“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Ir Soekarno)
____
Kenapa ucapan tokoh-tokoh besar dunia sering kali benar dan menjadi kenyataan? Apakah ini sebuah kepekaan instingtual ataukah sejak awal ia telah mengetahui apa yang akan terjadi merupakan risiko dari setiap gagasan besarnya itu? Ambilah ucapan seseorang yang digelari sebagai sang jiwa agung, Mahama Gandhi yaitu “God has no religion.” Ia sepertinya punya keyakinan, suatu saat tak sedikit bangsa di dunia hendak “memberikan” sebuah agama kepada Tuhan, bahkan jika itu harus dilakukan dengan teror dan peperangan.
Maka, Gandhi merasa perlu melontarkan kepada dunia sebuah peringatan. Demikianlah yang juga terasa di negeri multi kultur dan kaya perbedaan ini, Indonesia yang plural. Pemerintah bahkan tampak canggung menghadapi gerakan senyap namun jelas dapat membahayakan integritas bangsa ini. Begitulah ramalam sang proklamator, bukanlah hal mudah menghadapi saudara sendiri. Tokoh dunia yang dijuluki Putra Sang Fajar ini, pastilah punya firasat yang kuat, risiko dari obsesinya mempersatukan bangsanya adalah pengkhianatan dan perpecahan. Sebuah konskuensi logis.
Lalu apa kaitannya dengan anak muda? “Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan di dalam jiwa rakyatnya.” Begitulah gagasan lain Gandhi, penggerak ajaran Swadesi di negeri India itu. Jika kelompok usia muda mendominasi komposisi penduduk sebuah bangsa maka merekalah yang akan menentukan karakter dan nasib bangsanya. Tentu kita semua masih ingat seterang siang, gerakan mahasiswa merobohkan rezim orde baru yang otoriter di tahun 1998. Juga desakan anak-anak muda pada tanggal 16 Agustus 1945, yang tergabung dalam perkumpulan Menteng 31, menculik Soekarno-Hatta dan dibawa ke Rengasdengklok, Kerawang untuk mau mempercepat proklamasi kemerdekaan RI.
Dan yang paling fenomenal sudah pasti hasil keputusan Kongres Pemuda ke-2 yang lazim dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Kongres yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap perkumpulan kebangsaan Indonesia dan agar disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan. Sudah hampir seabad berlalu anak muda Nusantara punya gagasan sedemikian cemerlang, kenapa saat ini mengalami kemunduran digerogoti virus primordialisme yang begitu “infeksius”?
“The highest result of education is tolerance.”Penulis Helen Adams Keller kelahiran Amerika, 27 Juni 1880 ini, dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sepintas tampak ekstrim. Namun demikianlah seharusnya. Apapun segala acuan yang kelak akan kita gunakan sebagai indikator keberhasilan sebuah pendidikan, maka toleransi sesungguhnya adalah bagian yang selalu melekat.
Jika yang kita gunakan adalah kemakmuran ekonomi suatu masyarakat, maka bagaimana mungkin tanpa sharing resources dengan masyarakat lain? Akan selalu ada eksport import, karena tak semua negeri menghasilkan minyak dan tak semua bangsa membuat roti. Andai kejayaan teknologi kita pilih sebagai ukuran, maka ada negeri yang menguasai bagian ilmu statistiknya dan ada bangsa yang piawai dalam ukuran numeriknya, dan begitulah seterusnya. Oleh karenanya, saat satu negara menutup diri akan realita ini, maka akan ada Korea Utara yang unggul dalam bidang nuklir namun bangsanya kelaparan atau ada ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang bangga akan keyakinannya namun luluh lantak kehidupannya.
Dalam dunia biologi, sel-sel muda dalam tubuh suatu spesies dapat berkembang menuju berbagai kemungkinan. Semetara sel-sel tua cenderung cuma menunggu kematian belaka. Sel-sel muda tak hanya akan berkembang lurus menjadi sel-sel sehat dan normal namun dapat pula menjadi sel-sel kanker. Pada kasus leukemia akut yang daya bunuhnya setara 100%, sel-sel muda darah putih yang abnormal-lah yang mendominasi hingga melumpuhkan sistem yang semestinya normal dan fisiologis. Dalam dunia seni, grup band punk metal asal Bali, Supermen is Dead (SID) menuliskan sebaris kata-kata dalam lirik lagunya “Aku, dia dan mereka memang gila, memang beda, aku adalah kamu, kita muda dan berbahaya” (Jika Kami Bersama)
Muda dan berbahaya. Itulah maka seorang anak muda 35 tahun, Nadiem Anwar Makarim, telah terpilih menjadi menteri termuda dalam sejarah republik ini. Lebih “berbahaya” lagi, Nadiem ditugaskan mengemban tugas berat sebagai menteri pendidikan, kementerian yang bisa dibilang akan menentukan nasib bangsa ini kelak. Mampukah ia mengembalikan spirit Sumpah Pemuda yang mulai memudar di kalangan generasi muda? Spirit yang akan menjaga nasib bangsa ini. [T]