Empat puluh delapan judul tulisan tentang Manusia yang terangkum di dalam buku ini membicarakan perihal Manusia dari luar sampai dalam. Dari luar sampai dalam mengindikasikan tulisan dalam buku ini adalah hasil “petualangan” penulisnya sebagai musafir, dari asal hingga tujuan. Luar adalah asal, dalam adalah tujuan. Dalam konteks tattwa, asal dan tujuan itu sama saja. Yang namanya asal dan tujuan sama-sama ada di dalam, itulah pusat.
Tentu bukan kebetulan jika Manusia menjadi pusat pembicaraan dalam seri tulisan ini. Pandangan bahwa manusia adalah pusat, bisa ditemukan dalam teks-teks kuna. Sebagai pusat, maka arah ada di dalamnya. Maksudnya, arah akan diketahui jika benar-benar paham bahwa Manusia adalah pusat arah. Sebab manusia adalah pusat, maka segala sesuatu mengada darinya dan meniada kepadanya. Dengan bertumpu pada manusia, maka kanan dan kiri bisa diketahui. Begitupula arah timur, selatan, barat, utara dan seterusnya. Tidak lupa juga atas bawah. Tentang arah, ada Manusia Arah yang menyebutkan,
[…] Ada banyak arah di dalam tubuh, pilihlah jalan mana yang harus dipilih terlebih dahulu, melalui arah mana atma akan “dikeluarkan” dari dalam gua pusat jantung […] [Manusia Arah]
Sekali lagi, arah itu ada di dalam Manusia. Pusatnya adalah jantung! Jantung diibaratkan seperti gua, di dalamnya atma berada. Itu artinya pada jantunglah pusat hidup manusia, atau wilayah purusha dalam badan. Karenanya tanpa jantung, manusia tidak bisa hidup. Tentu saja pernyataan Manusia sebagai pusat ini belumlah selesai. Sekarang kita lihat apa yang dikatakan Manusia Otak.
[Di tengah langitada sebuah danau yang tersembunyi tempatnya. Di pertengahan danau yang suci itu menyembul sekuntum bunga padma. Kelopak padma itu berwarnaputih. Shiwa ada di pusat padma itu. Air danau itu adalah air kehidupan yang mengalir melalui tujuh sungai turun ke bumi […] [Manusia Otak].
Ada beberapa kata kunci yang bisa dilihat dalam petikan Manusia Otak di atas. Kata kunci itu adalah langit, danau, bunga Padma, putih, air kehidupan, tujuh sungaidan bumi. Selanjutnya dalam Manusia Otak, dijelaskan apa yang dimaksud sebagai langit. Langit tidak lain adalah rongga yang ada di dalam kepala. Sedangkan danau adalah otak yang ada di dalam rongga itu. Sekuntum bunga Padma dikatakan berada di dalam otak itu sebagai stana dari Shiwa yang berada di dalam sari Padma berwarna kuning. Tujuh sungai adalah tujuh lubang di kepala. Bumi tidak dijelaskan, tapi jika merunut pada penjelasan tentang tujuh sungai, maka yang disebut bumi adalah objek. Objek itu ada di luar dan di dalam tubuh manusia. Menurut tattwanya, di bumi inilah letak sarwa tattwa. Menurut penjelasan penulisnya, cerita selanjutnya dari Manusia Otak bisa dilihat pada Manusia Langit, Manusia Danau dan Manusia Padma. Ketiganya merepresentasikan otak manusia. Setelah dicari, cerita tentang Manusia Langit ternyata bisa ditemukan, sedangkan Manusia Danau dan Padma tidak. Kemana dua cerita itu?
Membaca kumpulan tulisan tentang manusia ini, memang seperti membaca sebuah teka-teki yang saling bersilang. Jawaban atas teka-teki itu tidak mungkin berada jauh, pastilah disitu-situ juga. Atau, justru malah teka-teki itu adalah jawabannya. Agar tidak penasaran ada baiknya kita baca bagian dari Manusia Otak yang menyatakan hal ini.
[…] Dinamakan Manusia Langit karena di tengah-tengah kepalanya ada langit, yaitu langit bhuwana alit. Di atas kepalanya juga ada langit, yaitu langit bhuwana agung. Langit dua bhuwana agung alit itu dihubungkan oleh sebuah gerbang bernama Shiwa Dwara – Manusia Langit juga disebut Manusia Danau, karena dari lahir sampai mati manusia tidak pernah tidak menjunjung sebuah danau di kepalanya – Manusia Danau juga dinamakan Manusia Padma, karena ada bunga Padma di tengah danau yang ada dalam rongga kepalanya […] [Manusia Otak].
Manusia Otak, Langit, Danau dan Padma penjelasannya menjadi satu di dalam Manusia Otak. Otak juga pusat, karena jika otak dihilangkan, manusia tidak bisa hidup. Manusia Arah dan Manusia Otak sedang membicarakan tentang pusat yang ada di tubuh bagian bawah yakni jantung, dan pusat pada tubuh bagian atas yakni kepala. Manusia Otak juga ada hubungannya dengan Manusia Ongkara dan Manusia Pranawa. Ongkara yang ada di alam otak, disebut Ongkara Wiku Petak. Tentang hal ini, kita bicarakan nanti. Sekarang kita lihat dulu penjelasan tentang Manusia Langit.
[…] Langit adalah jalan menuju Diri. Menurut ajarannya, pusat langit dalam diri adalah asal dari Ingat dan Lupa […] [Manusia Langit].
Langit yang dimaksudkan pada dua kalimat di atas, adalah langit dalam diri. Dimanakah itu? Menurut keterangan penulisnya yang didasarkan pada pustaka Jawa dan Bali kuno, langit dalam diri itu ada di otak dan hati. Otak adalah langit, sebab letaknya di kepala, dan di dalam kepala ada rongga yang diistilahkan sebagai langit. Hati juga adalah langit, sebab di dalam hati juga ada rongga hati yang disebut “langit tak bertepi”. Kedua langit itulah yang menurut ajarannya menjadi pusat dan asal dari Ingat juga Lupa. Maksudnya, otak itulah sumber ingat dan sumber lupa. Di sana ingatan muncul, maka di sana pula ia menghilang.
Di langit otak, konon ada lubang. Lubang dalam bahasa Bali disebut song.Song langit istilah yang digunakan untuk menyebutkan lubang di langit otak. Tentang lubang ini, ada satu bagian tentang Manusia Lubang, begini;
[…] Bungkus sendirilah kado untuk pikiran yang menunggu di gedong putih bernama otak. Ada suara samar-samar dari masa silam, yang tidak bisa didengar oleh telinga tapi dimengerti dengan jelas oleh pikiran. Suara itu berbicara tentang bolong: “Tutuplah lubang yang terbuka, dan bukalah lubang yang tertutup!” […][Manusia Bolong].
Jadi ada dua jenis lubang menurut kutipan di atas. Ada lubang yang terbuka, dan ada lubang yang tertutup. Lubang yang selalu terbuka di dalam tubuh adalah lubang pori-pori. Lubang yang tertutup itu ada di ubun-ubun, titik tengah dahi, ujung hidung, pusar, ujung jempol kaki, dan di pusaran rambut. Di dalam penjelasannya, ada satu lagi jenis lubang. Itulah lubang yang bisa dibuka dengan bayu, sabda dan idep. Lubang itu adalah sembilan jenis lubang yang dipilah menjadi tujuh lubang di kepala, dan dua lubang pada tubuh bagian bawah.
Di akhir kutipan di atas, dianjurkan untuk menutup lubang yang terbuka dan membuka lubang yang tertutup. Jika lubang yang terbuka adalah pori-pori, maka tutuplah pori-pori itu. Jika sembilan lubang lainnya terbuka dan tertutup, maka tutup pulalah lubang itu. Lubang tertutup itulah yang mesti dibuka. Lalu bagaimana cara membukanya? Di atas juga telah disebutkan, bahwa sabda, bayu dan idep itulah kuncinya. Ada lagi lubang yang terdapat di jantung, yang menjadi tempat menyatukan dan memisahkan Bapa Langit dan Ibu Bumi. Bapa Langit adalah sari pikiran, Ibu Bumi adalah tubuh. Jadi memisahkan dan mempertemukan antara pikiran serta tubuh, dilakukan di lubang jantung. Memisahkan pikiran dengan tubuh, bertujuan untuk melepaskan atma dari kurungan badan. Tentang pelepasan ini, dianalogikan seperti tamasya di dalam tubuh. Perjalanannya dari luar ke dalam diri. Sekali lagi, dari lapisan luar, Ke Diri.
[…] Yang dimaksud dengan “diri” adalah atma. Perjalanan ke diri adalah perjalanan menuju atma. Perjalanan ini jauh dan sulit. Dikatakan jauh karena bukan jarak geografis yang ditempuh, melainkan menempuh lapisan-lapisan maya yang menutupi atma. Dikatakan sulit karena perjalanan ini ditempuh seorang diri. Selain itu, orang yang melakukan perjalanan ini tidak akan mengetahui sebenarnya dirinya sudah sampai dimana. Bahkan ketika sudah sampai di tujuan pun, ia tetap tidak menyadari bahwa dirinya sudah tiba. Dalam kitab Dharma Sunya disebutkan, “tan wruh yan prapta” [tidak menyadari kalau sudah sampai] […] [Manusia Ke Diri].
Agak panjang kutipan di atas memang. Itu kutipan diambil untuk menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan diri, adalah atma. Inilah perjalanan jauh dan sulit menuju atma. Artinya, atma itulah tujuan. Untuk sampai pada atma, ada lapisan-lapisan maya yang harus dilewati. Lapisan itu adalah lapisan makanan serta minuman, lapisan nafas, lapisan pikiran, lapisan buddhi, dan lapisan kebahagiaan. Semua lapisan itulah yang disebut sebagai maya.
Melewati seluruh lapisan itu, bukannya perkara mudah. Di atas juga sudah disebutkan, perjalanan ke atma adalah perjalanan yang sulit karena ditempuh seorang diri. Sekali lagi, seorang diri! Karena jauh, diperlukan ketahanan, karena sulit diperlukan kesungguhan. Ketahanan dan kesungguhan yang didasarkan pada keyakinan. Lalu apa ciri-cirinya sudah sampai pada atma? Atma itu tanpa rupa, maka sulit mengetahui ciri-ciri menemukannya. Atau mungkin saja, atma bukannya ditemukan, tapi justru dialah yang menemukan.
Membaca Manusia Tattwa, pembaca akan dihadapkan pada kenyataan bahwa Manusia seperti buku tebal yang tidak pernah selesai dibaca. Meski ada yang menganggapnya selesai, pembacaan harus diulang. Sebab yang namanya membaca, selalu dipengaruhi oleh situasi, kondisi, serta pengetahuan pembaca. Itulah sebabnya, tiap kali tubuh dibaca, ia selalu menyajikan hal yang menyegarkan. Pola semacam itulah yang dihadirkan oleh Ratu Aji IBM Dharma Palguna. Manusia berulang kali dibaca dengan rujukan teks-teks kuna. Hasil bacaan itu, selalu saja mengejutkan.
Membaca Manusia Tattwa, pembaca mesti membawa bekal peta. Peta itu adalah tentang shastra. Shastra mengajarkan bahwa apa yang dikatakan tidak sama dengan yang dimaksudkan. Ketahui apa yang dikatakan, pahami apa yang dimaksudkan. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami shastra, menyelamlah ke dalam samudera maksud dan kembali menepi. Selamat kepada Ratu Aji IBM Dharma Palguna yang tidak saya ketahui kini berada dimana. Mungkin tidak sedang di alam keberadaan, atau pun ketiadaan. Ratu Aji pernah berkata “hutang pada shastra harus dibayar karya”. Kali ini saya jawab “segala usaha pembayaran hutang, melahirkan hutang lainnya yang tidak bisa dibayar lunas”.
Sampai disini catatan ini saya cukupkan, dan saya tetap pada pendirian, bahwa Manusia Tattwa, adalah peta yang mesti dibawa, dibaca, dan dipahami oleh siapa saja yang ingin memasuki lebih dalam sebuah dunia kecil namun dalam bernama tubuh. Salam [T]