Cokorda Mantuk Ring Rana: “Mati Tan Tumut Pejah”
20 September 1906, tepat 103 tahun yang lalu kita telah kehilangan sosok pemimpin (Raja) bahkan sastrawan hebat di masanya, dimana setiap karyanya memiliki arti dan makna yang mendalam, tentunya menuntun para pembaca melihat jauh kedalam diri, akan arti kehidupan, kepemimpinan, budaya, sosial dan etika.
Beliau adalah I Gusti Ngurah Made Agung atau dikenal dengan nama Cokorda Denpasar dan Cokorda Mantuk Ring Rana
Salah satu karya terbesar beliau terkait tentang kehancuran zaman dengan menyusun dan menceritakan kembali cerita-cerita yang mengandung uraian tentang ciri-ciri kehancuran zaman atau bangsa itu sendiri. Karya tersebut tertulis indah nan megah dalam balutan bentuk geguritan yang berjudul Purwa Sanghara.
Melirik pada zaman ini, menurut pandangan sisi Agama Hindu, umat manusia telah memasuki fase zaman Kali Yuga dimana jika dipersentasekan tingkat kebenaran berbanding keburukan yakni 30% (Dharma) 70% (Adharma),yang mana nilai-nilai kebenaran telah terdegradasi, wiwekatak lagi ada fungsi dengan maraknya manusia-manusia pembawa wabah benih-benih kebencian yang mengatasnamakan agama serta menistakan peradaban rohani kepercayaan lain dengan mencela serta menghina penganut agama minoritas beserta orang-orang sucinya.
Hal itu dilakukan hanya sebatas ingin ada pengakuan bentuk dari eksistensi diri yang saat ini dikenal dengan istilah Fussy, dimana kondisi seseorang yang ingin meminta perhatian besar padahal mereka hanya melakukan hal sepele, bahkan cenderung menjatuhkan keberadaan seseorang , teriak-teriak butuh pengakuan bahwa dialah adalah yang pantas, mahabenar serta segala bentuk egoisitas lainya yang menunjukkan individualitas.
Zaman kehancuran atau yang disebut Kali Sanghara dalam geguritan Purwa Sanghara menyatakan sebagai ciri-ciri kehancuran zaman yang telah terpampang jelas, bukan karena pihak luar ataupun sekitar, namun kehancuran itu datang dari sumber yang sangat dekat tiada lain adalah manusia itu sendiri, dari dalam dirinya sendiri. Segala bentuk ativitas yang dipenuhi tipu muslihat dengan pikiran-pikiran kotor, namun berpakaian layaknya orang suci, berbicara tentang agama dengan pemaknaannya sendiri, tanpa merujuk tutur-tutur dharma, seolah-olah manyangsikan kebenaran itu sendiri.
Sebagai contoh yang merebak dimasyarakat saat ini, tentang fussy perubahan status dalam penamaan yang menjadi sebuah prestige dalam kebanggan diri, yakni terkait penamaan “Jro”,dapat dikatakan pikirannya sudah pecah dan bingung tentang bagaimana makna sesungguhnya jika menyandang nama “jro”tersebut.
Jika ditelaah dengan saksama kata “jro” secara harfiah kata berasal dari jero > jeroan yang berarti di dalam, yang dalam tatanan suci umat Hindu yakni utamaning mandala, jadi orang-orang yang memang benar-benar pantas dan berprilaku dharma serta telah menyucikan dirinya dalam proses inisiasi atau Pawintenan, tapi untuk saat ini kebutuhan akan pengakuan diri, agar kasengguh jro (dikenal sebagai jro) maka akan berpenampilan berlebihan untuk menunjang fussy atau eksistensi dirinya, salah satunya jika sudah mengenakan amed lan masaput poleng (hitam-putih) kasengguh jro.
Dalam Purwa Sangharatelah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa manusia telah kehilangan jati dirinya bahkan kurang harga diri, kurang awas dan Tuna Panrima (tuna kemampuan kritis) sebab manusia sudah tidak mengenal dirinya lagi (Lali Ring Awak), fussy menjadi kepentingan utama dimana sebuah eksistensi yang tujuan terdepan.
Disebutkan hitam tentunya karena adanya putih, sama halnya dengan polemik yang terjadi saat ini, dimana fussy menjadi tajuk utama yang telah merenggut nilai-nilai etika dan moral manusia hingga Lali Ring Awak, tentu dalam Purwa Sanghara, Cokorda Mantuk Ring Rana telah menuliskan keyakinan beliau tentang kebenaran dalam mengarungi Kali Sanghara dengan mempersonifikasikannya sebagai lautan dengan solusi perahu yang kokoh, yakni sebagai berikut:
“Reh kocap tan saking sastra, tan mantra tatan mas manik, sida manulak sanghara, kewala sane asiki, kasusilaning budi, punika kangken perau, kukuh kaliwat-liwat, tuara keweh tempuh angin, sida mentas saking sanghara sagara”.
Yang jika diterjemahkan adalah sebab tidak dengan sastra, tidak dengan mantra maupun emas permata yang dapat menolak Sanghara, hanya satu, yaitu kasusilaning budi (tingkah laku budi yang baik), itulah bagaikan perahu yang sangat kokoh, angin pun tidak dapat mengombang ambingkan, sehingga dapat menyebrangi lautan Sanghara.
Dilanjutkan dengan kalimat: “Yan ande-andeyang rasa, rasaning susilaning budi, punika satsat amerta, menyerambah ring sarwa budi nguripang sarwa sandi” yakni : jika diumpamakan sebagai rasa, rasa kesusilaan budi itu bagaikan amerta (keabadian) yang menyusup ke dalam pikiran dan menghidupkan seluruh badan.
BACA JUGA:
Cokorda Mantuk Ring Ranamengingatkan bahwa “Reh hyang dharma rikala kali, tan wenten mengaku”, (kebenaran itu ditinggalkan orang, tak ada yang mengakuinya) itulah yang telah terjadi saat ini namun, meskipun dunia ini telah memasuki fase-fase kritis, dimana para penghuninya (manusia) tersebut mengalami degradasi moral, etika dan sosial yang hanya untuk memenuhi kepentingan diri akan keberadaanya.
Kita sebagai salah satu dari 30% manusia-manusia “eling”(sadar) hendaknya tetap kokoh dan berpegangan teguh pada ajaran dharma dengan berbuat sesuai dengan kasusilaning budi mangda tan lali ring awak, sehingga dapat mempaparkan vibrasi-vibrasi positif yang telah dititipkan oleh Sang Raja pemimpin pasukan puputan badung melalui Purwa Sanghara, niscaya 30% kesadaran dharma ini akan berkembang menjadi 100%. Percayalah. [T]