Bukankah kesempurnaan rasa kopi itu adalah dari rasa pahitnya? Dan sebagai mana sang putih, kopi yang pahit berwarna hitam itu membawa pesan: bahwa hitam pun bisa menjadi sahabat sejati, teman dalam mengarungi pahitnya kehidupan.
Nikmatnya rasa, indahnya keberagaman. Selamat menyusuri pahit dan manisnya kehidupan. Kata-kata dari penulis dan produser yang berasal dari Indonesia ini mencerminkan indahnya keberagaman.
Ya, seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan negri yang sangat beragam. Dari sabang sampai merauke tersebar budaya yang begitu banyak perbrdaan. Namun, perbedaan yang ada bukanlah menjadi alasan untuk perpecahan. Perbedaan ini justru menjadi alat pemersatu bagi negri yang dipenuhi dengan berbagi perbedaan ini.
Salah satu bentuk menghargai berbagai bentuk perbedaan yaitu dengan adanya toleransi agama. Berbicara tentang keberagaman agama, hal ini merupakan hal yang sensitif jika diperbincangkan. Bagaimana tidak, salah sedikit saja dapat menyebabkan kesalahpahaman dan berujung pada peselisihan. Salah satu penyebab perselisihan paham agama yang paling sering terjadi adalah karena sikap fanatisme agama.
Wajiran, S.S., M.A menuturkan fanatisme ada sebenarnya adalah sebuah konsekuensi seseorang yang percaya pada suatu agama, bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Memang benar, setiap agama sudah mutlak pasti selalu mengajarkan kebaikan. Sudah selayaknya keberagaman dalam paham agama dapat ditoleransi dan saling menghormati.
Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Oleh karena itu sebagai warga negara yang beriman mempunyai kewajian untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan saling bertoleransi antar umat beragama dan saling menghargai berbagai perbedaan yang ada.
Toleransi antar berbagai keberagaman agama bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Negeri yang kita cintai ini sudah membuktikannya dengan memberikan contoh nyata mengenai toleransi keagamaan. Dikutip dari berita kompassiana.com toleransi antar umat beragama sudah tercipta sejak dulu. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan kebersamaan antar dua agama yang berbeda yakni Islam dan Kristen di Greja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah, Solo, Jawa Tengah.
Perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk saling melengkapi. Mereka bersama-sama saling menjaga kerukunan dengan saling menghormati dan menerapkan sikap toleransi. Contohnya adalah saat pelaksanaan Idul Fitri yang jatuh pada hari minggu, pengelola gereja dengan segera menghubungi pengurus masjid untuk menanyakan tentang kepastian Idul Fitri kemudian pengurus gereja merubah jadwal ibadah paginya pada hari minggu menjadi siang agar tidak menggaggu umat Islam yang sedang menjalankan shalat Idul Fitri.
Toleransi antar perbedaan keyakinan tidak hanya terjadi pada satu tempat saja. Hal ini dibuktikan dengan perayaan Nyepi yang jatuh pada hari jumat, 7 Maret 2012 lalu, dimana hari tersebut bertepatan dengan umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat. Namun hal tersebut tidak membuat umat Hindu dan Islam berseteru dalam menjalankan ibadah.
Perayaan Nyepi di Bali menyebabkan seluruh kegiatan aktivitas warga Bali akan berhenti selama 24 jam. Hal ini dikarenakan umat Hindu melakukan “Catur Brata Penyepian” yang terdiri dari tidak menyalakan api (Amati geni), Tidak Bekerja (Amati Karya), tidak bepergian (Amati Lelungan), serta tidak bersenang-senang (Amat Lelanguan). Pada saat itu kegiatan transportasi akan berhenti sementara, bahkan pelabuhan dan bandara pun di tutup.
Umat lain yang tinggal di Bali pun menghormati hal tersebut dengan tidak beraktivitas sesuai dengan kesepakatan yang dibuat sejak 2011 lalu. Kesepakakatan itu telah ditandatangani beberapa tokoh Lintas Agama, yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali, Keuskupan Denpasar, Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG) Bali, Wadah Antar Lembaga Umat Budha Indonesia (WALUBI), dan Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN).
Sebagai bentuk toleransi dan menghargai umat lain Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ida Bagus Wiyana, menjelaskan umat lain yang ingin menjalankan ibadah di tempat ibadahnya masing-masing tetap diberi kesempatan untuk keluar rumah. Khusus untuk umat Islam yang ingin menunaikan shalat diperbolehkan ke masjid atau musala terdekat dengan berjalan kaki. Jika tempat tinggalnya jauh dari masjid atau musala bisa dimusyawarahkan dengan aparat desa setempat dan dapat menggunakan fasilitas.
Toleransi dalam bentuk lain pun terjadi pada tahun 2019 dimana sebagai bentuk penghargaan umat Muslim terhadap hari raya Nyepi mereka tidak mengumandangkan azan sebelum shalat (dikutip dari berita kompas.com).
Hal diatas membuktikan bahwa sikap toleransi beragama telah ada sejak dulu dan tidak berpusat pada satui tempat saja. Walapun dengan berbagai cara yang berbeda tujuan mereka tetap sama yaitu untuk saling mengjormati dan menjaga keutuhan negeri Indonesia tercinta. Selain itu menerapkan sikap toleransi ternyata bukanlah hal yang tidak mungkin jika terus dilaksanakan, hal ini akan menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan yang beragam.
Jadi marilah kembangkan toleransi antar umat beragama demi terwujudnya kedamaian yang menjadi impian kita bersama. Hargailah setiap perbedaan yang ada karena dari perbedaan tersebutlah kita akan menemukan berbagi warna-warni kehidupan yang berbeda. [T]
- Oleh : Komang Tria Hartawati (Ilmu Keperawatan Universitas Brawijaya 2019)