Sekitar pukul 9 pagi kami tiba di tempat itu. Sama-sama membawa mantel, karena gerimis sempat turun membasahi jalan. Dingin begitu menusuk. Kabut turun menghalangi pandangan, sehingga pengendara yang melintas harus menghidupkan lampu khusus pemecah kabut. Setiap kami bicara, mulut kami sama-sama mengeluarkan semacam embun menyerupai asap rokok.
Rombongan itu terdiri dari Made Puja, Abet Ajus, Acink Tuner, Agus Marlisetia, Gede Sucaya, Putu Murahman, Made Sukadana (almarhum) dan saya sendiri. Tentunya itu adalah nama-nama yang populer di facebook…hehehe
Saya membawa kamera tipe prosumer. Mereknya adalah salah satu buatan Jepang yang terkenal itu, yang dulu saya beli dengan harga bersahabat. Kamera yang telah lama menemani saya berburu gambar-gambar fotografi. Sementara Agus Marlisetia membawa kamera yang lebih canggih, jenis DSLR dari merek yang sudah mapan, yang tentunya jauh lebih mahal dari kamera saya. Oka Suparsa Buwana datang belakangan bersama pacarnya, juga ikut menenteng kamera DSLR dengan lensa yang sangat panjang. Warnanya putih, kelihatan mewahsekali. Kami sama-sama berburu.
Kami berhenti pada salah satu tikungan di Gitgit. Setelah bolak-balik, kami akhirnya menyepakati spot itu. Tikungan yang pas berada di sebuah tanjakan. Sangat strategis. Terbayang sudah gambar-gambar yang indah.
Kami menunggu sambil ngopi di sebuah warung. Kebetulan di atas tikungan curam itu ada sebuah warung kecil. Kami ngopi bersama seorang polisi yang juga sama-sama menunggu. Bedanya, pak polisi itu menunggu karena menjalankan tugas, sedang kami menunggu untuk sebuah hobi.
Jarum pendek pada jam tangan menunjuk angka 10. Kabar dari teman di Jembrana, katanya para pembalap Tour de Indonesia sudah dilepas. Mereka akan menyusuri pantai utara Buleleng yang indah, dengan tebing-tebing di sekitar Pulaki yang enak dipandang mata.
Awalnya adalah jalan-jalan datar yang memudahkan para pembalap memacu kecepatan. Tapi setelah itu mereka akan menemukan hambatan-hambatan menaklukkan tanjakan-tanjakan curam yang menguras tenaga di Gitgit. Pada momen seperti inilah kami ingin mengabadikan mereka dalam beberapa gambar. Setelah melewati Danau Beratan, mereka akan menikmati turunan sampai finis di Renon, Denpasar.
Itulah sekilas pengalaman kami menonton para pembalap kontinental dari jarak dekat, setahun lalu. Setelah sekian lama sempat terhenti, balapan bergengsi tingkat internasional Tour de Indonesia diadakan lagi mulai tahun 2018 silam. Acara bergengsi yang melibatkan para pembalap dunia, yang sempat melumpuhkan lalu lintas beberapa jam, karena jalur yang dilalui harus steril demi keamanan para pembalap. Turnamen yang kami tunggu-tunggu sejak iklannya mulai muncul dan disosialisasikan.
Tour de Indonesia 2018 dibagi dalam 4 etape, menempuh jarak total sekitar 611 kilometer. Dimulai dari kota Yogyakarta, dan finis di kota Denpasar. Menurut sejarah yang saya baca di Wikipedia, Tour de Indonesia mulai diadakan sejak tahun 2003. Tahun 2004 balapan ini mengambil start dari Jakarta sampai kota Denpasar, menempuh jarak 1.500 kilometer yang dibagi dalam 9 etape.
Kemudian even ini diadakan rutin setiap tahun. Tahun 2007 pernah dibatalkan karena kendala dana yang minim. Kemudian dari tahun 2008 diadakan lagi sampai tahun 2011, berhenti lagi. Dan sejak 2018 diadakan lagi sampai 2019 ini. Dari keseluruhan even Tour de Indonesia itu, panitia selalu memilih Bali sebagai daerah finis. Bali yang memang tidak pernah dilupakan. Sebagai orang Bali, kita patut berbangga diri. Tapi, kenapa Bali tidak pernah memiliki even sekelas ini sendiri. Bali hanya menjadi tempat singgah, bukan sebagai penyelenggara.
Bagaimanapun juga, di samping sebagai turnamen olah raga, even sebesar Tour de Indonesia sangat efektif untuk kampanye pariwisata. Balapan sepeda sangat bagus untuk promosi pariwisata, karena lomba outdoor yang melintasi destinasi wisata. Bukan cuma Tour de Indonesia yang pernah ada di tanah air. Ada Tour de Bintan, Tour de Singkarak, Tour de Flores, Tour de Siak, Tour de Banyuwangi yang baru saja selesai. Bahkan Tour de Siak 2019 diadakan saat terjadi polusi udara akibat kebakaran hutan. Kelihatan di media massa foto para pembalap mengenakan masker saat balapan.
Tour de Bali
Konon, menurut cerita seorang teman, pernah ada even Tour de Bali sekitar tahun 1988, seiring dengan di daerah lain seperti Tour de Jawa dan Tour de Lombok, tapi saya tidak bisa menelusuri jejak sejarahnya karena belum dicatat oleh google. Kalau memang pernah ada, entah kenapa di Bali yang kita cintai ini tidak pernah ada lagi even tersebut, padahal daerah-daerah lain begitu getol mengadakan even ini.
Tour de Banyuwangi saja sudah diadakan sebanyak 8 kali. Tour de Banyuwangi Ijen 2019 ini bisa mendatangkan peserta pembalap dari lima benua. Pelaksanaan Tour de Banyuwangi Ijen yang berakhir di kaki Gunung Ijen pada September 2019 lalu banyak mendatangkan pujian dari pihak peserta dan juga ofisial. Seorang juri mengatakan Tour de Banyuwangi Ijen masuk sebagai turnamen 10 besar terbaik dunia.
Seandainya saja Tour de Bali diadakan kembali, misalkan start dari Nusa Dua terus mengelilingi pulau Bali ini dan finis sampai di Nusa Dua kembali, jaraknya bisa mencapai sekitar 400 kilometer. Bisa dibagi menjadi 4 atau 3 etape. Memang sih balapan sepeda bergengsi yang masuk agenda resmi UCI (Union Cycliste Internationale) membutuhkan dana yang besar, tapi keuntungannya juga toh nanti besar juga ke depan. Mirip investasi.
Panen datang di tahun-tahun berikutnya. Di samping promosi memperkenalkan Bali yang sudah begitu terkenal, even seperti ini akan menjaga branding Bali sebagai destinasi wisata yang tetap layak dikunjungi. Seperti sebuah produk kosmetik, branding-nya harus terus dijaga agar mengakar di hati masyarakat. Bukan cuma untuk promosi wisata, even internasional ini juga bisa menggeliatkan semangat para atlit lokal untuk terus bermimpi dan berlatih keras, agar suatu ketika bisa menjadi bintang sepeda. Iya, siapa tahu. Bukankah sukses selalu berawal dari mimpi.
Iya, itu sih hanya harapan saya. Kalau memang dulu pernah ada, semoga suatu ketika Tour de Bali bisa diadakan kembali, seperti tetangga terdekat kita Banyuwangi yang sangat konsisten mengadakan even ini. Masak sih kita mau kalah. [T]