Mendengar sebuah kesaksian memang menarik, apalagi itu adalah pengalaman yang sangat personal—rahasia. Ini cerita dari desa, ketika dua orang Pemangku berkisah tentang pengalaman spiritualnya. Pemangku yang pertama karakternya lembut, tenang, perenung, sementara Pemangku satunya lagi terlihat keras, emosinya meledak-ledak, rambutnya kisut, kumis jempe, jenggot semrawut, gemar merajah tubuhnya, isinya makhluk menyeramkan.
Konon menurut cerita, Mangku ini sering kerauhan. Menusuk diri dengan keris, teriak-teriak, mata melotot, dan sering ngoyotarak tabuh, menggigit dupa panas. “Hoos,” begitu ia menyemburkan panas.
Meski memiliki karakter berbeda, mereka berdua adalah Mangku di Pura Dalem di desa adat yang berbeda. Kebetulan, saya mengenalnya, suka mendengar cerita mereka, bahkan sampai larut malam. Urusan begadang, dua pemangku ini tak pantas dilawan. Menariknya, pengalaman spiritual mereka juga berbeda, ketika mereka melukiskan sosok Bhatari Durgha.
Pemangku yang saya sebut karakternya lembut, mengaku pernah didatangi Bhatari Durgha, wajahnya cantik, rambutnya panjang, baunya harum. Tidak seperti petapakan yang disungsung di Pura Dalem, mata membelalak, lidah menjulur, rambut kisut, kuku panjang, susu ngelenteng. “Beliau sangat cantik. Saya sampai menangis melihatnya,” kisahnya pelan. “Berarti selama ini saya keliru membayangkan beliau,” lanjutnya.
Saya terdiam. Teringat bacaan tentang arti istilah setra Gandamayu—yakni sebuah taman yang berbau harum. Bukan sebaliknya, berbau bangkai, anyir darah, busuk. Kuburan pun diidentikkan dengan taman berbau harum. Adakah ini bau Bhatari Durgha? Bisa jadi iya, jika kita kaitkan dengan kesaksian Pamangku yang memiliki karakter lembut ini.
Tetapi pengalaman berbeda datang dari pemangku yang karakternya keras, emosional. Ia juga mengaku sering memimpikan Bhatari Durgha. Tetapi kali ini wajah Bhatari Durgha berbeda seperti yang dilukiskan Pemangku sebelumnya. Ia malah nungkalik, melukiskan Bhatari Durgha mirip seperti petapakan di Pura Dalem: mata melotot, lidah menjulur keluar api, rambut panjang, taring tajam, kuku panjang, menari di atas pemuun setra. “Wajah beliau menyeramkan. Saya sering mimpi dicari oleh beliau. Setiap mimpi itu datang, saya masegeh di depan rumah. Beliau meminta labaan, jika tidak masyarakat akan gerubug. Akan banyak orang meninggal karena penyakit tak jelas. Terserah warga percaya atau tidak,” cetusnya meyakinkan. Menurut cerita masyarakat; pemangku ini ‘langganan’ kerauhan tiap piodalan.
Apa yang menarik di sini? Dua pengalaman tentang pertemuan dengan Bhatari Durgha. Yang satu berwajah cantik, yang satunya menyeramkan. Adakah yang pertama adalah Bhatari Uma yang belum dikutuk oleh Siwa? Bukankah setelah dikutuk Uma berubah wujud menjadi Durgha? Jika sudah berwujud Durgha, mengapa pemangku itu bisa bertemu wajah Durgha yang cantik dan berbau harum? Apakah Uma-Durgha, cantik dan menyeramkan ada di Pura Dalem?
Perhatian saya justru tidak ke sosok Bhatari yang dimimpikan ini. Tetapi ke sosok dua pemangku tadi. Adakah sifat-sifat diri si pemuja berhubungan dengan apa yang dipuja? Apabila sifat si pemuja tenang dan lembut, ia bertemu dengan Bhatari atau Dewa yang mewakili sifat-sifat tenang dan lembut, begitu juga sebaliknya, ketika si pemuja kuat akan karakter emosional, destruktif, meledak-ledak, maka ia bertemu dengan Bhatari atau Dewa yang mewakili karakternya?
Jika iya, ini artinya, representasi wajah Tuhan, Dewa atau Bhatari sangat berhubungan dengan sifat-sifat si pemuja. Jadi representasi tentang Tuhan dan si pemuja, adalah sesuatu yang ‘intim’. Adakah mereka adalah satu?
Jika kita hubungkan dengan situasi keberagamaan di Bali saat ini: fenomena kerauhan, antusiasme terhadap Calonarang dan sosok Rangda, ketertarikan pada pengeleakan, maraknya masyarakat yang nyungsung petapakan dengan ekspresi menyeramkan, apakah ini berhubungan dengan situasi, sifat, dan emosi kolektif masyarakat Bali saat ini?
Apakah ini juga berhubungan dengan krisis, dan situasi sosial Bali: kemacetan, sesaknya ruang hidup, sempitnya ruang ekspresi diri, problem keluarga, tingginya angka perceraian, meroketnya angka gangguan jiwa, angka bunuh diri, dan problem sosial lain? Atau malah sebaliknya, fenomena ini menunjukkan tingginya kualitas spiritualitas Bali sehingga layak disebut sebagai pulau spiritual?
Atau apakah ini mewakili ciri kepribadian Bali: yang dinamis dan skizofrenik secara kultural? Tidak seperti yang dilukiskan para antropolog kolonial yang memberi citra statis, seimbang, dan romantik atas Bali? Silakan setuju, silakan juga tidak.
Saya teringat dengan seorang praktisi Tantra, Julius Evola yang menyatakan bahwa ketertarikan pada Tantra-jalan realisasi diri—sangat berhubungan dengan situasi zaman, dan keadaan manusia. Paham atau ideologi keagamaan yang hidup di zaman Kerta Yuga dan Kali Yuga sangatlah berbeda.
Hal ini tergantung dari situasi zaman dan sifat pemuja. Seperti misalnya, pemujaan terhadap Dewi, atau aspek yang disebut Shakti dibedakan dalam dua jenis yakni pertama bercahaya (Parvati, Uma, Laksmi) dan yang kedua menakutkan, menunjukkan kegelapan, (Kali, durga, Bhairawi, Camunda).
Namun menurut Evola, tidak ada perbedaan terhadap dua karakter tersebut. Lalu? Evola menyebut Dewi yang sama dapat mengambil salah satu aspek ketika mencerminkan sikap penyembah yang mendekatinya. Sikap penyembah yang dimaksud Evola juga adalah si pemuja. Artinya, karakter dewi sangat berhubungan dengan sifat-sifat si pemuja. Yang berbeda adalah sifat si pemuja itu sendiri.
Pandangan Evola dalam bukunya The Yoga of Power: Tantra, Shakti, and Secret Way seolah memiliki korelasi dengan cerita yang penulis tulis di atas, bahwa representasi wajah Tuhan sangat berhubungan dengan sifat si pemuja. Atau jika kita cukil pandangan PT Raju dalam The Concept of Man in Indian Thoughtbahwa representasi Tuhan eksternal merupakan subordinat dari Atman di dalam diri.
Artinya, ekspresi ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari situasi eksistensial itu sendiri. Justru situasi eksistensial ini yang berpotensi melahirkan Sarwa Tattwa—termasuk pengalaman plural tentang apa yang kita sebut: Ketuhanan. Pengalaman personal yang bersifat plural inilah yang justru memperkaya ekspresi ketuhanan selama ini. Apakah teologi Bali berangkat dari sini? [T]