“Assalamualaikum, nggih Ibu, Ida masih di Singaraja, benjang Ida pulang ke Pegayaman. Nggih, Ida sampung ngajeng, nggih Ibu. Assalamualaikum!”
Indonesia dari kalimat itu: “Assalamualaikum, ya Ibu, Ida masih di Singaraja, besok Ida pulang ke Pegayaman. Ya, Ida sudah makan, ya Ibu. Assalamualaikum!”)
Begitulah percakapan seorang teman dengan ibunya via telepon yang saya dengar. Rekan saya itu bernama Nengah Ida, lengkapnya Nengah Rizki Maulida yang berasal dari Desa Pegayaman. Sebuah desa yang berjarak sekitar 23.5 km dari kota Singaraja mendaki ke selatan, satu jalur perjalanan menuju Gitgit dan Bedugul.
Di desa dengan mayoritas berpenduduk muslim ini sudah lazim nama-nama warganya merupakan pembauran dari nama-nama tradisional Bali dan bahasa Arab seperti Wayan Hasyim, Ketut Fata Nurul Alam atau Nyoman Laila Magfiroh. Tak cuma itu, saat perayaan hari besar Islam pun mereka masih menjaga tradisi yang mirip dengan tradisi perayaan hari suci umat Hindu.
Jika dalam perayaan hari Galungan ada yang disebut sebagai hari penampahan Galungan, sehari sebelum Galungan dan manis Galungan keesokan harinya, maka saat hari raya Idul Fitri pun dulu dikenal dengan penampahan Idul Fitri dan keesokan harinya sebagai manis Idul Fitri atau Lebaran Syawal.
Bagi saya ini sangat menarik dan unik. Satu fakta sosial dan biologis yang tak pernah dapat dibantah bahwa kita sesungguhnya memang berasal dari “satu titik keberangkatan”. Melalui evolusi yang begitu panjang dan tak kunjung lelah lalu kita berpencar sedemikian beragam secara biologis dan kultural. Inilah yang kemudian mendorong saya untuk mendirikan sebuah yayasan kemanusiaan yang saya beri nama Yayasan Sesama dengan motto Tat Twam Asi: Melayani Sesama Dengan Semangat Pluralisme.
Tat Twam Asi adalah kalimat Sanskerta yang punya pemaknaan etik yaitu kita semua adalah sama. Yayasan Sesama mengadakan pelayanan sosial kesehatannya pertama kali di Desa Pegayaman dan hingga saat ini menjaga hubungan yang sangat baik dengan salah seorang tokoh ulama moderat Haji Sururudin, pengasuh pondok pesantren Al Iman yang juga menampung anak-anak kurang mampu. Kiprah pak haji pernah diangkat dalam satu film dokumenter pada ajang Eagle Awards, Melihat Indonesia: Muslim di Pulau Dewata.
Buleleng, yang secara geografis meliputi wilayah pesisir di utara dan pegunungan di selatan telah memberi pengaruh dalam komposisi sosiokultural masyarakatnya. Ini jauh lebih kaya dan beragam dibandingkan dengan semua kabupaten di pulau Bali. Desa-desa yang berjajar di bahu pegunungan sisi selatan Buleleng meliputi desa Pedawa, Sidatapa, Cempaga dan Tigawasa, diyakini merupakan desa-desa yang telah ada sebelum kedatangan orang-orang dari pelarian kerajaan Majapahit.
Ada beberapa istilah yang dilekatkan pada mereka seperti masyarakat Bali Aga atau Bali Mula yang hingga sekarang masih sering menjadi perdebatan terutama pada aspek bukti-bukti dan dokumentasi sejarah. Namun demikian, adanya perbedaan tradisi yang mereka warisi dengan desa-desa lain di Buleleng adalah fakta-fakta yang tak dapat dibantah jika memang telah ada keragaman dalam evolusi budaya masyarakat Buleleng.
Berbagai perbedaan tradisi bisa diambil beberapa contoh yang berlaku di Desa Pedawa. Misalnya prosesi pemakaman jenazah yang tidak dipikul melainkan di-gayot atau jenazah sejajar pinggang orang-orang yang membawanya ke pemakaman. Masih soal pemakaman jenazah, di Pedawa begitu seseorang meninggal akan langsung dikubur tanpa menunggu hari tertentu (dewasa) seperti di daerah-daerah lain dan jenazah tidak dimasukkan ke dalam peti namun dibungkus dengan tikar. Begitu pula saat perayaan hari raya Nyepi di Desa Pedawa tidak didahului dengan tradisi melasti seperti di daerah-daerah lain. Tentu butuh pengupasan lebih dalam fenomena ini jika kita ingin memahami esensinya.
Di bagian pesisir Buleleng, wilayah-wilayah yang dekat dengan pusat kota Singaraja, kita pun menjumpai keragaman, terutama dalam hal bahasa. Hal jamak anak-anak muda dan orang dewasa menggunakan bahasa Tionghoa untuk menyebut nilai-nilai uang macam gopek untuk lima ratus rupiah atau gocing untuk lima ribu rupiah.
Entah kenapa, kita merasa nyaman dan asik jika berbicara dengan istilah-istilah Tionghoa ini meski tidak sedang dengan bicara dengan sahabat-sahabat Tionghoa. Seakan-akan punya mereka adalah punya kita jua. Begitu pula, warga keturunan Arab yang biasa memakai istilah ana untuk aku dan ente untuk kamu seakan-akan sudah menjadi bahasa ibu anak-anak Singaraja.
Fenomena ini pastilah tak ditemukan di wilayah-wilayah lain di Bali. Itulah kenapa, saat saya kuliah di Denpasar sering menggunakan kata ente itu didengar aneh oleh teman-teman yang berasal dari Bali selatan dan akhirnya mereka menamai saya dengan si Ente sampai saat ini, hahaha! [T]