Satu lagi kumpulan puisi berbahasa Bali lahir, lahirnya dari sebuah komunitas di Bangli, Bangli Sastra Komala. Buku kumpulan Puisi Puspanjali, sebuah buku hasil kompilasi beberapa puisi peserta lomba penulisan puisi yang diselenggarakan berkaitan dengan hajatan bulan bahasa Bali awal tahun 2019.
Buku ini berisi 37 puisi peserta lomba, ditambah 34 puisi dari sastrawan Bangli yang diundang untuk berpartisipasi mengirimkan puisinya. Ada beberapa hal menarik yang patut dicatat dari lahirnya buku kumpulan puisi ini, pertama, buku kumpulan puisi ini adalah bentuk pertanggungjawaban secara moral-sastra panitia penyelenggara lomba puisi serangkaian bulan bahasa Bali. Membukukan hasil lomba cipta karya sastra menjadi sebuah karya antologi adalah sebuah kewajiban moral-sastra yang seyogyanya harus dipenuhi oleh panitia penyelenggara lomba. Bukan perkara sepele, hal ini adalah usaha untuk mendokumentasikan setiap karya sastra yang telah lahir dari rahim sang penulis. Dokumentasi sastra ini juga kelak akan menjadi bagian dari sejarah sastra kita.
Usaha mendokumentasikan setiap karya yang lahir dari ajang sayembara atau lomba sastra Bali modern sempat menjadi hal rutin di era 1960-1970an. Kala itu Lembaga Bahasa Nasional dan Listibya yang mengadakan lomba-lomba sastra Bali modern membukukan karya-karya yang menjadi jawara dalam perhelatan tersebut. Nyatanya, produk dokumentasi tersebut hari ini perperan penting sebagai data primer melihat sejauh mana sastra Bali modern bergerak dalam kancah sejarah sastra di Bali. Tradisi dokumentasi ini kemudia alpa dilakukan oleh banyak penyelenggara lomba sastra, sehingga praktis kita kehilangan atau melewatkan begitu banyak dokumen sejarah pergerakan sastra, khususnya sastra Bali modern. Hari ini, dokumentasi berupa buku bukan hal yang rumit dan sulit, buku tak mesti dicetak, buku bisa dalam bentuk digital, dan justru ini menjadi kemudahan tersendiri dari sisi distribusi dokumentasi tersebut.
Catatan kedua dari lahirnya buku ini adalah buku ini menjadi salah satu buku antologi puisi bahasa Bali yang seluruh penulisnya adalah berasal dari satu daerah yang sama, Bangli. Semacam antologi sastrawan Bangli, kemudian berbicara soal Bangli, dan berkontribusi tidak hanya untuk sastra di Bangli. Sepanjang pengetahuan saya, dalam sastra Bali modern terdapat beberapa antologi puisi yang ditulis untuk didedikasikan pada satu kabupaten/kota, namun penulisnya tak semata berasal dari kabupaten/kota tersebut. Penulisnya berasal dari luar kabupaten/kota tersebut namun tinggal menetap di kabupaten/kota tersebut. Dalam bahasa rasisnya, penulisnya bukan orang pribumi, maaf. Perihal satu ini, barangkali tidak berdampak signifikan pada kualitas karya yang menjadi bagian antologi puisi tersebut. Hanya saja dari sudut pandang dokumentasi pengrang dan perkembangan kesejarahan pengarang, hal ini sangat penting.
Catatan ketiga adalah munculnya kejahatan sastra dalam hajatan lomba cipta karya puisi yang melatarbelakangi lahirnya buku ini. Dalam catatan pengantar yang ditulis Putu Supartika selaku salah satu juri saat lomba penulisan puisi tersebut, setidaknya ada 3 puisi yang mengandung unsur plagiat. Supartika adalah pembaca suntuk karya sastra, tentu saja sangat jeli mengamati setiap karya peserta lomba sehingga puisi-puisi hasil plagiasi tak mungkin lolos dari pengamatannya. Hal ini menjadi luka bagi khasanah sastra, meski ini bukan kejadian pertama dalam dunia sastra, namun cukup menyakitkan mengetahui peserta yang melakukan tindak kejahatan sastra semacam ini. Peserta dominan adalah siswa sekolah, mereka berkarya atas nama pribadi mewakili sekolah, kita tak sedang mencoba menghakimi yang salah. Jelas sudah ini buntut dari iklim kejujuran yang tak dibangun dengan baik, bahkan mesti tak jujur pada sastra, ruang paling bebas sejagat raya. Ini menyedihkan sekali!
Mari beranjak untuk beranjangsana pada buku antologi Puspanjali, diawali dengan cover buku. Bagian awal yang menjadi titik daya tarik buku, secara pribadi, saya meyakini cover memegang peranan penting. Sebabnyalah, pembuatan cover buku wajib mendapatkan perhatian serius penggarapannya. Buku Puspanjali menggunakan salah satu karya perupa muda Bangli, Tien Hong, sebagai lukisan yang menghiasi cover buku. Lukisan bergaya abstrak ini sangat menarik, ekspresi seniman muda ini luar biasa bebasnya.
Permainan warna yang kontras dengan pola yang tak beraturan menunjukkan kekuatan ekspresi seniman, serta simbol-simbol numerik pada latar lukisan yang barangkali menjadi identitas pelukis dalam karya-karyanya. Jika melihat tema yang diusung dalam antologi ini, “Merdeka Seratus Persen”, lukisan ini cukup mewakili ekspresi merdeka. Lukisan ini sepertinya tidak disiapkan secara khusus untuk cover buku, sehingga lukisan sepertinya tidak mampu menjadi cover secara penuh dalam buku. Lukisan yang begitu ekspresi dan penuh kesan “merdeka” menjadi terganggu dengan hadirnya garis kuning pada bagian depan cover, serta garis vertikal pada bagian belakang. Garis-garis tegas bergradasi kuning ini justru menghadirkan kesan tak seirama pada jenis lukisan yang sangat ekspresif. Jika dipandang, kehadiran garis-garis kuning pada cover depan pun bagian belakang ini tak mengimbangi lukisannya.
Kita lanjut beranjak pada bagian isi. Tema “Merdeka Seratus Persen” menjadi kesepakatan panitia sekaligus menjadi rambu-rambu bagi penulis dalam antologi ini. Tentu peserta lomba maupun penulis undangan akan menginterpretasi tema besar tersebut, hingga akhirnya lahirlah karya dengan interpretasi “merdeka” yang sangat dominan. Merdeka oleh sebagian penyair masih dilihat dalam konteks perjuangan dan peperangan atas penjajahan atau kolonialisme. Interpretasi sebagian penyair ini mengangkat isu-isu perjuangan membebaskan diri atas kolonialisme, aroma romantisme masih sangat kental pada sebagian besar karya para penyair dalam buku ini.
Sebagian lagi penyair mampu melihat tema merdeka sebagai sebuah sudut pandang menyikapi perubahan gerak jaman. Penyair-penyair ini berkarya dengan mengusung tema dari perspektif yang tidak berbingkai koloniaslime. Beberapa justru melihat kemerdekaan dari sudut pandang politik, ideologi, yang bahkan menarik adalah cinta. Politik dan ideologi adalah hak yang memang mesti dimerdekakan dengan penuh. Penyair-penyair ini menyampaikan suara kemerdekaan mereka dalam berpolitik dan mengusung ideologi. Diksi para pengusung kemerdekaan ini lugas dan lagas, tanpa perlu berkulit dan memutar. Memang beberapa diantaranya menggunakan bahasa simbolik, namun tak mendayu-dayu. Latar belakang penulis yang berada pada generasi muda ini mempengaruhi pilihan kata mereka pada tataran yang cenderung terbuka tak terlampau berbunga.
Beberapa puisi terlihat menggunakan tipografi yang cukup variatif. Tipografi ini menjadi unsur estetika visual dalam puisi yang mampu menarik kesan awal pembaca. Tipografi juga cukup mampu menutup beberapa titik lemah pemilihan kata dari penyair. Meski tak seluruh penyair dalam buku ini memanfaatkan tipografi yang spesifik sebagai identitas karya. Beberapa justru menghadirkan bentuk tipografi yang asik. Salah satu contohnya puisi-puisi karya I Made Supartha yang menggunakan tipografi bentuk dan tipografi aksara. Made Supartha memanfaatkan penggunaan tanda-tanda diakritik dalam setiap kata yang menyusun puisinya. Membaca tipografinya saja kita butuh waktu cukup untuk memahaminya sebagai sebuah relasi isi dan bentuk, yap,,,puisi-puisi karya Made Supartha ini sangat asik.
Beberapa penyair dalam buku ini justru mempertanyakan tema yang diusung dalam buku ini. Mereka menulis kegelisahan tentang hakekat sebuah kemerdekaan, tentu saja ini adalah potret kegelisahan yang mereka tangkap dalam keseharian. Mereka mempertanyakan kembali soal kemerdekaan meraih pendidikan, kemerdekaan menyuarakan pendapat, mereka menanyakan kembali kemerdekaan sebagai pembayar pajak, mereka seolah menjadi antitesis pada tema buku. Pada bagian ini, penyair yang menempatkan diri sebagai antitesis tema justru cukup mampu menarik perhatian. Sebab interpretasi mereka soal kemerdekaan justru dengan mempertanyakannya. Tema buku yang bermakna sebuah seruan, justru beberapa penulis menghadirkan pertanyaan, tanda seru di jawab tanda tanya.
Bentuk-bentuk kegelisahan dan mempertanyakan kemerdekaan justru banyak hadri dari puisi-puisi yang ditulis anak-anak muda. Menjelajah jauh ke wilayah-wilayah marginal tempat kelahiran mereka, Bangli. Bagi mereka, di tengah modernitas di segala bidang dan gemerlap euforia Bali sebagai pulau surga [?], mereka melihat sendiri sebaya mereka mesti berjuang keras hanya untuk sekolah, melihat desa yang tak terjamah perkembangan dan fasilitas pembangunan, ironi tentang kemerdekaan menjadi warga negara. Suara mereka tegas, lugas, dan menjadi suara sebuah potret sosial di masyarakat sosial mereka.
Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam antologi ini memang memiliki kualitas yang tak merata. Sebagian penyair adalah penulis pemula yang bermodal niat tulus memulai berkarya, sebagian lagi penulis yang telah menjadikan sastra sebagai ladang hidup. Kurasi puisi dalam buku ini baik, membuat fluktuasi kualitas puisi yang naik turun, membuat pembaca cukup betah bertahan hingga halaman akhir. Artinya, kurator buku paham menempatkan puisi. Terakhir, banyak hal yang disampaikan dalam tulisan ini tak cukup jelas menggambarkan isi buku. Tujuannya satu, anda baca bukunya… [T]