Sabtu, 7 Desember 2019 adalah hari kedua dilaksanakanya pementasan oleh Tabu Project, peraih hibah Seni Kelola 2019 dalam kategori kolaborasi. Pementasan berlangsung di Cush-Cush Gallery, Denpasar, Bali. Dalam lingkaran Tabu Project ada lima seniman muda yang bergerak dibidang berbeda, yang kemudian menjadikan dirinya satu pilar untuk membuat sebuah project yang dinamakan Tabu Project.
Dalam lingkaran tersebut diantaranya ada Ninus sebagai penari sekaligus choreographer, kemudian ada bli Wayan yang lebih akrab dipanggil Swoof One sebagai visual director, mbak Myra Juliarti sebagai costume designer, lalu ada Agha sebagai music composer, dan Gung Indra sebagai videographer. Lima muda-mudi tersebut adalah bagian inti dari Tabu Project, walaupun masih ada beberapa kawan yang ikut dalam kolaborasi tersebut menjadi penari yang tidak sempat saya ketahui namanya satu persatu.
Menonton Tabu Project jujur saja saya tidak mempunyai interpretasi apa-apa sebelumnya, karena saya sendiri memang tidak memikirkan hal tersebut seperti teman-teman lainya yang sudah mempunyai bayanganya sendiri soal pementasan Tabu Project ini. Saya boleh jadi mengatakan diri saya adalah salah satu penonton yang jujur, sebab saya tidak mengetahui betul apakah Tabu adalah sebuah judul naskah dari narasi-narasi yang hadir dari wacana yang dikerjakan. Atau sebuah lakon drama yang dikembangkan.
Dari rumah, saya hanya berniat menonton pentas sambil ngobrol dengan teman-teman, sebab memang yang biasanya saya pentingkan jika ada pentas adalah selain menonton pementasan yaitu pertemuan dengan orang lain dan ngobrol tentang apapun. Apalagi jika usai pentas ada sesi diskusinya. Ini akan menjadi nilai tambah buat saya sebagai penonton untuk sekiranya mengetahui dan dapat mendengar cerita dalam proses kreatif pementas.
Tapi saat pentas berlangsung karena terlalu jujurnya saya menjadi penonton, saya sama sekali tidak mengerti ini sedang mementaskan apa. Saya sempat berpikir di tengah jalanya pementasan arti kata Tabu, sangat susah untuk saya menjelaskan ketika menerima moment yang hadir tersebut begitu cepat di depan mata saya. Tapi sebagai penonton yang jujur dan terbuka saya tetap menikmatinya, bahkan sangat menikmati sekali. Sebab secara estetika bentuk gerakan tari dan kemudian visual yang hadir di depan mata memang sangat memanjakan. Jadi saya memutuskan untuk berhenti memikirkan soal Tabu, saya lebih memilih untuk menyaksikan tiap adegan yang diberikan oleh pementas.
Dari awal pementasan dimulai dengan masuknya enam penari berbaju serba hitam, yang menari sekiranya mungkin merespown video mapping dan musik yang ada, atau memang sudah terchoreographerkan sesuai narasi. Saya tidak juga ingin mencari jawaban tersebut. Sebab pikiran yang timbul jika bertanya-tanya soal adegan dengan mudah dialihkan dengan adegan selanjutnya. Ditambah video visual mapping yang ciamik.
Bahkan untuk mengedipkan mata saja saya tidak rela karena takut kehilangan moment indah yang hadir di depan mata saya. Walaupun lagi-lagi saya ingat, bahwa saya tidak mengerti ini pementasanya berbicara tentang apa. Sebab tak ada teks yang hadir, hanya potongan-potongan video yang menyimbulkan sesuatu tapi yang tetap juga tidak menyadarkan saya ini tentang apa.
Akhirnya pentas selesai dan ditutup dengan ruangan yang gelap secara keseluruhan. Tentu saja ditambah dengan keriuhan tepuk tangan penonton yang begitu keras, itu adalah simbul bahwa memang visual yang hadir sangat bagus. Saya tidak juga ingin kelewatan moment tersebut, saya ikut serta tepuk tangan dengan riuh sekaligus bahagia akhirnya setelah pementasan selesai saya sekiranya dapat memikirkan tentang hal yang baru saja saya saksikan. Selain itu, bahagia juga karena akhirnya saya dapat meluruskan kaki saya, sebab selama 50 menit pementasan berlangsung saya tanpa sadar hanya duduk bersila saja. Sudah tak dapat dibayangkan bagaimana setiap adegan tersebut melintas di depan saya. Jika boleh saya akan memberikan delapan jempol, tapi apa daya jempol saya hanya empat.
Kemudian setelah menghela nafas beberapa menit dan minum air serta nyemilsedikit yang tentu sudah disediakan di tempat pentas untuk penonton. Akhirnya ada pembawa acara yang menyadarkan saya akan hal yang baru saja hilang karena terlalu merasa lega, saya lupa untuk mencari tahu tentang pementasan tersebut. Untung saja ada pembawa acara yang menyadarkan akan ada sesi diskusi.
Akhirnya saat diskusi diadakan ada beberapa hal yang kemudian hadir dalam pikiran saya, tanpa saya sadari ternyata selama ini baru pertama kalinya saya menonton sebuah pementasan yang berwacana dan digali dengan jalan riset. Tapi dalam pembagian informasinya baik dalam sosial media ataupun dalam bentuk sebuah catatan seperti browser tidak ada sama sekali, alih-alih untuk membagikan data kecil kepada penonton atau lebih sederhanya sebuah sinopsis sebelum pentas.
Hanya ada poster dalam akun sosial media Tabu Project. Yang hanya berisi tanggal, tempat pentas, serta jam pementasan dimulai. Tidak lupa, tentu saja dengan visual yang tetap intensitas kebagusanya dijaga dengan kesadaran.
Saya baru sadar ketika sesi diskusi ada hal yang menjanggal saya, karena dalam menggali sebuah wacana apalagi disertai dengan riset tentu saja ada sebuah temuan yang kemudian nantinya dialih wahanakan menjadi sebuah narasi cerita untuk membangun sebuah adegan demi adegan. Lalu yang saya pertanyakan sekarang, kemana hasil data-data tersebut? Apalagi menariknya jika ini sebuah kolaborasi yang pasti bisa dikatakan mempunyai interpretasi yang berbeda dalam memandang wacana yang digarap. Saya baru saja sadar bahwa dari tadi saya mabuk dengan bentuk-bentuk yang hadir, sampai saya lupa dari mana asal usul narasi tersebut hadir dan menjadikanya bentuk semacam itu.
Sebab sebagai penonton yang tak hanya ingin menonton saja, saya merasa tidak puas ketika jejak-jejak tersebut harus dimaklumi oleh penonton hilang begitu saja. Lalu bagaimana menyusun proses kreatif, jika data tersebut dihilangkan dengan begitu saja. Akan tetapi pementasan tersebut katanya selalu mengalami perkembangan, bahkan empat jam sebelum pentas hari kedua berlangsung. Lalu bagaimana merumuskan atau merancang adegan baru jika data atau narasi tertulis tidak ada.
Kemudian saya sebagai penonton yang latar belakangnya aktor teater pastilah mempunyai rasa ingin tahu lebih, terutama kepada para pelaku di atas panggung. Pun demikian saya rasa dengan penonton lainya yang sekiranya mempunyai latar belakang yang sama dengan para anggota kolaborasi. Baik penonton yang latar belakangnya musik, visual mapping, ataupun videographer.
Saya yakin pasti ada penonton yang memang fokus menyaksikan lebih detail soal itu. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, dimana kami sebagai penonton yang kagum dan ingin sekiranya mengapresiasi karya tersebut bisa mendapatkan jejaknya. Atau sekiranya mungkin bisa membuat kelompok kolaborasi lagi pasca pentas dari data temuan yang ada kemudian dikembangkan.
Saya rasa akan menarik sekali jika semisal dapat mengintip rekam jejak dari tiap multi disiplin tersebut, agar tidak menjadi hanya sebatas penonton yang tepuk tangan lalu pulang dengan pemikiran yang kosong.
Menyoal Tabu sendiri saya sangat baru mengerti konteksnya ketika sesi diskusi. Konteks Tabu menjadi sangat begitu menakutkan bahkan lebih menakutkan mungkin dari hukum tradisi. Apa-apa yang Tabu tak boleh dipertanyakan sama sekali. Sebab kata Mbak Ninus sendiri, “Tabu itu tidak bisa dijelaskan dan disimpulkan artinya secara mudah”.
Jika benar demikian, tentu saja untuk mengetahui bahwa Tabu tidak mudah ditemukan artinya pasti ada sebuah proses pencarian panjang, sampai akhirnya menemukan jawaban tersebut. Lalu kemana proses panjang sebelum menemukan jawaban tersebut, apakah semata-mata bisa dijadikan sebagai simbul saja tanpa ada penjelasan yang megandeng untuk menghidupkan simbul tersebut. Mungkin jika saya tidak ikut sampai akhir diskusi lalu saya memilih pulang usai pentas, bisa jadi saya mempunyai interpretasi sendiri tentang pentas tersebut bukan lagi soal wacana dasar yaitu Tabu.
Sebab rasanya akan lebih menarik jika misal saya mengartikan pentas tersebut bagaimana situasi saat ini ketika kaum lelaki memperbutkan wanita. Apalagi ada potongan film yang memperlihatkan ayam yang sedang berkelahi atau seperti metajen dalam istilah Bali-nya. Kemudian konteks Tabu itu seolah hilang begitu saja dan tidak berarti.
Lalu pilihan soal identitas pendatang yang mencoba mencari identitas ke-Bali-anya dengan cara medekatkan diri dengan wacana Tabu, saya rasa sifat ke-Tabu-an itu sendiri tidak hanya berkembang dan dipercaya di Bali saja. Namun di daerah lain pasti terjadi hanya contoh kejadianya yang berbeda. Jika memang tujuanya menyoal identitas pendatang yang harus mengetahui tanah tempat tinggalnya, saya rasa mengangkat wacana Tabu bagi saya terlalu jauh lompatanya.
Sedangkan saya sendiri yang lahir dan besar di Bali masih jauh untuk memikirkan itu, jika saya boleh menawar mungkin saya akan mengangkat wacana calonarang misalnya. Yang lalu dikerjakan dengan riset panjang dan dengan data yang mudah dicari, sebab banyak bantuan buku-buku calonarang yang saya rasa akan sangat mudah membantu untuk mengumpulkan data. Lalu menjadikannya sebuah narasi yang gampang diterima dan dimengerti banyak orang. Bonusnya jika itu berhasil mungkin saja saya akan dipanggil ahli calonarang. Tapi itu hanya tawaran saja, bukan bermaksud apa-apa.
Tapi tetap saja Tabu Project hadir secara estetika bentuk memang sudah tidak dapat lagi untuk sekiranya dipermaslahkan, ditambah lagi para penarinya saya yakin adalah orang-orang yang memang sudah dalam bidangnya. Namun yang menjadi catatan penting adalah lagi-lagi sebuah data yang melahirkan apa yang terjadi diatas panggung. Agar ketika ditanya sekiranya sudah mudah untuk menimbang jawaban, agar tidak seperti menggurui.
Karena konteks diskusi adalah berbagi proses kreatif untuk sekiranya menjadi penyamangat kita di kalangan seniman muda untuk saling berbagi. Mungkin saja nanti sebab pertemuan ini yang akhirnya sedikit menyadarkan jejak proses kita, dan akhirnya menjadi kerja kolaborasi yang benar-benar kolaborasi. Semisal jika memang tidak dapat menangani dalam menggerakan atau management akun sosial media karena begitu sibuknya menyediakan yang lain. Ditambah jadwal latihan yang begitu ketat, kan bisa saja mengajak kolaborasi orang yang memang dalam bidangnya.
Atau jika kesulitan untuk menulis data-data hasil riset yang begitu banyak dengan pandangan yang berbeda-beda, bisa saja mengajak tim penulis kecil-kecilan misalnya, untuk mempetakan ulang hasil data tersebut untuk sekiranya menjadi tanggung jawab sebagai sebuah kelompok kolaborasi. “Apakah itu kurang kolaborasi dari segi kolaborasi? Hahahaa”, jadi buruan kakak-kakak tunggu apalagi kebetulan saya sangat bersedia jika semisal diajak belajar bersama dan membantu.
Seperti kata mbak Gita salah satu pihak Yayasan Kelola yang kebetulan hadir di pementasan tersebut juga sedikit mengingatkan, bahwa pentingnya soal penonton. Yang ternyata tanpa disadari dapat memberi energy yang baik dengan cara memberi timbal balik kepada pementas. Mungkin ini adalah salah satu cara saya untuk memberikan timbal balik tersebut, sekali lagi selamat kepada Tabu Project pementasanya sangat keren secara bentuk. Namun saya sedikit menyayangkan soal gagasan ide yang tak selesai secara maksimal.
Pernah melihat dalam film drama di tv ada sebuah adegan yang menunjukan ada sesosok mahkluk halus yang berbicara di sebelah telinga kanan dan kiri. Yang kiri biasanya identik dengan suruhan jahat, warnanya merah dan bertanduk.
Saya rasa apa yang saya tulis diatas itu adalah suruhan mahkluk halus disebelah kiri telinga saya yang harus diutarakan. Namun kata makhluk halus di sebelah telinga kanan saya yang identik baik dan bersayap waranya ptuih. Begini katanya, “mungkin saja biar sekalian sesuai sama wacananya, jadi sekalian saja semuanya dijadikan TABU. Penggagasnya sungguh berhasil dan totalitas bukan?” [T]