Seni Silat Loloan di Kabupaten Jembrana, Bali, merupakan warisan budaya dari pada datuk-datuk pendahulu yang terus diwariskan kepada generasi kemudian. Memang perkembangan seni silat loloan mengalami pasang-surut dan kadang meredup, akan tetapi geliat kerinduan dari para generasi untuk melestarikan seni warisan dari para pendekar silat dari masa ke masa tetap menjadikan semangat untuk kembali rajin belajar seni yang telah lama hilang dikalangan generasi muda Loloan ini.
Hal inilah yang dapat kita sajikan melalui tulisan kerinduan akan seni silat Bugis. Pada masa masa kemerdekaan seni silat bugis merupakan sebuah seni yang sangat membantu para pejuang untuk melawan penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. Kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kini usaha usaha melestarikan telah mulai nampat di kalangan generasi muda Loloan Timur, Jembarana, Bali, dengan tampilnya persatuan Silat Putra Melayu dalam setiap even even kegiatan budaya, baik even parade budaya menyambut 17 Agustus maupun even tahunan dengan konsep Loloan Zaman Lame yang dilaksanakan setiap tahun di bulan Oktober.
Banyak generasi sekarang belumlah mengetahui perjalanan panjang masuknya kebudayan Seni Silat ini ke Jembrana, sehingga alangkah baiknya jika dalam tulisan ini kami sertakan sebuah sejarah ringkas awal mula masuknya seni silat Bugis ini agar menambah wawasan dan khajanah bagi generasi muda saat ini tentang kerinduan akan sebuah budaya yang telah lama berkembang dan juga mengalami kemandekan tanpa perkembangan pelestarian dari Seni Silat Loloan itu sendiri. Sehingga ke depan para generasi muda kembali bangkit semangat dalam usaha-usaha pelestarian budaya Seni Silat Loloan, yang mampu menjadi ciri khas dari keragaman budaya yang ada di Bali Barat ini.
Sejarah awal mula masuk Silat Bugis di Jembrana
Pada tahun 1669, Kedatangan Rombongan Daeng Nachoda sisa – sisa armada perang kesultanan Wajo Sulawesi dengan 4 buah eskuadron kapal perangnya menghadap Raja I Gusti Ngurah Arya Pancoran (Raja Pancoran ke IV memerintah periode 1620 – 1697 masehi).
Raja I Gusti Ngurah Arya Pancoran menerima kedatangan Panglima Daeng Nachoda dan terjadilah kesepakatan bersama dengan consensus Raja I Gusti Ngurah Arya Pancoran memberikan tempat tinggal disekitar tibu Bunter dengan syarat agar hasil bumi pertanian Jembrana dijualkan keluar pulau dan Panglima Daeng Nachoda harus siapmembantu keamanan kerajaan jika terjadi serangan dari pihak luar, kesepakatan dan syarat tersebut diterima dengan baik oleh Panglima Daeng Nachoda. Daeng Nachoda melabuhkan perahu perahu di kawasan sungai yang lebar dan dalam yang berbentuk melingkar/buntar (tibu bunter) yang kemudian diberikan nama “Bandar Pancoran” (bekas pelabuhan lama Teluk Bunter Di loloan Barat). Mereka menetap tinggal di sekitar Bandar Pancoran,sehingga pada tahun 1671 diberikan nama Kampung Pancoran (kawasan ini sekarang berubah nama menjadi Kampung Terusan).
Kemudian sangatlah erat persahabatan antara orang orang Bugis Makassar dengan keluarga I Gusti Ngurah Pancoran Jembrana, dilaksanakan pula perdagangan dengan sistem tukar menukar. Terbukalah isolasi daerah Jembrana dengan dunia luar, lewat perantaraan perahu perahu pedagang bekas eskadron keturunan Sultan Wajo itu [1]
Menyusul kemudian beberapa penduduk dan wanita-wanita menetap di pelabuhan Bandar Pancoran semakin makmur dengan perniagaannya, makin kuatlah kekuasaan Jembrana yang bertulang-punggung Daeng Nachoda dan penembak-penembak meriam Bugis/Makassar, sehingga pada waktu Buleleng menyerang Jembrana, pasukan meriam bugis turut ambil bagian mempertahankan di Jembrana.[2]
Pada tahun 1690 M Raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Panji Sakti ingin memperluas daerah kerajaannya sampai ke Jembrana. I Gusti Ngurah Panji Sakti mengerahkan pasukan Goak yang terkenal kebal-kebal yang dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun dan menyerang dari hutan gelar, penyerangan ini di hadang oleh pasukan Pancoran Wisnu Murti yang di bantu oleh pasukan Meriam Bugis dipimpin oleh Daeng Nachkoda seorang panglima perang kerajaan kesultanan Wajo-Sulawesi.
Pertempuran di Hutan Gelar sangat serunya. Pasukan Goak Ki Tamblang Sampun tidak dapat menandingi pasukan Wisnu Murti Pancoran apalagi pasukan ini di bantu oleh pasukan Meriam Bugis yang berada di garis depan dengan beberapa pasukan perang bugis pimpinan Panglima Perang Daeng Nachoda.
Sesungguhnya musuh tidak mengetahui kekuatan inti pasukan Jembrana yang berdestar hitam itu adalah orang – orang muslimin Bugis-Makassar anak buah Daeng Nachoda yang mempunyai gerakan-gerakan aneh dalam pertempuran itulah pertama kali pasukan Goak melihat sebuah gerakan silat Bugis yang sangat Khas dan berbau Magis, Panglima Daeng Nachoda dibantu oleh perwira perwira veteran perang Bugis- Makassar yaitu Daeng Si Kuda Dempet, Daeng Marema dan Daeng Bira.
Pada tahun 1715 selesailah pembangunan Puri Gde Jembrana Terkenallah pula nama Daeng Marema dan Daeng Si Kudadempet sebagai pendekar ahli silat Bugis yang pertama mengajarkan seni silat dan tabuhan genderang gaya Bugis/Makassar (Kempul gaya Bugis). Kedua Tokoh silat ini sangat menarik simpati rakyat Jembrana, sehingga banyaklah pengikut atau murid silat dari dua tokoh silat ini memasuki agama Islam.[3]
Pada masa inilah kerukunan orang Bugis dengan penduduk local berbaur hidup berdampingan dengan toleransi saling menghargai dalam keseharian, dan sering disebut Menyame Braye. Akulturasi dua kebudayaan yang dimasa dua tokoh silat Bugis bertambah berkembang ditularkan Pan Nyoling warga Mertesari yang merupakan murid silat dari Daeng Sikudadempet, yang memadukan seni joget dengan silat bugis dan rebana yang dinamai Joged Janturan.
Semasa pemerintahan Anak Agung Putu Handul Raja Jembrana ketiga, Raja Cokorda Tabanan mencoba menyerang Jembrana tetapi mundur akibat tangguhnya pasukan Jembrana yang berintikan pendekar-pendekar Bugis/Makassar [4].
Pada tahun 1770 Raja Badung, Cokorda Pemecutan menyerang pula dari arah selatan desa Perancak tetapi pasukannya terpaksa kembali pulang Karena banyak dimakan buaya[5]
Sesungguhnya musuh tidak mengetahui inti kekuatan pasukan Jembrana yang berdestar hitam itu adalah orang-orang muslimin Bugis/Makassar, tampak sekilas tidak ada perbedaan dengan prajurit-prajurit Bali Hindu yang menggunakan destar yang sama.[6]
Kesimpulan Peranan Seni Silat Bugis antara lain :
- Di masa kerajaan Jembrana sebagai pasukan khas alat bela Jembrana
- Sebagai media dakwah dalam bidang kesenian yang menggambarkan ajaran- ajaran agama, pendekar silat Bugis adalah seorang yang taat menjalankan perintahNYA dan menjauhi laranganNYA, dengan tidak meninggalkan sholat, ini merupakan petuah guru terhadap para murid silatnya. Gerakan pembuka dengan telapak tangan membuka ke atas yang melambangkan bahwa manusia senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan dan pengampunanNYA. Gerakan penutup dengan duduk bersimpuh bersila
- Melatih kesabaran, dalam silat bugis tidak mau menyerang duluan tetapi menghindar sehingga lawan menjadi kelelahan sendiri
- Melatih kebugaran dan kelenturan semua anggota tubuh, karena silat bugis mengutamakan gerakan kaki dan menarikan senjata belebat dengan mengikuti irama tetabuhan kempul gendang bugis.
Beberapa istilah dalam Seni Silat Bugis antara lain :
- Kembangan adalah rangkaian gerakan tarian silat yang teratur diakhiri dengan bersimpuh.
- Sempok (asal kata dari simpuh) gerakan akhir sebagai penutup dari tarian silat.
- Sigang (nyigang) sebuah gerakan tipuan kilat dari bawah mengangkat dan melemparkan tubuh lawan.
- Belebat, senjata khas silat bugis ukuran pendek berbahan kayu (panjangnya 50 – 60 cm)
- Puntung Berasap, sebuah rangkaian jurus yang khas untuk menyerang lawan dengan cepat dan bertubi-tubi
- Pancingan, sebuah rangkaian gerakan silat yang menipu dan mengejutkan lawan
- Isian, sebuah jurus mematikan yang sudah berisi atau dirapal ayat –ayat Suci
- Pengalaman Penulis tentang Silat yaitu pada tahun 1989-1991 pernah berlatih silat yang merupakan angkatan pertama (41 orang ) dari perguruan silat Bujang Intan asuhan guru H Asikin, tempat latihan pertama kali pada waktu itu terletak di Kampung Cempake
Keterangan:
- Sumber sejarah Arya Pancoran-Jembrana, halaman 8 milik I Gusti Ngurah Purwayadi di Negara 1972 dalam manuskrip Sejarah Perkembangan Islam di Bali Khususnya di Kabupaten Jembrana-I Wayan Reken 1979 halaman 4).
- Sumber sejarah Arya Pancoran-Jembrana, halaman 9 milik I Gusti Ngurah Purwayadi di Negara 1972 dalam manuskrip Sejarah Perkembangan Islam di Bali Khususnya di Kabupaten Jembrana-I Wayan Reken 1979 halaman 4).
- Hasil terjemahan Hikayat Islam di Jembrana oleh almarhum datuk haji Sirat, 1935 berhuruf arab, berbahasa melayu tertulis berbentuk catatan syair 1935 yang ditulis kembali oleh I Wayan Reken dalam manuskrip Masuknya Islam di Jembrana, halaman 7, 1979
- Manuskrip Masuknya Islam di Jembrana oleh I Wayan Reken, halaman 8, 1979
- Riwayat Jembrana oleh I Gusti Agung Putu Mahayana tahun 1935
- Manuskrip Masuknya Islam di Jembrana oleh I Wayan Reken, halaman 8, 1979