pernah juga ibu bercerita, rumah mereka kemasukan maling. Mungkin diketahui hanya tinggal berdua, maling leluasa masuk. Pintu yang terkunci dicongkel dan uang ibu dibawa pergi.
Saya sedih sekali waktu itu. Ibu sendiri menjaga Bapak. Dan kalau terjadi apa apa tentulah tidak bisa berbuat banyak. Kejadian ini beberapa kali terjadi. Ibu cemas dan akhirnya tahun berikutnya kira kira 2014, Bapak pindah ke Jimbaran, ikut anak anaknya. Rumah mereka di Bukit Beranda. Kawasan yang tenang dan jauh dari kebisingan.
Saya menjenguk beberapa kali kesana. Tiga kali. Itupun Bapak sudah berpindah posisi. Pertama di kamar depan, lalu di ruang tamu. Total hampir sembilan tahun Bapak berbaring. Beliau sangat semangat dan sabar.
Tak sekalipun beliau mengeluh. Saya masih ingat beliau senang sekali menyambut Putik dan Kayu. Lalu minta dicium pipinya. Terakhir sekali bertemu Bapak di tahun 2018 saya membawakan buku saya dan bapak memberi saya buku. Di tahun 2019 saya sibuk luar biasa. Terutama bulan Oktober hingga Desember. Saya berencana menjenguk beliau namun sudah didahului dengan kabar duka ini.
Saya mencoba tidak menangis. Saya sesak tapi tidak menangis. Ke rumah duka, saya melewati jenasah Bapak di ruang tamu. Ruang biasanya beliau menerima kami. Di ruang itu pula Bapak menerima kami namun dalam kondisi berbeda. Rumah itu, hampir semua sudutnya saya hafal betul. Semua ada kenangan Bapak. Siluet Bapak ada dimana mana dalam bayangan. Dan kemarin saya benar benar hilang suara.
Ibu bercerita bahwa Bapak pergi dengan tenang. Mungkin memang sudah waktunya. Hari baik. Jumat. Lalu hari ini Tumpek Landep. Hari suci Hindu yang dimaknai dengan pemujaan terhadap ketajaman pikiran. Dan Ibu berkata Tumpek Landep adalah hari kelahiran Ibu dalam kalender Bali. Bapak pergi saat Ibu “lahir”.
Kisah cinta mereka juga tak kalah menarik. Ibu berkata sejak beberapa hari menjelang pergi Bapak selalu minta ditemani. Minta ijin mencium Ibu. Bahkan mengajak Ibu ikut, agar tak sendiri. Tapi Ibu mengatakan kalau belum waktunya ya tidak bisa bersama sama. Sangat menyentuh. Bapak kemudian seolah minta ijin sekali lagi pergi, lalu Ibu mengijinkan.
Dramatis. Persis seperti adegan drama.
Sejak ujian drama kemarin, saya menelusuri sejarah drama bersama Bapak. Tulisan Bapak saya dapatkan di beberapa situs. Tulisan panjang yang belum saya publikasikan itu oleh karena suatu hal, akhirnya didahului dengan tulisan ini. Drama memang tak pernah berakhir. Juga meskipun Bapak sudah pergi maka drama tak boleh tak ada. Tak boleh berakhir dan tak akan berakhir. [T]