Tidak seperti perkembangan film fiksi pendek dan panjang yang mencerahkan langit perfilman Indonesia, film dokumenter pendek dan panjang masih berada dalam awan gelap bercampur asap menyesakkan. Sedikit sekali para produser dan sutradara yang mencurahkan raga dan hatinya ke dalam genre ini. Film dokumenter dianggap membosankan, tak laku dijual dan jauh dari glamor karper merah layaknya film-film cerita fiksi. Tak ada jaringan bioskop yang mau mati-matian membela film jenis ini, membuatnya hanya tumbuh dalam lingkaran ruang putar film kantong budaya dan film festival.
Dalam Festival Film Indonesia dari tahun ke tahun memang ada piala citra untuk kategori dokumenter, tetapi ini hanya untuk sebatas ada saja. Film yang dinominasikan tak pernah beredar secara normal dan teratur seperti saudaranya film cerita dan hanya tersimpan rapi di lemari para pembuatnya setelah itu.
Dalam sirkuit film festival dokumenter ada beberapa yang masih membara, menghidupkan semesta para pembuat film dokumenter di negeri ini. Jogja film Festival masih memberi peluang kepada para pembuat film dokumenter panjang berkompetisi, sementara Denpasar Film festival yang sudah sepuluh tahun berkibar, memberikan peluang kepada para pelajar, sutradara film pendek dokumenter untuk berkompetisi dengan para juri yang sangat mumpuni menilai sebuah film.
Kesempatan untuk menggali potensi cikal bakal pembuat film dokumenter Indonesia telah dihidangkan dan disambut oleh para sineas dari berbagai sudut daerah, memperkenalkan karakter dan potensi daerah masing-masing. Dari tahun ke tahun, kita bisa menyaksikan film dari Aceh, Nias hingga Papua.
Yang menggembirakan munculnya para sineas pelajar dengan pendekatan dan ide-ide segar. Dalam edisi DEDOFF ke !0 tahun ini, ada Sarah Salsabila berkunjung ke pasar Sepur Surabaya untuk melihat situasi yang ada. Agung Natha Prabangsa dengan tata fotograpi yang rapi memotret tukad Pakerisan serta Yunita Putri mengisahkan masalah air di derahnya. Anak-anak ini telah sanggup dan mampu menngabarkan persoalan-persoalan di daerahnya dengan baik. Memang ide-ide besar tak akan jauh dari rumah.
Perkembangan dunia fotografi dengan makin mudahnya mendapatkan kamera digital canggih dengan hasil bagus, begitu pesat dimana-mana di dunia ini. Semua orang saat ini bisa menjadi pewarta, bisa membuat film dan mengabadikan apa saja dengan murah dan mudah. Sayang pencapaian ini tidak dibarengi oleh ilmu pengetahuan tentang film (dokumenter) sehinga karya-karya film dokumenter saat ini sering jatuh terjerembab ke dalam lubang kebosanan. Inilah yang menyebabkan film dokumenter tak laku dijual, karena masih menggunakan cara-cara lama layaknya film propaganda atau reportase televisi yang memamerkan hasil panen yang melimpah, misalnya.
Dalam bagan film dokumenter dunia, laju pencapaian begitu canggih. Inilah genre yang menjadi ujung tombak perkembangan sinema. Film dokumenter bukan sebuah reportase jurnalisme semata, bukan juga film untuk televisi. Jauh lebih besar dan tinggi dari itu. Untuk menjadikan karya yang berbicara, pendekatan sinema diperlukan. Bahasa sinema digunakan. Sentuhan personal diharapkan. Karakter misterius nan dalam dibutuhkan. Ini tidak saja orang-orang yang terkenal, tetapi bisa saja ayah, ibu atau adik-adik kita. Ini bukan saja orang yang sanggup mendaki puncak Jaya Wijaya, tetapi orang yang terkapar tak berdaya di dipan rumah sakit. Dalam dunia dokumenter modern, semua bisa dilakukan, dan bisa mencuri perhatian. Inilah sejatinya materi uanggu film dokumenter.
Dunia dokumenter Indonesia kebanyakan masih dipenuhi oleh serial wawancara yang dilakukan dengan pakem standar membosankan. Tidak pernah orang diwawancarai sambil makan, atau mandi, atau tidur, karena tidak sopan. Kesopanan tak perlu dalam sinema. Ini hanya hadir dalam film pelatihan atau propaganda.
Hal yang paling sering dijumpai dalam film dokumenter Indonesia, adalah pertanyaan seputar penghasilan nara sumber. Pembuat film ingin menyederhanakan segala jerih payahnya dengan satu pertanyaan. Ini adalah jurnalisme.
Bagi seorang sineas, dia akan mengikuti sang nara sumber bekerja, lalu akan melihat bagaimana sang nara sumber menerima sejumlah uang, lalu menunjukkannya. Tunjukkan apa yang diperbuat adalah sinema. Bertanya apa yang diperbuat, adalah jurnalistik.
Minimnya akademi film di Indonesia membuat para seneas muda tumbuh dengan segala macam cara tanpa bimbingan. Dari you tube, pelajaran extra kurikuler sekolah, satu dua ilmu diperoleh. Tetapi itu sama sekali tak menjamin mengerti bahasa sinema yang benar. Hal-hal yang menyangkut teknik begitu digandrungi. Anak muda mengejar satu kecanggihan merk kamera satu ke lainnya. Mereka mengabadikan momen lalu akan berakhir nyaman dalam bisnis foto dan video kawinan. Dijuluki tukang foto oleh orang-orang.
Denpasar Documentary Film Festival dalam edidi ke 10 * benar-benar serius untuk memberikan edukasi dan wadah bagi perkembangan sinema dokumenter yang masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Dengan semangat tak henti-henti dan disokong oleh pemerintah daerah, DIDOFF mengadakan pembekalan film dokumenter bagi pelajar dengan mengadakan kemah. Ini diharapkan mampu mendidik para sineas muda menggali potensi daerahnya. Perjalanan masih panjang dan jauh. Langkah awal jelas diperlukan. Dengan alat seadannya seharus cukup menggetarkan dunia melalui film dokumenter. Banyak film-film penting dokumenter dunia hanya dikerjakan dengan seorang diri.
Tersendatnya aliran distribusi film film dokumenter di Indonesia ke penontonnya, karena minimnya ruang putar yang layak. Ini kendala serius mengkerdilkan. Persoalan yang sudah patut dibantu oleh pemerintah dari pajak bioskop yang diterima. Jika ini dilakukan, maka akan terjadi siklus sehat perkembangan distribusi sinema Indonesia. Yang kuat menolong yang lemah. Film fiksi panjang sudah mampu hidup, membiayai film dokumenter yang masih belum mampu berjalan. Jika film fiksi panjang hanya berpusat di Jakarta, maka film dokumenter sudah tumbuh dari Aceh hingga Papua. Mereka lahir dari sineas-sineas daerah penuh harapan. Dengan membantu film dokumenter membantu Nusantara berbicara dan menumbuhkan benih-benih industri film di daerah.
Akhirnya, mencari celah agar film dokumenter tidak lagi sesuatu yang membosankan mesti tetap dilakukan. Maka cobalah tonton film dokumenter pendek dari Rina Tsou berjdul Horrible 30 me, My Father and Richard the Tiger, yang nanti akan diputar dalam Minikino Film week ke 5 tanggal 5-12 Oktober di berbagai tempat di Bali. Dengan menggunakan arsip film lama Taiwan, sang sutradara 30 tahun ini, sanggup membuat kita menangis tersedu-sedu. Karya dokumenter yang hidup dan begitu personal. Inilah sejatinya arah perkembangan dokumenter dunia. Dia adalah kita yang tak bisa berbuat apa-apa, bukan mereka yang begitu besar dan tenar. Dia adalah lubuk hati kita yang paling personal. Sesuatu yang personal ternyata begitu universal.