Seseorang masih setengah bangun dari mimpinya yang lelap. Tiba-tiba aroma masakan ibu membuat perutnya lapar dan ingin sekali melompat dari tempat tidur. Tapi melompat tiba-tiba dari tempat tidur rasanya begitu berat. Pertentangan membuat salah satu dari dua hal itu menyerah. Antara tidur untuk masuk ke mimpi atau perlahan bangun untuk mencari sumber aroma masakan ibu.
Perasaan mencium aroma masakan seperti itu saya rasa ketika ke Bentara Budaya Bali pada Hari Jumat, 20 September 2019, dalam acara Komponis Kini 2019 “A Tribute To #5 Wayan Beratha” menonton konser musik oleh komposer I Wayan Gde Yudane dengan Roras Ensembel yang membawa karya berjudul “Word in Iron” dan Dewa Alit dengan Gamelan Salukatnya yang membawa karya bertajuk “Siklus”.
Perasaan tidur dan melompat pada konser ada di antara masuk ke imajinasi atau bertahan pada visual sebagai sebuah pertunjukkan. Bagi saya, ini bukan hal gampang. Sebagai penonton yang tidak memiliki latar belakang bermain musik, cukup sulit bagi saya mencari cara untuk bisa menikmati konser tidak hanya dari sisi visual mata.
Sepertinya, mata saya begitu kuat dijajah oleh visual keseharian dan kedekatan saya dengan kehidupan ritual yang melibatkan gamelan. Ketika melihat gamelan selonding yang dimainkan tersebut membuat saya sadar, rupanya telinga saya lebih lemah dari pada mata sehingga melihat dan mendengar sekaligus membuat saya masih membayangkan selonding pada umumnya, padahal bila saya menutup mata akan ada pengalaman imajinasi yang berbeda.
Saya mencoba menutup mata untuk menikmati musik gamelan karena mata telah demikian kuat ditimpa beban citra bentuk gamelan. Saat menutup mata, selonding yang sebelumnya saya rasa berbunyi empuk menjadi berbeda. Sesungguhnya hal ini sangat menggelitik saya dalam hati. Saya ingin bertanya pada sesi diskusi, tetapi hari terlalu larut untuk itu sehingga tak ada kesempatan buat saya bertanya.
Tulisan ini sesungguhnya pertanyaan dan pengalaman yang tidak sempat saya sampaikan. Lebih baik rasanya saya menulisnya. Beberapa hal dan pengalaman tersebut sedemikian menggelitiknya sehingga sesampai di rumah, gelitikan yang mengawang-awang itu mengganggu jam istirahat saya.
Pengalam ketika saya menutup mata sama halnya dengan bangun pagi yang diteror oleh aroma masakan tadi. Citra yang terpendam dipanggil oleh stimulus musik sehingga bayangan akan citra tersebut muncul seolah nyata, dan nikmat sekali rasanya hanyut dalam hayalan itu.
Dalam konteks musik gamelan Yudane ketika menutup mata, beberapa bunyi yang diciptakan seolah memanggil beberapa citraan saya terhadap bunyi-bunyi itu. Mungkin menjadi hal yang berbeda dengan orang lain. Saya mempunyai pengalaman dan kedekatan dengan pande besi. semasa kecil, saya sering bermain di rumah teman yang ada Prapen di halaman rumahnya. Saya merasa akrab dengan suara besi yang dipukul, direndam ketika panas, dan sebagainya.
Citraan akan bunyi itu tiba-tiba muncul di kepala saya. Tetapi tak bisa hanyut begitu saja. Seperti mimpi, semua visual yang digambarkan bedasar pengalaman itu terpotong-potong. Dari hal yang satu melompat menuju bayangan yang lain. Dari pande besi dan bayangan terhadap hal yang berkaitan dengan pande besi, tiba-tiba bunyi selonding berubah seperti drum yang ditempa. Pengalaman seperti ini pun menjadi bagian penting dalam diri saya.
Ketika kecil, terutama ketika ada drum kosong setelah pengaspalan jalan, drum akan dipukul oleh teman-teman saya dengan iseng. Visual seperti ini tiba-tiba muncul. Semua itu terpotong-potong tanpa pernah selesai, tetapi satu hal penting bahwa ada satu bunyi yang mengingatkan saya untuk tidak hanyut. bunyi itu seperti dengungan dalam kepala yang begitu cepat memotong khayalan.
Hal seperti ini tidak terjadi ketika saya mendengar gambelan yang sering dimainkan di tempat ritual. Ketika menutup atau membuka mata, visual yang muncul selalu gebogang, ayam panggang, buah, dupa, tarian, dan sebagainya. Semua hayalan hanya bagian ritual, tak ada masa kecil.
Saya rasa pengalaman bunyi inilah yang disasar. Hal yang sama saya rasa ketika mendengar musik dari komposer Dewa Alit dengan Gamelan Salukatnya. Gong dijejer, tak ada yang normal. Pertama melihat formasi ini, saya membayangkan formasi seperti ini dibawa ke banjar. Mungkin akan ada satu atau dua orang yang protes. Setelah mendengar musik Yudana, saya seolah mendapat cara mendengar musik seperti ini. Jangan melihat pemain! Saya melihat langit, mendengar musik Dewa Alit, lalu perlahan menutup mata.
Untung tidak tidur, tapi memang tak ada kesempatan untuk itu. Bunyi-bunyi telah siap meneror. Gamelan ini memberi citra yang lain dengan musik gamelan Yudane. Apabila saya membayangkan masa kecil dengan pengalaman kedekatan bunyi yang diciptakan, ketika mendengar Dewa Alit, visual yang muncul adalah sesuatu yang asing. Bukan lagi ruang masa kecil, barangkali bukan pula masa depan. Musik yang mengantar saya menuju ruang entah di kepala. Namun, saya tak ingat betul itu terpotong atau tidak. Dari pengalaman itu, sekarang saya punya tips untuk mendengar musik gamelan. Tutup mata, letakkan fokus di telinga.
Satu hal lagi yang cukup menggelitik saya adalah pernyataan Yudane, “Komposer ngeri dengan masa lalu”. Entah berhubungan atau tidak, Penyataan ini mengingatkan saya dengan Deridda yang mengatakan, mencari makna asli adalah satu kekejaman karena makna asli akan membunuh tafsir dan berpeluang memonopoli makna. [T]