Oleh: Tiara Sukra, siswa SMAN Bali Mandara
___
Fakultas Hukum Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja menyelenggarakan workshop penulisan kreatif pada Sabtu 28 September 2019. Hasil workshop dipilih tiga terbaik, dan inilah salah satunya:
___
“E, mai singgah malu. Ngamah malu awake” Terdengar kasar, tapi begitulah khasnya. Aku bangga dengan bahasanya. Kami sadar, kami hidup dengan segala ciptaan-Nya. Kami menganggapnya semua sama. Begitulah “Pada Weng”.
Gunung Sari, begitu orang dulu mengenal desaku. Tak ada sawah, hanya puluhan atap rumah menjadi permadani bukitnya. Tak ada ladang, hanya barisan pohon aren menjadi mata pencahariannya. Sejuk angin dari pohon cengkeh menjadi penghasil musiman warganya.
Bali Aga melekat pada nama Desa Pedawa. Sebagai masyarakat asli, akupun baru tau bahwa desaku ini dahulu bernama Gunung Sari. Tapi beruntunglah aku memiliki kakek yang mau membagi kisahnya padaku. Banyak nama dulunya Gunung Tambleg, Gunung Sari dan kini berubah menjadi Desa Pedawa.
Menurut cerita dari kakekku Tambleg berarti bodoh dan lugu, nama ini diberikan karena pemikiran warga desa yang masih sederhana. Bertahun-tahun kemudian, kata kakekku Gunung Tambleg berubah nama lagi, menjadi Gunung Sari. Nama tersebut berhubungan dengan kehidupan masyarakatnya dominan sebagai penyadap nira yang diolah menjadi gula. Seiring berjalannya waktu Nama Gunung Tambleg tidak pernah dipakai lagi, sedangkan nama Gunung Sari sering disebut saat ada upacara agama saja.
Kakekku juga bercerita tentang orang-orang Pedawa meninggal dulu, kata kakek jasadnya tidak dikubur melainkan hanya ditaruh di bawah pohon kayu, dengan di beri bekal atau kita sebut takilan. Sedangkan jika anak-anak yang meninggal biasanya dilempar jasadnya ke lobang kayu yang besar, yang terletak di dekat desa.
Pada suatu hari datanglah seorang raja bernama Raja Bima diiring oleh pendeta atau Dukuh Manca Bila untuk menertibkan tata cara penguburan mayat termasuk dengan kelengkapan upacara sederhana. Begitu yang diceritakan oleh kakekku.
Sederhana dan tua, begitulah Pedawa. Aku tinggal di daerah kubu jauh dari pusat desa. istimewahnya tinggal di kubu adalah jauh dari keramaian, kicauan burung dan kokokan ayam menjadi alarm suara khas sahabat dari pagi meminta kami untuk bangun dan menjalani hari. Ibuku memasak, ayahku seperti biasa menyadap nira. Sedangkan aku mengawali hari dengan singkong rebus yang lembut dengan manisnya balutan gula Pedawa. Ibuku sangat ahli membuatnya, caranya cukup mudah singkong yang sudah di kupas dan dicuci bersih lalu dimasukkan dalam rebusan nira yang akan dijadikan gula.
Ya, gula Pedawa menjadi ciri khas desaku, rasanya yang manis tak berbias menjadi idola setiap orang yang menikmatinya. Tapi sayangnya, jumlah pohon aren yang ada sudah berkurang jumlahnya. Hal ini disebabkan karena adanya harga hasil panen cengkeh yang lebih menjanjikan setiap 6 bulan sekali. Dan faktanya kini hasil panen cengkeh tak semenjanjikan untuk tiap harinya seperti gula aren yang bisa diproduksi dan dipasarkan setiap hari. Jejeran pohon cengkeh mengitari rumahku.
Aku pernah bertanya pada ibuku, mengapa kami tak punya sawah, padahal ada lumbung padi di atas bale bengong yang biasa kami duduki. Dengan santai ibuku menjawab, bahwasanya sebelum adanya pohon nira sebagai penghasilan utama Pedawa memang pernah menjadi penghasil beras. Ini berarti Pedawa memang pernah ada sawah, termasuk tempat tinggalku sekarang dulunya adalah sawah. Pantas saja bentuk tanah disni berundag-undag seperti sawah, semenjak sudah tak ada air yang mengalir ke sawah akibat aliran air yang semakin mengecil akhirnya tak bisa lagi ditanami padi.
Masih banyak hal yang menarik lainnya di desaku ini. Pedawa juga memiliki adat budaya dan dapat dijadikan tempat wisata menarik sebagai desa tua atau Bali Aga. Pagi itu minggu libur sekolahku, Purnama Kapat kemarin baru saja usai dilaksanaknnya persembahyangan di pura Desa. Paman mengajakku ke pura lagi untuk menonton balih-balihan. Terekam jelas disini, wajah-wajah tua masih memakai pakaian khas tempo dulu. Kamen panjang hingga menutupi mata kaki, kebaya khas berwarna-warni kalem. Berbeda dengan daa/trunanya, era globalisasi tampak jelas sudah mereka terpengaruh, namun dengan gaya yang modern sederhana.
Biasanya pada upacara agama ini para teruna akan menarikan sebuah tarian yang biasa kita sebut “mebaris” dengan membawa tombak dan pakaiannya cukup simple menggunakan pakaian adat sehari-hari saja diiringi gamelan khas. Ada juga tarian rejang, rejang ini ditarikan oleh para daa/teruni desa Pedawa saat ada upacara agama saja. Tarian ini sangat di sakralkan sehingga tempat ditarikan tarian ini yaitu di pura. Pakain dan payasannya pun sederhana rembang panjang menutupi dari leher ke depan hingga lutut biasanya, ditambah perhiasan sederhana seperti bros dan subeng di telinga.
Penghias kepalanya mengunakan gelungan ditambah hiasan bunga palsu. Seusai menontonnya, paman mengajakku berjalan-jalan sebentar. Tempat pertama yang kami datangi adalah Rumah adat desa Pedawa, yang lebih dikenal sebagai Rumah Bandung Rangki, rumah ini jauh dari kata modern. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dengan tiang kayu, beratapkan ilalang,didalamnya hanya terdapat satu ruangan. Kamar tidur dan dapur menjadi satu, tak ada listrik, di luarnya ada toilet, di halamnnya ada bale bengong sama persis seperti punyaku dirumah dan lumbung padi diatasnya. Rumah ini menjadi tempat wisata yang masih dilestarikan, karena jumlahnya yang bisa dihitung.
Orang-orang Pedawa sudah meninggalkan rumah ini karena bentuknya yang sangat tradisional dan memilih rumah modern. Dan tempat wisata yang cukup populer dan tergolong baru saat ini dalah Kubu Hobit. seperti namanya, tempat ini memang menjadi objek selfi yang menarik. Pemiliknya adalah orang Pedawa asli. Banya artis yang sudah berkunung disini, lokal sampai nasional. contohnya Citra Kirana, Indro warkop dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu, Pedawa juga memiliki permainan khas seperti Sapi gerumbung dan megangsingan. Tapi karena termakan teknologi permainan ini sudah langka dan jarang ditemukan, biasanya warga hanya akan bermain gangsing setiap sore hanya untuk menghilangkan penat. Ada juga tradisi yang 47 tahun lamanya sempat ditinggalkan, yaitu tradisi ngaga. Ngaga berarti menanam padi di tanah kering atau tidak digenangi air sma sekali. Tradisi ini dihidupkan lagi pada tahun 2019 di areal tegalan oleh Pangempon Pura Pura Pucak Sari, Dusun Insakan, Desa Pedawa. Kegiatan ini dilakukan kembali bertujuan menjaga pasokan gabah padi gaga yang digunakan saat pujawali di Pura Pucak Sari.
Seusai ku menghabiskan hari minggu dengan pamanku, pulang kami kerumah menjadi penutup akhir pekanku. Tiba ku di rumah. Ayah tengah asyik duduk menyangih pengiris dengan batu yang halus karena tlah lama digunakan, sembari menikmati daun sirih yang sudah memerahi gigi dimulutnya. Sedangkan ibu seperti biasa mencetak gula aren yang sudah matang. Aku mencintai desaku, dengan kesederhanaanya. Bahasa yang hanya desaku yang punya, gula Pedawanya, adat budayanya, serta orang-orang di dalamnya. [T]